Wisata Edukasi Penangkaran Musang Pandan, Bisa Jadi Alternatif Saat Pandemi

Banyak pilihan beriwisata di Jawa Tengah, apalagi di Magelang, dari Candi Brobudur, desa wisata yang unik, hingga penangkaran hewan bisa menjadi alternatif wisata saat pandemi

Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 30 Oktober 2020 | 17:37 WIB
Wisata Edukasi Penangkaran Musang Pandan, Bisa Jadi Alternatif Saat Pandemi
Wawan berinteraksi dengan musang pandan bermotif bulu mozaik di penangkaran miliknya di Desa Grajek, Mungkid, Kabupaten Magelang (Suara.com/ Angga Haksoro). 

SuaraJawaTengah.id - Aroma wangi menusuk hidung begitu kita memasuki halaman samping rumah Septiawan Prasetyo di Dusun Ngemplak, Desa Ngrajek, Mungkid, Kabupaten Magelang.

Enam belas kandang bambu disusun berjajar di atas kolam ikan. Dalam kandang, masing-masing ditempatkan seekor musang pandan. Dari sini wangi itu berasal.

Wangi pandan dihasilkan kelenjar di bawah ekor musang jantan. Aroma ini digunakan musang jantan untuk menandai wilayah atau menarik musang betina.  

Musang termasuk hewan soliter (menyendiri), sehingga dapat saling serang jika ditempatkan dalam satu kandang. Musang jantan dan betina disatukan dalam kandang hanya saat akan dikawinkan.

Baca Juga:Tak Memenuhi Syarat, 60 Formasi CPNS Pemprov Jateng Tidak Terisi

Ketika SuaraJawaTengah.id mengunjungi penangkaran musang milik Septiawan, 4 kandang khusus melahirkan dan merawat anakan terisi semua. Kandang terpisah ini hanya dihuni musang bunting atau sedang dalam masa merawat anakan.  

“Satu indukan dalam satu tahun bisa 2 sampai 3 kali beranak. Paling tidak satu induk melahirkan 2 ekor anakan. Lama masa bunting musang sekitar 2 bulan 10 hari,” kata Septiawan yang biasa disapa Wawan, Jumat (30/10/2020).

Anakan dipisah dari induknya setelah berumur 1 sampai 1,5 bulan. Ini untuk menghindari indukan menurunkan sifat liar dan agresif.

“Kalau lebih dari itu takutnya (anakan) galak. Anakan nanti ikut karakter indukan. Kalau umur 1 sampai 1,5 bulan diambil, masih bisa dibuat jinak,” ujar Wawan.

Sebanyak 19 indukan di penangkaran ini ditangkap dari alam sehingga masih memiliki karakter agresif. Hanya 3 ekor yang cukup jinak.

Baca Juga:Gangguan Jiwa, Warga Boyolali Ini Bawa Jenazah Ibunya Pakai motor

Musang pandan juga dikenal dengan sebutan musang luwak. Jenis musang ini yang sering digunakan untuk menghasilkan kopi luwak.

Selain musang pandan atau luwak, ada 4 jenis musang lainnya: binturong, musang akar, musang Sulawesi, dan musang bulan. Hanya binturong yang termasuk jenis dilindungi karena jumlahnya jauh berkurang di alam liar.  

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, binturong masuk dalam daftar vulnerable IUCN. Pemanfaatan hewan ini butuh izin Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan.

Sedangkan musang pandan (luwak) dan musang bulan masuk dalam daftar least concern IUCN dan appendix III CITES. Populasinya dianggap masih banyak di alam liar dan belum terancam kepunahan.

Meski demikian peradagangan musang dibatasi dengan izin dan kuota tertentu.

Wawan mengaku menjual musang hasil tangkaran kepada parahobies hewan eksotis atau sesama penangkar. Namun selama pandemi Covid, jumlah penjualannya jauh berkurang.

“Dulu satu bulan bisa jual 1-2 ekor, tergantung stok. Kalau punya stok 10 ekor bisa habis semua dalam 2 sampai 3 bulan. Musim seperti ini, belum tinggi lagi peminatnya.”

Saat ini Wawan memiliki stok anakan musang usia 6 bulan sebanyak 3 ekor. Stok musang usia di bawah 2 bulan ada 7 ekor.

Dia menjual anakan musang melalui grup jual-beli di Facebook atau dari mulut ke mulut sesama hobies. Kebanyakan dijual ke Jakarta, Surabaya, bahkan sampai Bali.

“Paling jauh (kirim) ke Bali. Ke luar pulau selain Bali, belum berani. Lewat darat, perjalanannya terlalu jauh,” kata Wawan.

Paling mahal Wawan pernah menjual seekor musang mozaik hasil penangkaran seharga Rp 17 juta. Menghasilkan musang pandan berbulu mozaik terbilang sulit, karena warn bulunya didapat dari kelainan genetis.  

Musang mozaik dihargai mahal jika kaki belakang dari pergelangan sampai paha berbulu putih. Warna ekor, putih memanjang sampai ke pinggang. Bulu pada muka musang juga putih sampai ke leher.

Musang juara kontes juga otomatis akan mendongkrak harga jualnya. Penilaian kontes dilihat dari postur, warna bulu, kesehatan, serta tanpa cacat tubuh.

Jika taring musang dipotong, otomatis penilaiannya akan berkurang. “Musang obesitas tidak boleh ikut kontes. Kasihan kalau dibawa pergi jauh bisa mati kepanasan.”

Selain untuk tujuan bisnis, penangkaran musang pandan milik Wawan juga menjadi sarana wisata edukasi. Banyak wisatawan datang untuk melihat proses penangkaran musang.

Seperti Ardi Putra, wisatawan asal Jakarta yang sedang berlibur di Magelang bersama keluarganya. Dia tertarik melihat penangkaran musang yang selama ini diketahuinya hanya berkembang biak di alam.

“Ada unsur pelestarian alam juga. Jadi nggak diburu secara liar di alam yang mungkin ditangkap bukan untuk dibudidayakan tapi hanya untuk dijual,” kata Ardi.

Mahasiswa salah satu perguruan tinggi di China ini, juga mengaku tertarik mempelajari hidup musang pandan tanpa harus datang ke alam liar. “Kita dapat edukasi mereka makannya apa, habitatnya, cara budidayanya.”

Penangkaran salah satunya juga untuk mengurangi jumlah penangkapan liar musang di alam. Kebanyakan musang yang didapat dari alam ditangkap saat masih kecil.

Padahal musang rentan mati jika ditangkap oleh orang yang tidak berpengalaman. “Memelihara musang dari kecil bisanya agak susah hidup kalau tidak tahu penangananya,” kata Wawan menutup obrolan kami siang itu.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini