Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 08 Februari 2025 | 07:24 WIB
Klenteng Hok An Kiong layak menjadi pusat edukasi kebudayaan Tionghoa di Muntilan. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardhi).

Setahun kemudian, sekolah Kou Yu dipindah ke belakang kompleks Klenteng Hok An Kiong. Namanya berubah menjadi Tiong Hwa Hak Hauw.  

“Tiong Hwa Hak Hauw dulu ada kontestasi dengan Hollandsch Chineesch School (HCS). Sekolah Tionghoa berbahasa Eropa itu rebutan anak-anak (murid) Tionghoa,” kata Astrid.

Tiong Hwa Hak Hauw semakin maju setelah Hollandsch Chineesch School ditutup tahun 1942. Semua muridnya eksodus ke Tiong Hwa Hak Hauw.

Tapi nasib serupa dialami Tiong Hwa Hak Hauw tahun 1959. Pemerintah mengharuskan seluruh sekolah di-nasionalisasi karena tidak boleh ada “sekolah asing” di wilayah Kawedanan (Muntilan). Tiong Hwa Hak Hauw kemudian berubah menjadi Sekolah Rakyat Setia Dharma.

“Sayangnya sekitar tahun 1965 sekolah ditutup. Menurut beberapa informan saya yang juga dulu sekolah di Sekolah Rakyat Setia Dharma, (murid-muridnya) dipindahan ke sekolah-sekolah lain.”

Digitalisasi Buku Tionghoa

Perpustakaan di Klenteng Hok An Kiong adalah warisan dari sekolah Tiong Hwa Hak Hauw. Tapi Astrid tidak dapat memastikan berapa jumlah koleksi buku yang asli milik sekolah.

Banyak ditemukan buku pendidikan dan bahasa Indonesia untuk sekolah Tionghoa, selain buku-buku ajaran Konghucu, Taoisme, dan Buddha. Tapi ada juga koleksi bundelan majalah umum seperti Tempo dan Intisari.         

“Buku-buku di klenteng ini banyak donasi di tahun 1980-an. Kami tidak bisa memastikan buku mana yang sudah ada sejak sekolah, dan mana buku yang muncul ketika donasi (1980-an).”

Baca Juga: Praktik Prostitusi di Gunung Kemukus Sragen Terungkap, Ritual Seks Hidup Lagi?

Sejak tahun 2023, Astrid terlibat dalam proyek Modern Endangered Archive Program. Upaya digitalisasi buku-buku yang dianggap hampir punah, terutama yang berhubungan dengan ajaran Tri Dharma: Buddhisme, Taoisme, dan Konghucu.

Program kerjasama Center for Religious & Cross-cultural Studies UGM dengan UCLA itu, menargetkan alih digital 10 ribu lembar buku.

“Saya berdua dengan Mas Revan ditarget 10 ribu lembar. Sejauh ini sudah sudah men-scan 200 judul buku. Yang lainnya belum kepegang sama sekali. Jadi (jumlah koleksi perpusatakaan) bisa jadi lebih dari 1.000 buku dari berbagai genre.”

Digitalisasi terutama untuk buku berbahasa Indonesia-Melayu yang diterbitkan sebelum tahun 1965. Koleksi buku paling tua yang berhasil dialih digital terbitan tahun 1920.

Astrid berasumsi ada buku yang berusia lebih tua, karena masih banyak buku berbahasa Tiongkok yang belum teridentifikasi. Satu rak besar kaca di ruang perpustakaan Klenteng Hok An Kiong, menampung ratusan buku beraksara Hanji.

“Terutama buku berbahasa Mandarin. Sayangnya itu baru asumsi karena kami tidak bisa bahasa Mandarin.”

Load More