SuaraJawaTengah.id - Berbohong atau berdusta secara tegas dilarang dalam ajaran Islam dan kerap dianggap sebagai dosa besar yang harus dihindari.
Namun, dalam situasi tertentu, terdapat sebuah kelonggaran di mana kebohongan tidak hanya ditoleransi, tetapi justru diperbolehkan, bahkan bisa berhukum wajib.
Ini bukanlah pembenaran untuk menghalalkan dusta, melainkan sebuah pengecualian yang didasarkan pada prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang lebih besar dan menghindari mudarat (kerusakan) yang lebih parah.
Memahami batasan ini menjadi krusial agar tidak salah kaprah dalam menerapkannya.
Lantas, dalam kondisi mendesak seperti apa kebohongan diperbolehkan dalam syariat Islam?
Dalil dan Konsep Tauriyah sebagai Jalan Keluar
Salah satu landasan utama mengenai kebolehan berbohong dalam kondisi tertentu datang dari hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Kultsum binti Uqbah. Hadis ini menjadi dalil kuat bahwa niat di balik sebuah ucapan memegang peranan penting.
"Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Bukanlah termasuk pendusta orang yang berusaha memperbaiki hubungan antar manusia, lalu menyampaikan kebaikan atau berkata yang mengandung kebaikan.’" (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa ucapan yang tidak sesuai fakta demi mendamaikan dua pihak yang berseteru tidak tergolong sebagai dusta yang tercela.
Baca Juga: Manunggaling Kawula Gusti: Ajaran Syekh Siti Jenar Sempat Lebih Populer dari Wali Songo
Selain itu, Islam juga mengenal konsep ma’aridh atau tauriyah, yakni mengucapkan kalimat yang memiliki makna ganda atau ambigu.
Lawan bicara akan menafsirkannya secara berbeda dari maksud si pembicara, namun kalimat itu sendiri tidak sepenuhnya bohong jika ditinjau dari makna lainnya.
Contoh paling populer dari praktik ini adalah kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam saat berhadapan dengan penguasa zalim yang hendak merebut istrinya, Sarah. Ketika ditanya siapa perempuan bersamanya, Nabi Ibrahim menjawab, “Dia adalah saudari-ku.”
Beliau kemudian menjelaskan kepada Sarah:
"Wahai Sarah, tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang beriman selain aku dan engkau. Tadi orang itu bertanya kepadaku, lalu aku menjawab bahwa engkau adalah saudari-ku. Karena itu, jangan engkau anggap aku berbohong” (HR. Bukhari).
Maksud Nabi Ibrahim adalah "saudari seiman", sementara para prajurit penguasa memahami sebagai "saudara sedarah". Cara ini digunakan untuk melindungi kehormatan dan nyawa tanpa harus berdusta secara gamblang.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Shio yang Diprediksi Paling Beruntung di Tahun 2026, Ada Naga dan Anjing!
- Jordi Cruyff Sudah Tinggalkan Indonesia, Tinggal Tandatangan Kontrak dengan Ajax
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- 5 Sabun Cuci Muka Wardah untuk Usia 50-an, Bikin Kulit Sehat dan Awet Muda
Pilihan
-
Orang Pintar Ramal Kans Argentina Masuk Grup Neraka di Piala Dunia 2026, Begini Hasilnya
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
-
Listrik Aceh, Sumut, Sumbar Dipulihkan Bertahap Usai Banjir dan Longsor: Berikut Progresnya!
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
Terkini
-
SIG Dukung Batam Jadi Percontohan Pengembangan Fondasi Mobilitas & Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan
-
Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah Kirim 29 AMT untuk Pemulihan Suplai di Sumatera
-
4 Link Saldo DANA Kaget Jumat Berkah: Raih Kesempatan Rp129 Ribu!
-
Skandal PSSI Jateng Memanas: Johar Lin Eng Diduga Jadi 'Sutradara' Safari Politik Khairul Anwar
-
8 Tempat Camping di Magelang untuk Wisata Akhir Pekan Syahdu Anti Bising Kota