Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Selasa, 07 Januari 2025 | 10:17 WIB
Debby dibantu dua karyawan menyelesaikan pesanan roncean melati di Dusun Clapar, Desa Ngawen, Muntilan. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

SuaraJawaTengah.id - Sekali ini, keyakinan bahwa menikah di bulan Jumadil Akhir membawa hoki, malah berakibat sebaliknya. Efek ramalan primbon tak akur dengan ramalan cuaca.   

Kebanyakan orang Jawa mempercayai primbon yang menyebut empat “bulan baik”: Jumadil Akhir, Besar (Dzulhijjah), Ruwah (Sya’ban), dan Rajab, sebagai waktu yang tepat untuk menggelar pernikahan.

Mereka antep bahwa mengadakan pernikahan pada bulan-bulan itu akan membawa berkah kepada mempelai, berupa harta, kebahagiaan, dan keharmonisan rumah tangga.

Tapi kali ini primbon menyelisihi prakiraan cuaca. Jumadil Akhir yang jatuh pada akhir tahun 2024, berada tepat di masa puncak tengkujuh. Hampir setiap hari hujan deras turun di sebagian besar wilayah Jawa Tengah.

Baca Juga: Semarang Berpotensi Diguyur Hujan Ringan, Warga Diminta Siaga

Stasiun Meteorologi Ahmad Yani Semarang memprediksi hujan dengan intesitas sedang hingga lebat mengguyur Wonosobo, Boyolali, Klaten, dan Sragen. Hujan merata meski ada beberapa kabupaten yang hanya kebagian gerimis.  

Pada pertengahan Desember, banjir rob bahkan merendam Desa Blendung di Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang. Daerah itu sedikitnya 3 kali dilanda banjir sepanjang tahun lalu. 

Bencana di Kebun Melati

Ilustrasi bunga melati. (Pixabay.com/Ralphs_Fotos)

Banjir di Ulujami terasa dampaknya hingga Magelang. Utamanya terhadap para perajin roncean melati yang umumnya kebanjiran pesanan selama musim nikah bulan Jumadil Akhir dan Rajab.

“Kebun melati di Pemalang pada banjir. Kalau tanamannya terendam air setiap hari, bunganya jadi busuk,” kata Debby, salah seorang perajin roncean melati di Desa Ngawen, Muntilan, Magelang.

Baca Juga: BMKG Imbau Waspada Gelombang Tinggi di Selatan Jateng hingga 4 Januari

Kecamatan Ulujami, Pemalang terkenal sebagai daerah penghasil melati kualitas baik. Selain dijual ke pabrik teh di Slawi, melati juga juga dikirim sampai ke India.

Konon kualitas melati Ulujami lebih bagus dibanding hasil panen di negara Bollywood itu sendiri. Suatu pujian, mengingat India sebagai penghasil jenis teh hitam yang melegenda: Darjeeling.  

Gagal panen ditengah membludaknya jumlah permintaan, menyebabkan harga melati terbang tinggi. Hingga menjelang tahun baru kemarin, harga melati kuncup menyentuh Rp600 ribu per kilogram.

“Padahal kalau sedang ramai pesanan seperti sekarang, kita bisa pakai sehari sekitar 15 kilogram. ‘Bunyi’ juga kan harganya. Lagian kalau banyak kena hujan, banyak bunga yang afkiran (tidak terpakai).”

Setiap hari Debby memesan melati dari Pemalang yang dikirim menggunakan jasa ekspedisi. Begitu datang, melati harus secepat itu dirangkai.

Jika disimpan lama, bunga berisiko rusak atau telanjur mekar. Padahal melati yang bisa dipakai untuk roncean rias pengantin hanya yang masih dalam kondisi kuncup.

“Kami nurunin melati setiap hari saja banyak yang busuk. Kalau ditandon makin banyak yang rusak, kita rugi.”

Harga jual satu paket roncean melati, tergantung jenis riasan pengantin yang akan digunakan. Paket riasan pengantin paes ageng misalnya, membutuhkan sekitar 1 kilogram melati.   

Debby mematok harga paling mahal untuk roncean melati pengantin paes ageng, sekitar Rp350 ribu sampai Rp400 ribu. Harga itu sudah satu paket untuk sepasang pengantin.

Sedangkan harga paling murah untuk roncean kalung melati. “Biasanya dipakai riasan pengantin muslim. Yang putri pakai dodot, putranya untuk kalung. Itu paling murah, Rp100 ribu. Butuh empat ons melati.” 

Biar Mahal Asal Sakral

Ilustrasi pernikahan adat Jawa. (Shutterstock)

Setidaknya ada dua pakem tata rias pengantin adat Jawa yang masih sering dipakai hingga sekarang. Satu mengikuti tradisi Keraton Yogyakarta, lainnya sesuai adat Keraton Surakarta.

Tata rias pengantin Yogyakarta antara lain Paes Ageng, Paes Ageng Jangan Menir, Paes Ageng Kanigaran, Yogya Putri, Kasatriyan Ageng, dan Pura Pakualaman.

Sedangkan adat rias pengantin Keraton Surakarta diantaranya, Solo Basahan, Solo Putri, Solo Langenharjan, Solo Taqwa, dan Solo Mangkunegaran.         

Jaman dulu adat riasan tersebut hanya boleh dipakai saat prosesi pernikahan keluarga keraton. Pada masa Sultan Hamengku Buwono IX aturan dilonggarkan sehingga pernikahan orang awan bisa ikut meniru dandan para raja.

Semua prosesi pernikahan adat Jawa, menjadikan roncean melati sebagai aksesoris penting. Tidak hanya berfungsi sebagai hiasan, rangkaian bunga beraroma khas itu juga menambah nilai sakral.

Ini menjadi alasan mengapa perias pengantin, Lingga, menolak menggunakan melati imitasi untuk mengakali kenaikan harga. “Saya nggak (pernah) pakai melati palsu karena menurut saya jadi kurang sakral.”

Dia memilih mengenakan charge tambahan kepada pelanggan untuk menalangi kerugian akibat naiknya harga roncean melati. Agar tidak memberatkan, biaya tambahan ditanggung berdua pihak perias dan pengantin.

Misal harga roncean melati naik Rp300 ribu lebih mahal dari biasanya, perias dan pengantin patungan masing-masing Rp150 ribu. Cara ini lebih adil karena kedua pihak biasanya sudah menyepakati biaya jasa rias  dimuka.  

Perias pasti keberatan jika harus menanggung sendiri ongkos membeli roncean melati.   

“Misal paket rias pengantin kita diharga Rp2 juta dan bunga ronceannya sampai Rp1,2 juta. Sisanya kan cuma Rp800 ribu. Padahal kita masih harus bayar asisten dan lain-lain. Masak harga melatinya lebih mahal dari biaya jasanya.”

Rekah Bisnis Melati

Pesanan roncean melati di Dusun Clapar, Desa Ngawen, Muntilan. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

Cara lain menekan biaya, biasanya peronce melati mengusulkan perias untuk mengurangi jumlah aksesoris. Hiasan melati hanya dipertahankan pada sisi depan pengantin yang terlihat tamu atau tampak dalam foto.   

“Teko dikurangi yang nggak kelihatan. Sanggul di belakang kan nggak kelihatan kalau difoto, itu bisa dikurangi. Hiasan untuk keris juga bisa (dihilangkan). Kasihan kalau komplitan roncenannya,” ujar Debby perajin ronce melati.

Debby berharap harga melati dari Pemalang segera turun. Tapi melihat kondisi hujan yang masih terus berlangsung selama beberapa minggu terakhir, harapan itu bakal terwujud dalam waktu lama.   

Menurut dia, cara lain agar perajin tidak bergantung pada pasokan melati dari daerah lain adalah menanamnya sendiri di Kabupaten Magelang. Sudah ada petani di Kecamatan Ngluwar yang mencoba menanam melati namun hasilnya belum mampu memenuhi kebutuhan pasar.

“Tapi ya itu yang dari sini hasil panennya nggak banyak. Kalau lagi banyak permintaan, kami paling cuma dapat jatah tiga sampai lima kilogram. Mereka baru mulai tanam.”

Kendala lain yang harus dipecahkan sebelum petani Magelang dikerahkan untuk menanam melati, adalah tersedianya pengepul yang siap menampung hasil panen.  

Sebab jika musim hajatan pernikahan telah usai, permintaan roncean bunga untuk rias pengantin akan jauh berkurang. “Kendalanya kalau pas lagi sepi roncenan. Bunganya cuma terbuang karena nggak tahu mau jual kemana lagi.”

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More