Budi Arista Romadhoni
Selasa, 03 Juni 2025 | 14:43 WIB
Ilustrasi hewan kurban jadi tunggangan ke akhirat. [ Freepik.com/Freepik AI]

SuaraJawaTengah.id - Di tengah maraknya semangat berkurban menjelang Idul Adha, muncul pertanyaan klasik yang kerap beredar di kalangan umat Islam: benarkah hewan kurban akan menjadi tunggangan kita di akhirat? 

Pertanyaan ini bukan sekadar mitos atau cerita rakyat semata, tetapi menyentuh sisi mendalam dari keyakinan eskatologis dalam Islam yakni tentang kehidupan setelah kematian.

Menjawab keresahan ini, Ustadz Abdul Somad (UAS), seorang dai kondang yang dikenal luas karena pemahaman mendalamnya terhadap ilmu agama dan kemampuannya menjelaskan persoalan dengan pendekatan rasional, memberikan penjelasan menarik dalam sebuah sesi tanya jawab yang kemudian ditranskrip ke dalam bentuk teks.

Hadis, Motivasi, dan Makna Simbolik dalam Kurban

Dalam penjelasannya, UAS menyampaikan bahwa memang terdapat hadis dan pendapat sejumlah ulama yang menyebutkan bahwa hewan kurban akan menjadi tunggangan pemiliknya di akhirat.

Artinya, mereka yang berkurban di dunia akan memperoleh manfaat berupa kemudahan dalam perjalanan menuju akhirat kelak.

Menurut UAS, pemahaman ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab klasik sebagai bentuk targib, atau motivasi spiritual.

Ia menegaskan bahwa Islam sering menggunakan pendekatan naratif untuk membangun semangat umat dalam beribadah. Salah satu contohnya adalah dengan menggambarkan betapa indah dan mudahnya kehidupan akhirat bagi mereka yang beramal baik di dunia.

“Nanti bila kita berkorban, maka binatang ini akan menjadi tunggangan kita di akhirat,” ujar UAS dalam ceramahnya. Namun ia segera mengingatkan bahwa pemahaman ini sebaiknya jangan ditafsirkan secara kaku atau harfiah. “Ini adalah motivasi,” tegasnya dalam video ceramah yang diunggah oleh akun YouTube Ceramah Islami.

Baca Juga: Tradisi Unik di Dieng: Warga Dusun Krajan Kumpulkan Uang Setahun untuk Sembelih Hewan Kurban

UAS menyoroti bagaimana sebagian orang menafsirkan hadis tersebut secara tekstual dan sempit. Ia mencontohkan seorang ulama yang menolak adanya kombinasi kurban antara sapi dan kambing, karena menurutnya hal itu tidak masuk akal jika hewan kurban benar-benar akan menjadi kendaraan akhirat.

Ulama itu bersikukuh bahwa satu sapi hanya boleh untuk tujuh orang, dan tidak boleh dikombinasikan dengan kambing. Alasannya, bagaimana bisa seseorang naik tunggangan yang ‘terpecah’ antara sapi dan kambing?

Pandangan seperti ini, menurut UAS, menunjukkan pendekatan hukum yang terlalu rigid dan kurang mempertimbangkan konteks. Padahal, Islam juga mendorong umatnya untuk menggunakan akal sehat dalam memahami teks-teks agama.

“Kita sekarang berhadapan dengan orang yang rasional,” kata UAS.

Ia memahami bahwa umat Islam zaman sekarang semakin kritis dan cenderung berpikir logis. Maka, pesan agama perlu disampaikan dengan cara yang menyentuh sisi intelektual dan emosional sekaligus, bukan hanya dengan narasi yang menakut-nakuti atau janji-janji metafisik yang sulit dicerna.

Akhirat: Dunia yang Tak Pernah Terbayangkan

Load More