Sistem Zonasi di PPDB Berjalan 4 Tahun, Sudah Hapus Stigma Sekolah Favorit?

Kebijakan sistem zonasi di PPDB dibuat untuk menghapus stigma sekolah favorit, namun apakah kebijakan itu efektif?

Budi Arista Romadhoni
Kamis, 24 Juni 2021 | 13:46 WIB
Sistem Zonasi di PPDB Berjalan 4 Tahun, Sudah Hapus Stigma Sekolah Favorit?
Ilustrasi siswa SMA. Kebijakan sistem zonasi di PPDB dibuat untuk menghapus stigma sekolah favorit, namun apakah kebijakan itu efektif? [Antara/Herman Dewantoro]

SuaraJawaTengah.id - Pada tahun 2018, sistem jalur zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) secara resmi mulai efektif diberlakukan. Kebijakan itu tentu saja untuk menghilangkan stikma sekolah favorit, dan pemerataan siswa cerdas di seluruh sekolah. 

Ya,  memang status ‘sekolah favorit’ atau ‘sekolah unggulan’ pada jenjang sekolah mulai dari SD hingga SMA atau SMK selalu menjadi perbincangan bagi masyarakat. Sekolah favorit pastinya menjadi rebutan seluruh peserta didik.

Namun, kompetisi yang sudah berjalan lama untuk bisa masuk sekolah favorit itu hanya dirasakan sebagian orang tua dan peserta didik.

Masyarakat yang berada dalam status ekonomi menengah dan atas, dapat memasukkan anaknya ke bimbingan belajar yang berada di luar jam sekolah.

Baca Juga:Hari Ketiga PPDB Online SMA di Kota Tangerang Masih Eror

Anak yang berada di tingkat ekonomi menengah dan atas, tentunya mendapatkan tambahan belajar dengan biaya yang tidak sedikit dikeluarkan oleh orang tuanya. Harapannya, anak dapat memperoleh nilai tinggi saat ujian dan dapat masuk ke sekolah dengan status ‘favorit’ atau ‘unggulan’.

Hal itu yang mendasari munculnya kebijakan sistem zonasi pada PPDB. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 tahun 2018.

Dilansir dari Ayosemarang.com, jalur zonasi sempat mengalami  perubahan di tahun 2019, dimana aturannya tertuang dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019. Adapun aturan yang diubah yaitu kuota jalur zonasi menjadi minimal 50 persen dari yang tadinya 80 persen.

Penurunan kuota untuk jalur zonasi sempat dianggap ingin mempertahankan label ‘sekolah favorit’. Namun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyangkalnya.

“Kita ingin semua sekolah unggul, sama baiknya. Setiap anak mendapat kesempatan belajar di ruang kelas yang baik kondisinya dan diajar oleh guru yang berkompeten,” tulis Kemendikbudristek dalam siaran resmi di kemdikbud.go.id soal tanya jawab zonasi tahun ajaran 2021/2021.

Baca Juga:Link Pendaftaran PPDB SMP Negeri 2021 di Medan

Semangat untuk menciptakan pendidikan yang merata menjadi alasan pemerintah dalam menciptakan kebijakan zonasi. Melalui jalur ini, pemerintah berharap tidak ada lagi sekolah dengan label ‘sekolah favorit’ yang diisi dengan anak-anak dengan prestasi dan nilai yang tinggi.

‘Sekolah Favorit’ Belum Sepenuhnya Hilang

Inspektur Jenderal Kemendikbudristek Chatarina Muliana Girsang menuturkan, memasuki tahun keempat adanya jalur zonasi pada PPDB dinilai telah menggeser mindset sebagian masyarakat.

“Mindsetnya masyarakat sudah mulai bergeser walaupun belum 100 persen,” kata Chatarina saat dihubungi Ayojakarta, Rabu 23 Juni 2021.

Dia menegaskan bahwa pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan zonasi salah satunya untuk mengubah mindset tentang ‘sekolah favorit’ yang sudah ada selama puluhan tahun. Chatarina juga menyampaikan, melalui jalur ini akan muncul jenis kepintaran pada peserta didik yang beragam.

