Namun ketika ia menyalakan kompor biogas di siang hari, nyala api terlihat besar dan biru. "Kalau lagi ndak ada yang pakai ya apinya besar, bahkan saya kalau apinya besar buat goreng takut gosong jadi yang kompor ini seringnya buat merebus, jadi lebih cepat, " Jelas dia.
Ia baru bergabung menjadi pengguna biogas kotoran sapi sejak April lalu dengan membayar Rp 450 ribu. Biaya tersebut digunakan untuk alat dan pemasangan instalasi berupa pipa penyalur gas dan kompor.
Sejak pembayaran awal hingga kini, dirinya tak pernah dimintai retribusi. Gas itu diberikan secara grati kepada masyarakat.
"Dari saya masang sampai sekarang tidak ada penarikan, " Kata dia.
Baca Juga:VIRAL LAGI Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono Sebut Gus Dur Picek Alias Buta
Dengan begitu, ia sudah menghemat 2 tabung gas LPG setiap bulannya. Dari semula biasanya butuh 5 tabung, saat ini hanya 3 tabung.

Dirinya masih menggunakan tabung LPG sebagai cadangan jika ia membutuhkan sewaktu waktu. "Buat cadangan waktu saya butuh kepepet dan apinya kecil kan bisa pakai LPG, jadi tetap irit, " Ujar dia.
Nampak selang gas bercabang diatas kompor milik Waryati. Ternyata, selain untuk gas pengganti LPG, gas kotoran sapi juga dimanfaatkan untuk penerangan.
Ia kemudian memutar keran salah satu pipa yang berada diatas kompor. Lalu ia menarik kursi dan menaikinya dengan membawa korek api.
Seketika sarung api petromak menyala dan menerangi satu ruangan. "Saya pakai ini kalau listrik mati, dan kalau pingin lebih hemat listrik juga bisa diganti pakai ini, " Terang dia sambil menunjukkan lampu petromak yang digantung diatap dapur.
Baca Juga:Potret Haru dan Gembira Siswi SMP di Banjarnegara Kembali ke Sekolah
Kontributor : Citra Ningsih