SuaraJawaTengah.id - Klenteng Hok An Kiong di Muntilan, boleh dibilang istimewa. Satu dari sedikit Tempat Ibadah Tri Dharma berusia ratusan tahun yang memiliki perpustakaan.
Dugaan sementara hanya ada dua klenteng di Indonesia yang memiliki koleksi buku diatas 1.000 judul. Selain Hok An Kiong, klenteng satu lagi berada di Solo.
“Di kota-kota besar pun punya, tapi cuma satu rak baca. Ketika kami pertama kali datang survei, cukup kaget, ternyata banyak ya (koleksi buku),” kata Astrid Salsabila.
Astrid lulusan Master Program of Center for Religious & Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada. Di sekolah pasca sarjana ini, dia berkesempatan mempelajari silang budaya antar agama.
Bukan warta baru jika Muntilan dikenal sebagai tuan rumah 2 lembaga pendidikan besar yang mewakili perbawa Islam dan Katolik. Pondok Pesantren Watucongol dan Van Lith.
Tapi lain lagi jika kita menyebut di Muntilan pernah berdiri Tiong Hwa Hak Hauw, sekolah anak-anak Tionghoa yang prestise-nya sempat menyaingi sekolah sejenis milik Belanda.
Sekolah Tionghoa
Dicuplik dari buku peringatan 47 tahun Tiong Hwa Hak Hauw (THHH) yang terbit tahun 1954, Wijkmeester, The Tjien Ing yang pertama kali mencetuskan ide mendirikan sekolah Tionghoa di Muntilan.
Pejabat setingkat lurah untuk komunitas Tionghoa di Muntilan itu prihatin, anak-anak yang umumnya masuk ke sekolah partikelir, diajar oleh guru Tiongkok totok. Murid yang dirumah biasa omong Jawa, kesulitan menerima pelajaran yang disampaikan dalam dialek Hokkian.
Baca Juga: Praktik Prostitusi di Gunung Kemukus Sragen Terungkap, Ritual Seks Hidup Lagi?
The Tjien Ing kemudian ingat, dulu pernah diajar oleh guru dari Lasem bernama Liem Djing He. Liem orang Hokkian yang dapat menerjemahkan Tionghoa kedalam bahasa Jawa atau Indonesia.
Tahun 1908, The Tjien Ing mulai membuka sekolah Kuo Yu untuk murid-murid Tionghoa dengan metode belajar baru. Kuo Yu mula-mula ditolak oleh orang tua yang berpikiran kolot.
Mereka menolak anak-anak belajar menggunakan bahasa pengantar Jawa atau Indonesia. Mereka ngotot murid harus belajar Hokkian, meskipun kurikulum Kou Yu tetap mengajarkan bahasa Tiongkok.
Pengaruh Wijkmeester, The Tjien Ing pelan-pelan mengubah pendapat orang tua murid. Mereka mulai memberi sumbangan uang, bangku, dan meja untuk sarana sekolah.
Sekolah juga menerima sumbangan rutin dari para penyokong sukarela sebesar 1 sampai 2,5 gulden setiap bulan. Uang itu untuk membayar kontrak rumah bulanan senilai 15 gulden yang dipakai sebagai tempat belajar.
Tuan Controleur Muntilan kemudian menyarankan pengelola sekolah mengurus badan hukum sekaligus mendirikan klenteng. Tahun 1911 komunitas Tionghoa mulai membangun Klenteng Hok An Kiong. Di klenteng ini The Tjien Ing dilantik naik pangkat menjadi Kapitan.
Berita Terkait
Terpopuler
- Naksir Avanza Tahun 2015? Harga Tinggal Segini, Intip Pajak dan Spesifikasi Lengkap
- 5 Krim Kolagen Terbaik yang Bikin Wajah Kencang, Cocok untuk Usia 30 Tahun ke Atas
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- 5 Rekomendasi Bedak Waterproof Terbaik, Anti Luntur Saat Musim Hujan
Pilihan
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
-
Seberapa Kaya Haji Halim? Crazy Rich dengan Kerajaan Kekayaan tapi Didakwa Rp127 Miliar
-
Toba Pulp Lestari Dituding Biang Kerok Bencana, Ini Fakta Perusahaan, Pemilik dan Reaksi Luhut
-
Viral Bupati Bireuen Sebut Tanah Banjir Cocok Ditanami Sawit, Tuai Kecaman Publik
Terkini
-
4 Link Saldo DANA Kaget Jumat Berkah: Raih Kesempatan Rp129 Ribu!
-
Skandal PSSI Jateng Memanas: Johar Lin Eng Diduga Jadi 'Sutradara' Safari Politik Khairul Anwar
-
8 Tempat Camping di Magelang untuk Wisata Akhir Pekan Syahdu Anti Bising Kota
-
Bukan Cuma Sepak Bola! Intip Keseruan dan Kekompakan Jurnalis Semarang di Tiba Tiba Badminton 2025
-
7 Jalur Trek Lari di Purwokerto, Syahdyu untuk Melepas Penat dan Menjaga Kebugaran