“Sekolah favorit selama ini ditentukan oleh rata-rata nilai ujian nasional. Kita juga ingin mengubah mindset bahwa anak yang nilai ujian nasionalnya rendah, bukan anak bodoh. Kepintaran mereka tidak di ujian nasionalkan,” tuturnya.

Dari jalur zonasi ini, kata dia, para guru juga dituntut dapat meningkatkan kemampuan anak didiknya karena kondisi siswa yang tidak lagi homogen.

‘Sekolah Unggulan’ Tidak Bisa Dihapus

Juru Bicara Forum Orang Tua Murid (FOTM) DKI Jakarta Dewi Julia mengatakan keadaan di lapangan berdasarkan pandangannya. Pada kenyataannya, kata dia, masing-masing sekolah masih ada yang ‘unggul’ dalam segala hal seperti pendidikan, pengajaran, dan sistem sekolah.

“Kalau saya melihat ‘sekolah unggulan’ itu tidak bisa dihapuskan,” kata Dewi kepada Ayojakarta, Kamis (24/6/2021).

Dewi memberikan contoh salah satu ‘sekolah unggulan’ di daerah Jakarta Timur yaitu SMA Negeri Unggulan Mohammad Husni (SMANU MHT) Thamrin. Sekolah tersebut bahkan tahun ini ditetapkan menjadi sekolah terbaik nomor 1 di Indonesia. Hal itu berdasarkan hasil pemeringkat Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT).

Dewi menyampaikan bahwa untuk masuk ke sekolah tersebut, membutuhkan seleksi yang cukup panjang dan nilai akademik yang cukup tinggi. Beberapa sekolah yang selama ini dilabeli ‘favorit’ dan ‘unggulan’ juga menurutnya mempunyai standar tersendiri untuk calon peserta didiknya.

Dengan sistem zonasi yang saat ini masih berjalan, menurut Dewi pemerintah harus melakukan observasi apakah anak-anak yang masuk ke ‘sekolah unggulan’ melalui jalur zonasi dapat mengikuti sistem pembelajaran di sekolah tersebut atau tidak.

“Jadi sepertinya itu perlu waktu untuk membuat sekolah menjadi sama rata, menjadi sekolah yang tingkatan dan kualitasnya sama. Itu menurut saya suatu hal yang sulit sekali,” katanya.

Namun, Dewi merasa cukup optimis dengan jalur zonasi kendati membutuhkan proses panjang untuk mendapatkan hasil dan harapan pemerintah.

Fenomena Pindah Sekolah Demi Masuk ‘Sekolah Unggulan’ Masih Terjadi

Dewi tidak bisa menampik dan seolah menutup mata bahwa hingga hari ini masih ada SMA yang menjadi primadona di mata para orang tua. Hal ini dinilai dari semangat belajar dan pengelolaan sistem pembelajaran.

Dia membeberkan cerita bahwa pada semester lalu ketika ada kesempatan untuk pindah sekolah, banyak orang tua antusias untuk mengajukan data-data perpindahan anak didik dari sekolah yang terpaksa mereka masuki karena sistem zonasi, ke sekolah yang mereka inginkan.

“Mereka berjuang ratusan anak untuk mendapatkan hanya satu sampai lima kursi kosong. Itu perjuangan mereka karena balik lagi tadi ke ‘sekolah unggulan’,” cerita Dewi.

Selain itu, kata dia, untuk menyamaratakan semua sekolah harus dilakukan monitor dari hulu ke hilir. Dewi melihat, sekolah dengan status ‘favorit’ atau ‘unggulan’ bisa dilihat dari jumlah lulusan yang dapat masuk ke jenjang pendidikan yang juga mempunyai kualitas tinggi.

“Boleh dibedakan antara SMA A dan SMA B, kita bisa lihat dari ‘sekolah unggulan’ yang masuk ke universitas negeri favorit berapa persen dan dari 'sekolah biasa' berapa persen. Kalau memang semangat menyamaratakan semua sekolah sama, seharusnya output dari semua sekolah juga sama,” tuturnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini