Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 08 Februari 2025 | 07:24 WIB
Klenteng Hok An Kiong layak menjadi pusat edukasi kebudayaan Tionghoa di Muntilan. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardhi).

SuaraJawaTengah.id - Klenteng Hok An Kiong di Muntilan, boleh dibilang istimewa. Satu dari sedikit Tempat Ibadah Tri Dharma berusia ratusan tahun yang memiliki perpustakaan.

Dugaan sementara hanya ada dua klenteng di Indonesia yang memiliki koleksi buku diatas 1.000 judul. Selain Hok An Kiong, klenteng satu lagi berada di Solo.

“Di kota-kota besar pun punya, tapi cuma satu rak baca. Ketika kami pertama kali datang survei, cukup kaget, ternyata banyak ya (koleksi buku),” kata Astrid Salsabila.

Astrid lulusan Master Program of Center for Religious & Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada. Di sekolah pasca sarjana ini, dia berkesempatan mempelajari silang budaya antar agama.

Baca Juga: Praktik Prostitusi di Gunung Kemukus Sragen Terungkap, Ritual Seks Hidup Lagi?

Bukan warta baru jika Muntilan dikenal sebagai tuan rumah 2 lembaga pendidikan besar yang mewakili perbawa Islam dan Katolik. Pondok Pesantren Watucongol dan Van Lith.

Tapi lain lagi jika kita menyebut di Muntilan pernah berdiri Tiong Hwa Hak Hauw, sekolah anak-anak Tionghoa yang prestise-nya sempat menyaingi sekolah sejenis milik Belanda.

Sekolah Tionghoa

Dicuplik dari buku peringatan 47 tahun Tiong Hwa Hak Hauw (THHH) yang terbit tahun 1954, Wijkmeester, The Tjien Ing yang pertama kali mencetuskan ide mendirikan sekolah Tionghoa di Muntilan.

Pejabat setingkat lurah untuk komunitas Tionghoa di Muntilan itu prihatin, anak-anak yang umumnya masuk ke sekolah partikelir, diajar oleh guru Tiongkok totok. Murid yang dirumah biasa omong Jawa, kesulitan menerima pelajaran yang disampaikan dalam dialek Hokkian.

Baca Juga: Kisah Sya'ban: Sahabat Nabi yang Dirindukan Rasulullah Saat Subuh

The Tjien Ing kemudian ingat, dulu pernah diajar oleh guru dari Lasem bernama Liem Djing He. Liem orang Hokkian yang dapat menerjemahkan Tionghoa kedalam bahasa Jawa atau Indonesia.

Tahun 1908, The Tjien Ing mulai membuka sekolah Kuo Yu untuk murid-murid Tionghoa dengan metode belajar baru. Kuo Yu mula-mula ditolak oleh orang tua yang berpikiran kolot.

Mereka menolak anak-anak belajar menggunakan bahasa pengantar Jawa atau Indonesia. Mereka ngotot murid harus belajar Hokkian, meskipun kurikulum Kou Yu tetap mengajarkan bahasa Tiongkok.

Pengaruh Wijkmeester, The Tjien Ing pelan-pelan mengubah pendapat orang tua murid. Mereka mulai memberi sumbangan uang, bangku, dan meja untuk sarana sekolah.    

Sekolah juga menerima sumbangan rutin dari para penyokong sukarela sebesar 1 sampai 2,5 gulden setiap bulan. Uang itu untuk membayar kontrak rumah bulanan senilai 15 gulden yang dipakai sebagai tempat belajar.

Tuan Controleur Muntilan kemudian menyarankan pengelola sekolah mengurus badan hukum sekaligus mendirikan klenteng. Tahun 1911 komunitas Tionghoa mulai membangun Klenteng Hok An Kiong. Di klenteng ini The Tjien Ing dilantik naik pangkat menjadi Kapitan.

Setahun kemudian, sekolah Kou Yu dipindah ke belakang kompleks Klenteng Hok An Kiong. Namanya berubah menjadi Tiong Hwa Hak Hauw.  

“Tiong Hwa Hak Hauw dulu ada kontestasi dengan Hollandsch Chineesch School (HCS). Sekolah Tionghoa berbahasa Eropa itu rebutan anak-anak (murid) Tionghoa,” kata Astrid.

Tiong Hwa Hak Hauw semakin maju setelah Hollandsch Chineesch School ditutup tahun 1942. Semua muridnya eksodus ke Tiong Hwa Hak Hauw.

Tapi nasib serupa dialami Tiong Hwa Hak Hauw tahun 1959. Pemerintah mengharuskan seluruh sekolah di-nasionalisasi karena tidak boleh ada “sekolah asing” di wilayah Kawedanan (Muntilan). Tiong Hwa Hak Hauw kemudian berubah menjadi Sekolah Rakyat Setia Dharma.

“Sayangnya sekitar tahun 1965 sekolah ditutup. Menurut beberapa informan saya yang juga dulu sekolah di Sekolah Rakyat Setia Dharma, (murid-muridnya) dipindahan ke sekolah-sekolah lain.”

Digitalisasi Buku Tionghoa

Perpustakaan di Klenteng Hok An Kiong adalah warisan dari sekolah Tiong Hwa Hak Hauw. Tapi Astrid tidak dapat memastikan berapa jumlah koleksi buku yang asli milik sekolah.

Banyak ditemukan buku pendidikan dan bahasa Indonesia untuk sekolah Tionghoa, selain buku-buku ajaran Konghucu, Taoisme, dan Buddha. Tapi ada juga koleksi bundelan majalah umum seperti Tempo dan Intisari.         

“Buku-buku di klenteng ini banyak donasi di tahun 1980-an. Kami tidak bisa memastikan buku mana yang sudah ada sejak sekolah, dan mana buku yang muncul ketika donasi (1980-an).”

Sejak tahun 2023, Astrid terlibat dalam proyek Modern Endangered Archive Program. Upaya digitalisasi buku-buku yang dianggap hampir punah, terutama yang berhubungan dengan ajaran Tri Dharma: Buddhisme, Taoisme, dan Konghucu.

Program kerjasama Center for Religious & Cross-cultural Studies UGM dengan UCLA itu, menargetkan alih digital 10 ribu lembar buku.

“Saya berdua dengan Mas Revan ditarget 10 ribu lembar. Sejauh ini sudah sudah men-scan 200 judul buku. Yang lainnya belum kepegang sama sekali. Jadi (jumlah koleksi perpusatakaan) bisa jadi lebih dari 1.000 buku dari berbagai genre.”

Digitalisasi terutama untuk buku berbahasa Indonesia-Melayu yang diterbitkan sebelum tahun 1965. Koleksi buku paling tua yang berhasil dialih digital terbitan tahun 1920.

Astrid berasumsi ada buku yang berusia lebih tua, karena masih banyak buku berbahasa Tiongkok yang belum teridentifikasi. Satu rak besar kaca di ruang perpustakaan Klenteng Hok An Kiong, menampung ratusan buku beraksara Hanji.

“Terutama buku berbahasa Mandarin. Sayangnya itu baru asumsi karena kami tidak bisa bahasa Mandarin.”

Buku ‘Kalangan Sendiri’

Astrid Salsabila dihadapan buku-buku beraksara Hanji. Menunggu diterjemahkan. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardhi).

Banyak buku koleksi perpustakaan kleteng yang dipublikasi setelah tahun 1965, diberi label “untuk kalangan sendiri”.

Pasca peristiwa ’65 pemerintah mengatur ketat pembatasan kegiatan warga Tionghoa. Memberi label buku “untuk kalangan sendiri” merupakan strategi menghindari sensor dan beredel aparat.

“Kami banyak menemukan buku-buku tentang agama Tionghoa yang (dilabel) ‘untuk kalangan sendiri’. Memiliki buku Tionghoa agak berbahaya pada zaman ‘65.”

Meski begitu, pembatasan kegiatan pasca ’65 tidak menghalangi komunitas Tionghoa untuk saling berbagi buku. Tercatat banyak buku yang di-label “untuk kalangan sendiri” dikirim dari Jakarta, Banten, dan Kalimantan.

Begitupun situasi politik lebih terbuka setelah Reformasi 1998, dampak tekanan politik terhadap warga Tionghoa selama Orde Baru, telanjur berdampak parah.

Represi politik dan diskriminasi sosial membuat warga keturunan Tionghoa takut kembali beribadat di klenteng.

Apalagi sebelum Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2000 mengakui Konghucu sebagai agama resmi, orang-orang Tionghoa ‘dipaksa’ memilih keyakinan sesuai agama yang diakui pemerintah.

Generasi keturunan yang sekarang memeluk agama baru, menjadikan ikatan mereka dengan keyakinan nenek moyang, tinggal sebatas tradisi.

“Kita terjajah sama zaman Orde Baru. Kita putus beberapa generasi. Sekarang sudah mulai maju tapi (pengurus klenteng) sudah tua-tua. Yang muda-muda sekolahnya di Kristen, Katolik, sebenarnya nggak apa. Cuma kita terputus itu,” kata Ketua Pengurus TITD Klenteng Hok An Kiong, Budi Raharjo.

Diplomasi Budaya

Siang itu kami menemui Budi Raharjo di pelataran klenteng. Dia mengeluh sejak tahun 1987 tidak bisa pensiun dari jabatan ketua pengurus.

Katanya tidak ada orang yang mau menggantikan posisinya. “Adanya cuma gitu-gitu saja. Makanya klenteng di Indonesia jarang yang bisa maju pesat.”

Budi menyampaikan keinginannya untuk kembali membuka sekolah Tionghoa di kompleks klenteng. Dia melihat potensi anak-anak keturunan Tionghoa tertarik belajar di sekolah 3 bahasa: Indonesia, Inggris, dan Mandarin.

Tapi begitu mengingat perkembangan banyak warga keturunan Tionghoa yang enggan masuk klenteng, Budi yang memiliki nama Tionghoa, Wong Kim Tjung kembali gamang,

“Tempat, kita ada. Permasalahnya kita bisa mencari (murid) tidak? Kalau mau jadi umat, saya kira kami juga nggak narik umat. Kami welcome saja.”

Sikapnya sama, ketika ditanya apakah akan menjadikan perpustakaan sebagai tempat terbuka yang bebas dikunjungi orang.

Dia berharap, perpustakaan di Klenteng Hok An Kiong menjadi sarana khalayak umum mempelajari kebudayaan Tionghoa. “Harapan kami ada yang bisa melestarikan kebudayaan Tionghoa. Cuma itu. Lain nggak ada.”  

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More