Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 26 September 2025 | 11:03 WIB
Ilustrasi Eksil di era G30S PKI. [ChatGPT]
Baca 10 detik
  • Eksil 1965 lahir dari represi politik pasca G30S, paspor dicabut hingga jadi “stateless”.
  • Mereka tersebar di berbagai negara, hidup dalam tantangan bahasa, stigma politik, dan ekonomi.
  • Generasi kedua eksil masih menyimpan memori pahit, sementara rekonsiliasi penuh belum tercapai.

SuaraJawaTengah.id - Selain pembantaian massal dan penjara, dampak lain dari peristiwa G30S/PKI adalah nasib para eksil, yaitu orang-orang Indonesia yang terpaksa meninggalkan tanah air karena alasan politik.

Banyak dari mereka adalah mahasiswa penerima beasiswa untuk belajar di luar negeri, terutama di negara-negara komunis. Pada masa Presiden Sukarno, mereka diharapkan kembali untuk membangun Indonesia setelah menyelesaikan studi.

Namun, pasca G30S/PKI, situasi berubah drastis. Mereka dicap sebagai pengkhianat dan komunis oleh rezim Orde Baru. Paspor mereka dicabut, kewarganegaraan hilang, dan mereka menjadi orang-orang tanpa negara.

Eksil tersebar di berbagai negara seperti Uni Soviet, Cekoslowakia, Polandia, China, Vietnam, Korea Utara, Kuba, dan Belanda. Mereka menghadapi tantangan berat mulai dari bahasa, budaya, hingga tekanan ekonomi dan politik. 

Meski begitu, sebagian tetap berusaha menjaga identitas nasionalisme dengan menulis, mengajar, dan berorganisasi. Sebagaimana dikutip dari YouTube Gamal TV, berikut tujuh fakta penting mengenai kehidupan eksil 1965 yang jarang dibicarakan.

1. Lahir dari Peristiwa G30S/PKI

Eksil 1965 muncul akibat represi politik pasca G30S. Siapa pun yang dianggap berhubungan dengan komunisme otomatis dicap berbahaya. Mahasiswa, diplomat, bahkan pekerja yang sedang berada di luar negeri saat itu terjebak. Mereka tidak bisa pulang karena ancaman ditangkap atau dipenjara begitu menginjakkan kaki kembali di Indonesia.

2. Paspor Dicabut, Jadi “Stateless”

Pemerintah Orde Baru mencabut paspor para eksil sehingga mereka kehilangan status kewarganegaraan. Secara de facto mereka masih orang Indonesia, tetapi secara de jure tidak diakui. Kondisi ini membuat mereka hidup di negeri asing tanpa identitas resmi, sebuah situasi yang menyakitkan dan penuh ketidakpastian.

Baca Juga: Gagal Satukan Indonesia: Mengapa Konsep Nasakom Soekarno Hancur Lebur?

3. Tersebar di Banyak Negara

Para eksil terpaksa menetap di negara-negara tempat mereka menimba ilmu atau bekerja. Mereka tersebar dari Eropa Timur, Uni Soviet, dan China hingga negara-negara Asia seperti Vietnam dan Korea Utara. Ironisnya, Belanda yang baru saja keluar dari masa kolonial justru menjadi salah satu negara yang paling banyak menampung eksil Indonesia.

4. Kehidupan yang Penuh Tantangan

Tidak semua eksil berhasil hidup mapan. Banyak dari mereka kesulitan mencari pekerjaan karena status tanpa paspor. Ada yang bekerja serabutan, menjadi guru freelance, hingga membuka warung kecil untuk bertahan hidup. Kesulitan bahasa, perbedaan budaya, serta stigma politik membuat kehidupan mereka semakin berat.

5. Diasingkan ke Pulau Buru

Selain yang terjebak di luar negeri, ada pula mereka yang ditahan di dalam negeri. Sebagian diasingkan ke Pulau Buru di Maluku, sebuah tempat yang kala itu belum berperadaban. Mereka dipaksa bekerja keras di lahan pertanian. Nama besar seperti Pramoedya Ananta Toer pernah menjadi bagian dari sejarah pengasingan ini, meski di tengah keterbatasan ia masih mampu menulis karya monumental.

Load More