Kisah Kodriyah, Siswi Berprestasi Asal Demak Ini Rela Mengarungi Laut untuk Pergi Sekolah

Kodriyah harus mengarungi laut menggunakan perahu saat berangkat atau pulang sekolah, sebab kampungnya sudah tenggelam

Budi Arista Romadhoni
Kamis, 28 Oktober 2021 | 13:40 WIB
Kisah Kodriyah, Siswi Berprestasi Asal Demak Ini Rela Mengarungi Laut untuk Pergi Sekolah
Ketika Kodriyah pulang dari sekolah dijemput ibunya dengan perahu [suara.com/Dafi Yusuf]

SuaraJawaTengah.id - Suara ombak bergemuruh di luar rumah Kodriyah yang merupakan seorang siswi SMA di Kabupaten Demak yang saat ini tinggal di tengah laut bersama keluarganya.

Saya pergi ke rumahnya ketika masih gelap gulita. Dari kejauhan terlihat setitik sinar di tengah laut yang tak lain merupakan tempat tinggal Kodriyah dan keluarganya.

Kodriyah merupakan anak dari Pasijah dan Rukani, mereka adalah satu-satunya keluarga yang bertahan di Dusun Senik, Kecamatan Sayung yang kini sudah rata menjadi lautan.

Ketika menempuh pendidikan sekolah dasar, Kodriyah sempat melihat jalan menuju daratan. Namun sayang, waktu berjalan dengan cepat.

Baca Juga:Duh! 13 Anak di Bawah Umur Jadi Korban Asusila Pelatih Voli, Ada yang Sampai Hamil

Perlahan jalan yang digunakannya untuk pergi ke sekolah hilang dengan sejuta kenangan masa kecilnya yang saat ini jadi lautan.

Kini, jalanan menuju sekolahnya benar-benar hilang. Padahal jalan tersebut, menyimpan banyak kenangan Kodriyah dengan ibunya.

"Dulu saat jalan masih terlihat saya diantar ibu saya menggunakan sepeda," katanya beberapa waktu yang lalu.
 
Meski tinggal di tengah laut, Kodriyah merupakan siswi yang cukup berprestasi di sekolahnya. Ketika menginjak kelas dua sekolah menengah pertama dia mendapatkan ranking dua.

Sementara, ketika kelas tiga dia di daulat sebagai siswa yang paling berprestasi di sekolahnya. Saat itu, dia mengaku mendapatkan hadia sepeda dari sekolahan.

"Namun sepedanya tak bisa dipakai, soalnya tak ada jalan," keluhnya.

Baca Juga:Mbah Minto Warga Demak Nekat Bacok Pencuri Ikan, Alasannya: Saya Disetrum

Apa yang dia dapatkan saat ini merupakan hasil dari kerja kerasnya. Tak jarang dia kesulitan mengikuti pelajaran sekolah karena kesulitan sinyal.

Selain itu, listrik di rumahnya juga sering mati. Hal itu membuatnya sulit mengikuti pelajaran, terutama ketika pandemi.

"Iya pas tak boleh tatap muka kemarin cukup sulit karena listrik sering mati, sinyal juga tak stabil," paparnya.

Ketika longgar, dia juga membantu ibunya untuk pembibitan mangrove hingga penanaman yang nantinya dijual dan sebagian ditanam di sekitar rumahnya.

Selain itu, dia juga  membantu ibunya membuat kreasi teh dan kripik yang terbuat dari daun mangrove. Makanan dan minuman itu juga sudah diperjual belikan melalui online.

"Kalau kegiatan sehari-hari biasanya  membantu ibu, kadang nanam mangrove kadang juga membuat kreasi mangrove," katanya.

Kini Kodriyah sudah kelas tiga SMK. Setelah lulus dia ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Universitas Diponegoro (Undip) atau Universitas Negeri Semarang (Unnes) untuk mengejar cita-citanya menjadi psikolog.

"Jika diijinkan, saya ingin meneruskan ke perguruan tinggi," harapnya.

Hal yang sama juga dirasakan Sayidi warga Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Sudah lama Sayidi tak bisa tidur pulas karena air rob sering masuk ke rumahnya.

Sekitar 1997 rumahnya mulai kena abrasi. Berbagai upaya telah warga lakukan, tak lain dengan membuat tanggul menggunakan karung berisi  tanah liat.

Namun usaha itu tak berjalan lama, air laut seperti tak mau kalah. Semakin tahun rob semakin menggila, dan tanggul yang dibuat warga akhirnya rusak.

Kini, Sayidi harus rela berdampingan dengan air laut. Tak heran jika warga sekitar lebih memilih membuat rumah panggung menggunkan kayu atau bambu karena bisa ditinggikan dengan mudah.  

Tak ada yang mengira jika daerah yang dipenuhi air itu dulunya adalah persawahan. Sebelum terjadi rob, Desa Bedono merupakan tanah yang subur dan mayoritas warga juga bekerja sebagai petani.

"Dulu sini itu sawah semua, karena terkena rob akhirnya banyak yang dijual. Sekarang malah jadi tambak milik orang lain," jelasnya menunjuk sebuah kawasan yang sudah dipenuhi dengan air, beberapa waktu yang lalu.

Desa Bedono, ada dua dukuh yang transmigrasi, yaitu dukuh tambaksari dan senik rejosari. Karena volume air terus bertambah semakin tinggi, membuat warga tak bisa bertahan lagi di sana.

Dia juga memperlihatkan rumahnya yang sudah berkali-kali ditinggikan. Enam tahun yang lalu, air laut tingginya sudah sampai 60 centimeter. Tinggi air tersebut dia ukur melalui bekas air yang membekas di tembok rumahnya.

"Lihat rumah kami, ini sudah di urug dari permukaan air itu berjarak 60 senimeter enam tahun lalu. Kemarin sudah  tenggelam lagi, berarti pertahunnya air ini naik sekitar 10 sentimeter lebih," keluhnya.

Jika tetap ingin tinggal di rumahnya, Sayidi harus meninggikan rumah. Untuk biaya meninggikan rumah juga tak murah. Sekali meninggikan dia harus menyiapkan uang sekitar Rp 60 juta.

"Biaya mahal meninggikan rumah, barangnya juga kan truck tak  bisa sampai sini. Harus diangkut lagi dengan moda transportasi yang lebih kecil  karena kondisi tanah tak kuat. Itu yang membuat biaya semakin mahal," ucapnya.

Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah Fahmi Bastian menjelaskan, sejumlah laporan yang pernah dia baca, ada dampak bencana ekologi yang disebabkan perilaku  manusia.

Di antaranya perluasan wilayah Tanjung Mas dan  reklamasi Pantai Marina. Hal itu menjadi salah satu faktuor beberapa wilayan di Sayung Demak terkena abrasi.

"Karena perubahan arus ombak di sana, yang di mana arus laut ini diubah karena adanya rekalmasi di Pantai Marina dan Tanjung Mas. Terlebih dalam konteks perubahan iklim juga mempengaruhi tak hanya di Demak, namu sepanjang pantai utara juga terpengaruh," bebernya saat ditemui beberapa hari lalu.

Pihaknya menilai, kondisi di pantai utara semkain tahun semaki parah. Satu sisi di pantai utara dibebani dengan industriasiasi yang sangat masif sehingga menyebabkan penurunan tanah di sana.

Di sisi lain, perubahan iklim dengan  kebijakan energi fosil yang berlebihan menyebabkan naiknya suhu bumi dan air perumkaan laut.

"Penurunan tanah dan ditambah dengan  air laut yang naik tersebut memeperparah dalam kontekas abrasai. Dan hilangnya tanah di Sayung semakain hari semakin  masif," ucapnya.

Mitigasi wilayah mangrove yang menjadi salah satu alat untuk mengahambat laju abrasi, malah semakin berkurang.   Hal inilah yang menyebabkan abrasi di Kecamatan Sayung semakin menggila.

Fahmi melanjutkan, jika Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten Demak sudah diskusi kebencanaan di Sayung sejak tahun 2010. Bahkan dari beberapa negara, salah satunya Belanda masuk di Demak untuk melakukan riset mencari solusi.

"Namun itu hanya sekedar menjadi program saja," keluhnya.

Pakar Peneliti geodesi dari Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas memprediksi, jika rob dan penurunan tanah yang ada di Kabupaten Demak tak ditangani secara serius pada tahun 2025 Demak akan tenggelam.

"Kalau permassalah yang ada di Demak itu tak diapa-apain jangan nunggu tahun 2050, tahun 2025 Demak juga akan tenggelam," ujarnya beberapa waktu yang lalu melalui zoom metting.

Kontributor : Dafi Yusuf

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini