Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 30 Agustus 2025 | 22:23 WIB
Pengunjuk rasa melihat Gerbang Tol Pejompongan yang dibakar saat aksi di Jakarta, Jumat (29/8/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]

SuaraJawaTengah.id - Gelombang kemarahan massa yang berujung kerusuhan di berbagai penjuru Indonesia menjadi cerminan luka mendalam yang dirasakan masyarakat.

Di tengah situasi yang kian memanas, suara keprihatinan muncul dari kalangan akademisi, menyuarakan apa yang menjadi perasaan banyak orang.

Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Kholidul Adib, mengungkapkan kesedihan dan keprihatinannya atas huru-hara yang terjadi.

Baginya, pemandangan ini adalah potret buram bangsa yang kian terpuruk.

"Pandangan saya mungkin sama dengan pandangan kebanyakan orang Indonesia. Saya sangat sedih dan prihatin atas huru hara akhir-akhir ini apalagi ada korban yang meninggal tentu ini sangat memilukan semua pihak," ujar Kholidul Adib saat dikonfirmasi pada Sabtu (30/8/2025) malam.

Kondisi ini, menurutnya, adalah akumulasi dari berbagai persoalan yang menghimpit rakyat kecil. 

Kesenjangan sosial terasa begitu nyata, di mana penderitaan warga biasa kontras dengan kemewahan yang dipertontonkan para elit politik dan pejabat negara.

"Di tengah kondisi bangsa kita yang semakin terpuruk banyak orang yang kena PHK tapi pajak naik dan pejabat hidup mewah gaji naik seolah tidak peka dengan penderitaan rakyat. Rakyat kecil susah mencari rizki tapi elit hidup bergelimang harta," tegasnya.

Pengamat Politik UIN Walisongo Semarang, Dr M Kholidul Adib. [Istimewa]

Faktanya, data memang menunjukkan kondisi ekonomi yang berat. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat, sepanjang Januari hingga Maret 2025 saja, sudah ada 73.992 pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Baca Juga: AICIS 2024 Hasilkan Sembilan Butir Piagam Semarang, Apa Saja Isinya?

Angka ini melanjutkan tren negatif dari tahun 2024 di mana 257.471 pekerja kehilangan pekerjaan.

Di saat yang sama, berbagai kebijakan seperti kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sejumlah daerah semakin menambah beban hidup.

Rasa muak dan frustrasi ini akhirnya tak terbendung. Aspirasi yang coba disalurkan seakan membentur tembok tebal kebisuan para wakil rakyat.

"Rakyat pun bergerak menyuarakan suara hati. Tapi parlemen tuli tidak punya empati. Saluran aspirasi tersumbat rakyat pun marah. Dimulai dari Pati yang memantik api. Jakarta pun bergejolak. Indonesia pun membara," papar Adib.

Apa yang disebut Adib sebagai "api dari Pati" merujuk pada kerusuhan besar di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang dipicu rencana kenaikan PBB hingga 250 persen pada pertengahan Agustus 2025.

Amuk massa di sana seolah menjadi pemantik gelombang protes yang lebih besar.

Load More