Budi Arista Romadhoni
Rabu, 21 Mei 2025 | 16:24 WIB
Direktur Utama PT Deka Sari Perkasa, Rachmat Utama Djangkar, terdakwa dalam kasus dugaan suap terhadap mantan Wali Kota Semarang Hevearita G. Rahayu dan suaminya Alwin Basri, pada sidang secara daring di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (21/5/2025). [ANTARA/I.C. Senjaya]

SuaraJawaTengah.id - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang kembali menggelar sidang lanjutan kasus dugaan suap yang menyeret nama mantan Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu (Mbak Ita) dan suaminya, Alwin Basri pada Rabu 21 Mei 2025.

Fokus utama persidangan kali ini menyoroti aliran dana sebesar Rp1,75 miliar yang diduga menjadi bagian dari praktik gratifikasi terkait proyek pengadaan meja dan kursi untuk sekolah dasar di Kota Semarang tahun 2023.

Dalam sidang yang digelar Rabu (15/5), Direktur Utama PT Deka Sari Perkasa (DSP), Rachmat Utama Djangkar, mengungkapkan bahwa dana sebesar Rp1,75 miliar tersebut belum sempat diserahkan kepada Alwin Basri.

Uang itu, menurutnya, berasal dari kas perusahaan dan dicairkan setelah proyek pengadaan senilai Rp17 miliar selesai dikerjakan.

“Dikeluarkan dari kantor sebagai pinjaman pribadi,” ujar Rachmat dalam keterangannya secara daring di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Gatot Sarwadi.

Lebih lanjut, ia mengaku bahwa pada Desember 2023, Alwin meminta penundaan pertemuan yang diduga berkaitan dengan penyerahan fee proyek, mengingat saat itu sudah ada penyelidikan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Rachmat menyebut bahwa dirinya telah mengenal Alwin selama satu dekade dan menyebut hubungan keduanya lebih dari sekadar profesional.

Pengakuan Rachmat menambah lapisan baru dalam perkara ini. Ia mengakui mendapat proyek pengadaan di Dinas Pendidikan Kota Semarang setelah menyerahkan profil perusahaannya kepada Alwin, yang kemudian mempertemukannya dengan pihak dinas terkait.

Meski begitu, ia mengaku tidak mengetahui secara rinci proses lanjutan hingga perusahaannya memenangkan proyek dengan pagu anggaran hingga Rp20 miliar.

Baca Juga: Mbak Ita dan Suami Didakwa Tiga Kasus Korupsi, Mantan Wali Kota Semarang Terancam Pasal Berlapis

“Secara eksplisit tidak pernah menjanjikan, tetapi secara persahabatan. Untuk beli spanduk, beli kaos,” tambah Rachmat, sembari menegaskan tidak pernah berjanji akan memberikan sejumlah uang sebagai imbalan.

Sementara dalam dakwaan jaksa penuntut umum, disebutkan bahwa Rachmat telah memberikan uang Rp1,75 miliar kepada Alwin Basri dan Hevearita G. Rahayu.

Uang itu disebut sebagai fee dari proyek pengadaan meja dan kursi SD tahun 2023 senilai total Rp20 miliar.

Sidang yang digelar pada Jumat (16/5) lalu turut menghadirkan Hevearita G. Rahayu dan Alwin Basri sebagai saksi.

Dalam keterangannya, Hevearita menjelaskan prosedur umum pengajuan perubahan anggaran di lingkungan Pemerintah Kota Semarang.

Ia menegaskan bahwa pengajuan anggaran pengadaan meja dan kursi SD berasal dari Dinas Pendidikan dan bersifat umum, tanpa rincian yang ia ketahui secara langsung.

“Tidak dapat laporan secara khusus tentang pengajuan pengadaan meja dan kursi SD karena pengajuan dari Dinas Pendidikan secara global,” ujarnya.

Namun demikian, Hevearita mengakui sempat mempertanyakan besarnya alokasi anggaran tersebut.

Ia menyampaikan bahwa menurut Kepala Dinas Pendidikan, usulan tersebut merupakan aspirasi dari Alwin Basri, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komisi D DPRD Jawa Tengah. Ia bahkan sempat memperingatkan suaminya agar tidak turut campur dalam urusan Pemkot Semarang.

“Saya sampaikan agar jangan ikut-ikut dalam urusan Pemkot Semarang,” tegasnya.

Di sisi lain, Alwin Basri juga memberikan kesaksian mengenai kedekatannya dengan Rachmat Djangkar. Ia mengakui Rachmat pernah membantunya saat Pemilu Legislatif 2019 di daerah pemilihannya, yakni Rembang dan Pati.

“Pak Rachmat memiliki banyak kerabat dan teman di wilayah Rembang,” katanya.

Namun, Alwin membantah telah mengatur kemenangan PT Deka Sari Perkasa dalam lelang proyek tersebut maupun menerima uang dari Rachmat. Ia menyebut bantuan yang diberikan sebatas kebutuhan kampanye.

“Minta bantuan spanduk saja untuk pemilihan calon anggota DPR di wilayah Rembang, Pati, Blora,” jelasnya.

Kasus ini menjadi preseden penting dalam penegakan hukum terkait etika hubungan personal pejabat publik dan pengusaha dalam proyek pengadaan pemerintah. Publik kini menyoroti bagaimana hubungan informal bisa menjadi celah masuknya konflik kepentingan dalam proses birokrasi dan pengadaan barang jasa.

Mantan Wali Kota Semarang Hevearita G. Rahayu saat dimintai keterangan sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan pemberian suap proyek pengadaan meja dan kursi SD pada 2023 di Pengadilan Tipikor Semarang, Jumat (16/5/2025). [ANTARA/I.C. Senjaya]

Hevearita sendiri merupakan tokoh perempuan dengan karier birokrasi dan politik yang cemerlang.

Lahir di Semarang pada 15 Mei 1966, ia sempat menjabat Wakil Wali Kota Semarang pada 2016, sebelum akhirnya menjadi wali kota perempuan pertama di Semarang pada Januari 2023.

Selama menjabat, ia dikenal sebagai pemimpin yang komunikatif dan pro-rakyat, dengan berbagai program berbasis digitalisasi layanan publik dan pemberdayaan komunitas.

Namun, bayang-bayang kasus korupsi yang kini dihadapinya bersama sang suami berpotensi meruntuhkan reputasi yang telah dibangunnya selama bertahun-tahun.

Dari simbol keberhasilan perempuan dalam politik lokal, kini Hevearita harus membuktikan integritasnya di hadapan hukum dan publik.

Kasus ini tidak hanya menyita perhatian warga Semarang, tetapi juga menjadi pengingat penting akan perlunya transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan ketat terhadap setiap proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah.

Relasi personal, jika tidak dikendalikan secara etis, dapat dengan mudah menjelma menjadi pintu masuk praktik koruptif.

Load More