SuaraJawaTengah.id - Mengantisipasi adanya organisasi faham radikal memang tidak mudah. Butuh pendampingan dan tidak sekedar formalitas.
Anti NKRI bukan karena muncul tiba-tiba, melainkan adanya sakit hati atau kekecewaan. Masyarakat yang mempunyai faham radikalisme pasti punya alasan atau ada sebab dan akibatnya.
Tak kalah penting, mantan narapidana teroris (Napiter) juga harus diperhatikan. Walaupun sudah berhati NKRI, namun jika tidak ada pendampingan, bisa kembali terjerumus ke faham radikalisme.
Di Jawa Tengah terbentuk Yayasan Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadani). Yayasan tersebut dibentuk oleh para Eks Napiter yang ada di Jawa Tengah.
Baca Juga:Gawat! 538 Anak di Jateng Dinyatakan Positif Covid-19
Beranggotakan 26 orang, Persadani mempunyai program pandampingan eks napitar atau napi yang baru saja keluar dari lapas.
Mereka mendekati lingkungan rumah tinggal para eks napiter, dari keluaga, RT, hingga RW. Tujuannya memberikan sosialisasi untuk menerima eks napiter.
Sebab, lingkungan mempengaruhi eks napiter kembali mempunyai faham radikalisme. Butuh pendekatan dan pendampingan dari berbagai pihak untuk menjaga para eks napiter tetap cinta NKRI.
"Sebelum napiter keluar kita sudah mengkondisikan wilayahnya. Kita akan menjelaskan dinamika, dan memberikan perbedaan mana kucing, mana macan. Ini hanya kucing, kalau tidak nyaman bisa jadi macan," kata Ketua Persadani, Machmudi Hariono alias Yusuf kepada Suara.com Senin (21/9/2020).
Menurutnya, program tersebut merupakan menyiapkan lingkungan napiter. Menyiapkan dalam arti, membuat napiter nyaman saat kembali ke masyarakat.
Baca Juga:Pemerintah Siapkan Dana Kompensasi dan Santunan untuk Korban Terorisme
"Fenomena jaringan, tetangga dan keluarga yang paling tahu. Kalau tonggo ra ganti, Bhabinkamtibmas pendak tahun ganti (Kalau tetangga tidak ganti, kalau Bhabinkamtibmas setiap tahun ganti)," ujarnya.
Pengurus Yayasan Persadani, Nur Afifudin alias Suharto yang juga eks napiter menambahkan, setelah menyiapkan lingkungan, penawaran pekerjaan akan terjadi secara ilmiah dari masyarakat. Bantuan juga akan mengalir, bisa dari pemerintah, polisi, atau lembaga sosial.
"Untuk membuka lapangan pekerjaan, sekarang sudah ada yang buka tambal ban, buka usaha apa dan didukung lingkungan. Kebanyakan orang hanya membarikan persepsi ya, Udah itu teroris ya teroris, itu harus jelas," ujarnya.
Menurut Yusuf, lembaga pemerintah saat ini tidak melakukan upaya kesiapsiagakan mengantisipasi terjadinya terorisme.
Padahal, sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018, tentang Tindak Pidana Terorisme, Bab VIIA Bagian Kedua, yaitu menyebutkan pemerintah wajib melakukan Kesiapsiagaan Nasional.
Pada Pasal 438 menyebutkan Kesiapsiagaan Nasional merupakan suatu kondisi siap siaga untuk mengantisipasi terjadinya Tindak Pidana Terorisme melalui proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan.
"Tugas ini sebenarnya tugas Negara, tapi Negara tidak turun, contoh FKPT cuma mengkomunikasikan dan bagi-bagi sembako, itupun dari dana kampus dan baznas. Bisa saja dari kelompok radikal, ngasih yang lebih misal Rp1 M. Peran persadani sangat vital, untuk menekan faham terorisme," ujarnya.