SuaraJawaTengah.id - Sebuah penelitian mendalam selama lima tahun akhirnya membongkar tabir gelap di balik masifnya aktivitas pendengung atau buzzer di ruang digital Indonesia.
Fenomena yang kerap meresahkan ini ternyata telah berevolusi menjadi sebuah industri yang terorganisir, dengan elite politik dan bisnis sebagai pemodal utamanya.
Fakta mengejutkan ini diungkap oleh Antropolog politik komparatif dari University of Amsterdam, Ward Berenschot.
Menurutnya, temuan ini bukan sekadar asumsi, melainkan hasil dari riset panjang yang melibatkan wawancara langsung dengan para pelaku di lapangan.
"Kami sudah sekitar lima tahun melakukan riset tentang fenomena kejahatan siber di Indonesia," kata Ward dalam sebuah workshop yang digelar oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jumat (23/8/2025).
Riset kolaborasi antara University of Amsterdam, Undip, dan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) ini menelusuri secara detail bagaimana 'tentara siber' ini beroperasi, siapa yang menggerakkan, dan dari mana sumber pendanaannya berasal.
Hasilnya mengonfirmasi kecurigaan banyak pihak. Para buzzer tidak bergerak sendiri, melainkan didanai secara sistematis oleh pihak-pihak berkepentingan untuk menggiring dan memanipulasi opini publik di media sosial.
"Temuannya memang menjadi industri karena justru banyak elite politik, elite bisnis yang mendanai tentara siber tersebut untuk mempengaruhi opini publik di media sosial," tegas Ward.
Tujuan dari riset ini, lanjutnya, adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar lebih kritis terhadap informasi yang beredar.
Baca Juga: Dilema PO Hariyanto: Royalti Musik Bikin Bus Hening di Tengah Anjloknya Penumpang
Lebih dari itu, ia mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak tinggal diam dan segera merumuskan kebijakan yang dapat menghentikan praktik kotor ini. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah kewajiban transparansi.
"Pemilik suatu akun media sosial harus jujur ketika unggahannya dibayar, harus transparan," katanya.
Indonesia Jadi Laboratorium Buzzer
Wakil Rektor IV Undip Semarang, Wijayanto, menjelaskan alasan mengapa Indonesia menjadi lokasi penting bagi penelitian ini.
Kombinasi antara status Indonesia sebagai salah satu negara dengan pengguna media sosial terbesar di dunia dan sistem politik pemilihan langsung, menciptakan lahan subur bagi praktik manipulasi opini.
Menurutnya, hasil penelitian ini mengerucut pada tiga rekomendasi utama: perlunya peningkatan literasi digital di masyarakat, penegakan etika politik bagi para elite, serta tuntutan transparansi yang lebih ketat bagi platform digital.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Naksir Avanza Tahun 2015? Harga Tinggal Segini, Intip Pajak dan Spesifikasi Lengkap
- 5 Krim Kolagen Terbaik yang Bikin Wajah Kencang, Cocok untuk Usia 30 Tahun ke Atas
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- 5 Rekomendasi Bedak Waterproof Terbaik, Anti Luntur Saat Musim Hujan
Pilihan
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
-
Seberapa Kaya Haji Halim? Crazy Rich dengan Kerajaan Kekayaan tapi Didakwa Rp127 Miliar
-
Toba Pulp Lestari Dituding Biang Kerok Bencana, Ini Fakta Perusahaan, Pemilik dan Reaksi Luhut
-
Viral Bupati Bireuen Sebut Tanah Banjir Cocok Ditanami Sawit, Tuai Kecaman Publik
Terkini
-
4 Link Saldo DANA Kaget Jumat Berkah: Raih Kesempatan Rp129 Ribu!
-
Skandal PSSI Jateng Memanas: Johar Lin Eng Diduga Jadi 'Sutradara' Safari Politik Khairul Anwar
-
8 Tempat Camping di Magelang untuk Wisata Akhir Pekan Syahdu Anti Bising Kota
-
Bukan Cuma Sepak Bola! Intip Keseruan dan Kekompakan Jurnalis Semarang di Tiba Tiba Badminton 2025
-
7 Jalur Trek Lari di Purwokerto, Syahdyu untuk Melepas Penat dan Menjaga Kebugaran