Kisah 'Manusia Karung' Kota Semarang yang Pasrah di Tengah Pandemi Corona

Yati mengaku bisa sedikit bernafas lega. Lantaran banyak orang memberikan bantuan kepadanya.

Chandra Iswinarno
Rabu, 13 Mei 2020 | 16:42 WIB
Kisah 'Manusia Karung' Kota Semarang yang Pasrah di Tengah Pandemi Corona
Salah satu Manusia Pembawa Karung di jalanan Protokol Semarang. [Ayosemarang,com]

Jika sebelum pandemi, pengepul barang bekas menghargai barang rongsok per kilogram bisa mencapai Rp 2.000. Kini, menurut Yati, barang bekas yang dikumpulkannya hanya dihargai Rp 500 per kilogram.

"Sekarang Rp 500 mas. Kalau sehari dapat 10 kilogram, ya paling dapatnya Rp 5.000. Itu hasil seharian ngumpulin. Padahal sebelum ini harganya bisa sampai Rp 2.000 per kilogram. Ndak tahu kenapa hargane turun," katanya.

Kondisi tersebut membuat Yati resah, karena dengan pendapatan Rp 5.000, dia harus bisa mencukupi kebutuhannya. Namun, pada Ramadan ini, dia mengaku bisa sedikit bernafas lega. Lantaran banyak orang memberikan bantuan kepadanya. Bahkan, Ramadan ini pun kadang menjadi momen untuk dirinya mendapatkan penghasilan lebih dari hari biasnya.

"Kalau pas puasa gini, banyak yang ngasih. Uang kalau ndak beras. Bisa sedikit terbantu. Jadi ada sedikit uang untuk membeli kebutuhan lainnya," ucapnya.

Baca Juga:Kisah Eros Jatuh Miskin saat Wabah Corona, Akhirnya Jadi Manusia Karung

Meski begitu, perempuan asal Yogyakarta ini mengaku tidak bisa pulang kampung pada momen lebaran kali ini karena adanya larangan mudik dari pemerintah.

"Ya pengennya pulang mas. Bisa lebaran di rumah. Tapi katanya ndak boleh dulu, ya udah pasrah aja," katanya.

Senada dengan Yati, pemulung lainnya Poni merasakan nasib yang sama. Saat ditemui ayosemarang.com ketika berduduk santai sambil membaca buku yang didapat, Poni mengaku tak bisa masuk ke wilayah perkampungan lantaran aksesnya ditutup. Kondisi tersebut membuat dirinya tak bisa mengais barang bekas di area tersebut.

Poni pun mengaku jika kadang dirinya hanya mendapat beberapa botol minuman air mineral saja yang jika ditimbang kadang tidak ada satu kilogram. Diakuinya, botol plastik yang dikumpulkannya tersebut dihargai pengepul dengan harga Rp 1.000 per kilogramnya.

"Hanya bisa pasrah mas. Mau bagaimana lagi. Hanya mencari rongsok yang saya bisa lakukan. Dapat berapa pun pasrah aja," ujarnya.

Baca Juga:Kota Bandung Mulai Diserbu Manusia Karung, Siapa Mereka?

Poni yang sebelumnya bekerja serabutan, mengaku memilih menjadi manusia karung mencari botol plastik dan barang bekas lainnya yang bisa dijual kembali menjadi uang, karena tak ada pekerjaan lagi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak