PP 85 Berjalan, Puluhan Ribu Nelayan di Kabupaten Pati Terancam Nganggur

Puluhan nelayan di Kabupaten Pati terancam nganggur akibat peraturan pemerintah atau PP 85

Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 01 Oktober 2021 | 15:36 WIB
PP 85 Berjalan, Puluhan Ribu Nelayan di Kabupaten Pati Terancam Nganggur
Aksi nelayan di Kabupaten Pati menolak PP No 85 Tahun 2021. [Suara.com/Fadil AM] 

SuaraJawaTengah.id - Sebanyak puluhan ribu nelayan di Kabupaten Pati terancam menganggur, jika Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tidak dicabut. 

"Dampak dari PP ini, bakal ada pengangguran massal khususnya bagi nelayan jaring tarik berkantong (dulunya cantrang). Kalau ini berjalan, 20.000 nelayan di Pati akan menganggur," kata Ketua Paguyuban Nelayan Mina Santosa, Hery Budianto, Jumat (1/10/2021).

Nelayan pun berseru agar aturan tersebut dikaji ulang, lebih-lebih dicabut. Sehingga nelayan lokal tidak semakin terhimpit, apalagi di masa pagebluk. 

"Kami nelayan tetap menolak, PP No 85 harus dikaji ulang karena bagi kami sangat memberatkan, khususnya bagi nelayan. Jadi kami mohon bapak menteri, bapak presiden agar peraturan ini dikaji ulang," pintanya. 

Baca Juga:Warga di Abdya Bubarkan Petugas Vaksinasi Covid-19, Ini Penyebabnya

Setidaknya ada sejumlah soal yang disoroti nelayan. 

Di antaranya, diaturnya jenis dan tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Berimbas pada kenaikan PNBP dan PHP sebesar 200-600%. 

"Pajak sangat memberatkan, yang dulunya 100 Gross Tonnage (GT) bayar Rp 50 juta, sekarang menjadi Rp 300 juta lebih. 400-600 persen naik," jelas Hery. 

Peraturan yang sama juga cenderung mematikan nelayan lokal dan membuka jalan kapal dan modal negara luar untuk mengeksploitasi SDA perikanan di laut nusantara. 

Hal ini tertuang gamblang dalam produk turunan PP No 85 Tahun 2021 yakni Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor 86 dan 87. 

Baca Juga:Perahu Pompong Nelayan Ditabrak Kapal Kargo, Dua Kakak Beradik Hilang

Di mana PNBP yang dikenakan kepada nelayan pra produksi adalah sebesar 10% untuk kapal 60 - 1000 GT.

Padahal, kapal nelayan lokal tidak ada yang sampai lebih dari 300 GT. GT sebesar itu hanya dimiliki oleh asing dengan peralatan canggihnya. 

Adanya penyamaan tarif 10% untuk kapal 60 hingga 1000 GT, jelas sangat tidak adil.  Mengingat, semakin tinggi GT, tarif yang dikenakan juga harusnya lebih tinggi. 

"Kami hawatir, hadirnya PP ini justru akan melegalkan keberadaan nelayan asing di Indonesia. Sementara kami sebagai nelayan lokal, justru tidak mendapatkan ruang," ungkapnya. 

Harga Pokok Ikan (HPI) dalam keputusan tersebut juga sangat mengancam kesejahteraan nelayan. HPI pun bakal melejit naik hingga 100%, dalam poin pasal 2 sistem pra produksi.

Sementara, sistem pasca produksi dinilai bakal lebih mencekik nelayan kecil. Di mana kapal 2 GT disamakan PHP-nya dengan kapal 60 GT. 

"Parahnya lagi, HPI itu tidak sesuai dengan HPI di pasaran ikan. Sementara HPI yang ditentukan pemerintah itu lebih berat. Kalau sebelumnya misalnya HPI itu Rp 6.000, terjadi kenaikan 100%, yaitu Rp 12.000," katanya. 

Perwakilan Nelayan Porsein, Fauzan Nur Rokhim mengungkapkan, beban nelayan bertambah berat dengan adanya pendapatan asli daerah (PAD) tahun 2021 pada sektor perikanan yang mencapai Rp 11 miliar. Yang tadinya hanya Rp 6,5 miliar di tahun 2020. 

"Nelayan dibebani retribusi di tempat pelelangan ikan (TPI) Juwana ini Rp 11 miliar kepada nelayan," jelasnya. 

Melambungnya harga perbekalan saat berlayar juga menambah kegalauan nelayan. 

"Belum lagi tingginya harga perbekalan. Bagaimana nelayan bisa hidup jika dibebani seperti ini. Kena pajak, kena pungutan, kena retribusi, harga pangan naik, mati kita," bebernya. 

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Pati, Rasmijan menyebut, saat ini saja sudah ada 40% dari puluhan ribu nelayan di kabupaten berjuluk Bumi Mina Tani yang enggan melaut. 

"40% nelayan sudah tidak melaut. Dari total puluhan ribuan nelayan. Kapal cumi, kapal pancing, jaring tarik berkantong, porsaine, semuanya. Tak mampu bayar PHP dan tetek bengeknya," terangnya. 

Persoalan administrasi juga menggerogoti keamanan nelayan lokal, khususnya kapal jaring tarik berkantong yang dulunya cantrang. 

Padahal, nelayan sudah manut dengan kebijakan pemerintah. Meski begitu, legal formal belum juga didapatkan. 

"Sampai sekarang SIUP dan SIPI kok tidak bisa dikeluarkan. Katanya suruh nunggu, ini sejak menteri bu Susi, Edy Prabowo, sampai Trenggono belum ads realisasi. Padahal kita sudah ganti, GT nya juga jelas," paparnya. 

Pada masa menteri KKP Susi Pudjiastuti, itu pun hanya dikeluarkan surat keterangan melaut (SKM) dan surat persetujuan melaut (SPM). Sedangkan SIUP dan SIPI hanya janji. 

"Lah maksud dan tujuan pemerintah ini bagaimana, kita kan sudah dipaksakan dan ditekankan bayar PHP, PNBP, bahkan disuruh membayar SIUP yang per GT nya itu dikenakan Rp 268.000. Namun sampai sekarang belum ada legalitas dan kejelasan untuk SIUP dan SIPI," bebernya. 

Lantaran belum ada payung hukum yang jelas dan hanya berbekal SKM dan SPM, nelayan kapal jaring tarik berkantong kerap bermasalah saat menangkap ikan. 
 "Pemerintah harusnya bisa mensejahterakan rakyat dalam arti keamanan melaut dilindungi hukum. Kita melaut ini sering ditangkap aparat di laut," jelasnya. 

Sebelumnya, gelombang demonstrasi nelayan di Kabupaten Pati membuncah. Imbas diketoknya PP Nomor 85 Tahun 2021. 

Aksi unjuk rasa tidak hanya di kawasan kampung nelayan Desa Bendar pada Selasa (28/9/2021) saja. 

Namun berlanjut di area Syahbandar di hari berikutnya, Rabu (29/9/2021) pagi. Ratusan masa juga menggelar demonstrasi di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Unit II. 

Aksi turun ke jalan juga terjadi di depan DPRD Kabupaten Pati. Dan berujung audiensi dengan legislatif. Di mana ketua dewan berjanji menyampaikan tuntutan nelayan ke presiden dan menteri KKP. 

Kontributor : Fadil AM

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini