SuaraJawaTengah.id - Cerita tentang toleransi di saat menguatnya sentimen keberagamaan di Indonesia kekinian, seolah menjadi dahaga dalam kerukunan umat beragama. Dari sekian banyak kisah tentang toleransi, setidaknya kisah Romo Boni menjadi inspirasi betapa kuatnya nilai toleransi yang ada dari pinggiran kehidupan urban.
Pastor Bonifasius Abbas, yang akrab dipanggil Romo Boni, mungkin tak pernah menyangka akan peristiwa yang kelak membuatnya terharu akan toleransi. Peristiwa tersebut bermula di Rumah Sakit Umum Santa Elizabeth yang berada di Purwokerto, Jawa Tengah. Pada suatu sore, pastor yang kini sudah berusia setengah abad tersebut diminta tolong untuk membantu pendampingan seorang pasien perempuan yang berada dalam kondisi kritis.
Nalurinya sebagai romo dalam pelayanan umat dijalaninya dengan suka hati, pun ketika memasuki ruang Intensive Care Unit (ICU) tempat yang dituju kala itu. Namun, ketika membuka pintu kamar rumah sakit, Romo Boni dibuat kaget. Ia harus melakukan pelayanan di tengah kondisi pasien perempuan yang kritis ditemani orang tua pasien yang terdiam dan panik.
Rasa kagetnya tak sampai di situ, pasien yang berada dalam kondisi kritis tersebut ternyata berbeda keyakinan dengannya dengan identitas jilbab yang melekat di tubuh perempuan. Mengetahui kondisi tersebut, Romo Boni sempat beranjak ke dokter yang merawatnya untuk menanyakan riwayat sang pasien. Hal itu dilakukan untuk memastikan kondisi pasien yang sebenarnya.
Baca Juga:Viral Dosen Kristen Beri Makan Buka Puasa ke Mahasiswa Muslim, Siapa Dia?
Dokter yang merawat pasien tersebut pun memastikan, kondisi perempuan tersebut dalam kondisi kritis dan membutuhkan pertolongan.
"Saat itu, batin saya menjawab, 'Dia harus mendapatkan pendampingan lebih'. Tapi saya harus berdoa apa? Saya harus katakan apa?” kata Romo Boni saat ditemui Suara.com di Gereja Santa Bernadeta Wanareja, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Kamis (30/5/2019).
Dalam keadaan seperti itu, Romo Boni mengaku sempat bingung. Diakuinya sempat terlintas akan memunculkan masalah jika kemudian ia menuntun sang pasien mengucapkan kalimat syahadat yang lazim diucapkan penganut Islam, lantaran bertentangan dengan Iman Katolik yang dianutnya.
Dilema tersebut bertambah, lantaran sang pasien dalam kondisi kritis dan membutuhkan bantuan pendampingan. Sedangkan, orang tua pasien panik dan sudah menyerahkan pendampingan kepadanya.
"Sehingga spontan, waktu itu saya dampingi dia dan katakan, 'Mbak, istighfar Mba, Istighfar'. Dia (pasien) masih sadar lalu menjawab, 'Iya Pak, iya Pak',” kata Romo Boni mengingatnya.
Baca Juga:Masjid At Taqwa dan Pura Aditya Jaya, Potret Toleransi di Timur Jakarta
Hingga akhirnya, Romo Boni pun menuntuk pasien yang tengah kritis tersebut untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Asyhadu Allaa Ilaahaillallaah, Wa Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah.
"Dan itu saya ulang, saya bantu dia perlahan-lahan dan akhirnya dia sempurna mengucapkannya," kata dia.
Usai membantu sang pasien, hati Romo Boni sempat kembali tertegun dan gundah. Dengan mengucapkan syahadat tersebut, maka secara agama Katolik yang dianutnya sulit dibenarkan.
"Tetapi sekali lagi saya katakan, salah atau benar perbuatan saya, ini saya lakukan atas nama toleransi. Ini saya lakukan demi menyelamatkan jiwa pasien gadis ini. Saya ingin, ketika pun dia harus meninggal, itu ingin dia bersyahadat. Ingin meninggal dengan memegang teguh keimanannya dia," ujarnya.
Pun saat bersamaan, kondisi pasien semakin melemah. Dia terus memberikan pendampingan, dengan harapan bisa menguatkan batin pasien.
"Lalu saya pikir, saya sudah doakan dia dan waktu itu saya mengingatkan lagi, 'Mba kamu yang kuat ya, kamu pasrah kepada Gusti Allah'," katanya.
Setelah melakukan tugasnya, Romo Boni kembali menuju ke ruang perawat. Kemudian bercerita mengenai riwayat dan perkembangan kondisi sakit pasien. Beberapa waktu kemudian, perawatnya dipanggil oleh pihak keluarga pasien.
Saat itu, diketahui pasien sudah dalam keadaan tidak sadar pun tak berapa lama kemudian, perempuan berjilbab itu meninggal.
"Maka saya berpikir, Tuhan memberikan kesempatan kepadanya untuk bertobat, dengan sempat masih sadar sebelum meninggal. Dan saya juga merasa senang, karena ikut membantu orang itu untuk bertobat, sehingga dia meninggal dengan menghidupi imannya," kenang dia.
Pengalaman yang menguji rasa tolerasinya tak hanya kali itu saja terjadi. Sebelumnya, Romo Boni sempat dihadapkan pada kondisi serupa. Kala itu, ia bertugas di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok, Banjarnegara, Jawa Tengah
“Kondisinya hampir sama. Seorang pasien sudah kritis namun masih bisa berucap,” kata Romo Boni.
Saat itu, pihak keluarga panik dan menyerahkan kepadanya untuk mendampingi.
"Kalau tidak bisa ngomong, saya akan berdoa dalam hati dengan cara saya sendiri. Tapi karena masih sadar, akhirnya saya bantu ucapkan syahadat," kata dia.
Baginya, sikap tersebut menjadi bagian dari toleransi.
"Karena toleransi itu urusan hati. Toleransi harus bisa terjun langsung," kata Romo Boni yang dikenal ramah.
Kontributor : Teguh Lumbiria