Cerita Dari Dusun Winong yang Terancam Hilang Terdampak Polusi PLTU

Tasimun yang kini kesehariannya bekerja di tambang pasir besi ini, mengaku memiliki pendapatan tidak tentu.

Chandra Iswinarno
Sabtu, 16 November 2019 | 00:00 WIB
Cerita Dari Dusun Winong yang Terancam Hilang Terdampak Polusi PLTU
Akses jembatan penghubung antara Dusun Winong dengan Semampir di Desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jumat (15/11/2019). [Suara.com/Anang Firmansyah]

SuaraJawaTengah.id - Tak pernah terbayang sedikit pun dalam pikiran Tasimun untuk meninggalkan tanah kelahirannya di Dusun Winong, Desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap. Namun jika itu harus terjadi, Tasimun sudah siap sebagai pilihan terakhir.

Kepasrahan tersebut tersirat dari raut wajah Tasimun saat ditemui Kontributor Suara.com di kediamannya pada Jumat (15/11/2019).

Meski berat, perjuangannya selama dua tahun terakhir bersama rekan sedusun untuk menuntut hak hidup tanpa tercemar polusi akibat hasil pembakaran debu batubara dari PLTU Cilacap, masih belum menemukan titik temu.

Pria berusia 45 tahun yang tinggal di RT 01/RW 15 tersebut terlihat pasrah, saat menceritakan kisah yang dialaminya bersama warga lain untuk melawan debu batubara yang tebal ketika musim kemarau datang. Bahkan, meski sudah berulang kali berupaya untuk mencoba berdiskusi dengan pihak PLTU, namun belum mendapatkan jawaban yang pasti.

Baca Juga:Korban Pencemaran Lingkungan PLTU, Warga Karangkandri Cilacap Marah

"Saya bersama teman di sini sampai mendirikan forum Masyarakat Winong Peduli Lingkungan, yang terdiri dari empat RT di dua RW pada dua tahun lalu. Tidak ada ketua di sini. Yang ada hanya masing-masing perwakilan dari tiap RT," katanya saat ditemui di rumahnya.

Tasimun yang kini kesehariannya bekerja di tambang pasir besi ini, mengaku memiliki pendapatan tidak tentu. Pendapatannya semakin berkurang sejak adanya pembangunan PLTU Cilacap yang kedua.

"Dulu, para penambang bisa dapat Rp 250-300 ribu. Tapi sejak adanya pengembangan pembangunan PLTU 2, pendapatan menurun drastis karena lahannya semakin berkurang. Sehari bisa dapat Rp 100 ribu pun sudah beruntung," lanjut bapak tiga anak ini.

Bukan tanpa alasan, ia memutuskan untuk menjadi penambang. Sebelum bergelut mencari nafkah di sungai, dahulunya Tasimun adalah seorang petani. Tetapi, akibat pengembangan pembangunan yang terus dilakukan oleh PLTU berdampak pada kualitas air yang ada.

Anak-anak beraktivitas bersamaan dengan warga yang menambang pasir di halaman rumahnya di Dusun Winong, Desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jumat (15/11/2019). [Suara.com/Anang Firmansyah]
Anak-anak beraktivitas bersamaan dengan warga yang menambang pasir di halaman rumahnya di Dusun Winong, Desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jumat (15/11/2019). [Suara.com/Anang Firmansyah]

"Airnya asin mas di sini. Walaupun hanya berjarak puluhan meter dari pantai, dulu sebelum ada pembangunan PLTU air tanahnya tawar dan jernih. Sekarang, keruh dan asin. Oleh sebab itu, saya memutuskan untuk berhenti bertani. Pengaruh ke hasil juga. Terakhir saya bertani tahun 2015," lanjutnya.

Baca Juga:Warga Korban Pencemaran Lingkungan PLTU Karangkandri Marah: Kami Sakit!

Dikatakannya, sebelum pembangunan PLTU tersebut, Masyarakat Dusun Winong dahulunya banyak yang hidup dari bertani. Tetapi, kekinian hanya menyisakan 20 orang dari jumlah penduduk 889 jiwa yang masih bertahan. Hampir semuanya sekarang beralih menjadi pekerja tambang pasir.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini