Jangan Sepelekan La Nina! Tak Hanya Bencana Alam, Kelangkaan Bahan Pangan Bisa Terjadi

Masyarakat perlu mewaspadai adanya fenomena La Nina, dampaknya tidak hanya bencana alam, namun bisa merember ke bahan pangan

Budi Arista Romadhoni
Senin, 01 November 2021 | 10:20 WIB
Jangan Sepelekan La Nina! Tak Hanya Bencana Alam, Kelangkaan Bahan Pangan Bisa Terjadi
Foto udara kondisi banjir di Dusun Karag, Desa Gentasari, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Rabu (18/11/2020). (Suara.com/Anang Firmansyah)

SuaraJawaTengah.id - Dampak perubahan iklim berdampak ke banyak sektor. Seperti La Nina, tidak hanya soal bencana, gagal panen bisa berdampak pada kelangkaan pangan nasional. 

Masyarakat perlu bersiap-siap menghadapi La Nina di penghujung tahun 2021 yang menimbulkan potensi bencana dan dapat mengancam ketahanan pangan. 

Menyadur dari BBC Indonesia pada Senin (1/11/2021), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut La Nina diperkirakan terjadi di Indonesia hingga akhir 2021 atau awal 2022 - antara bulan Desember, Januari, dan Februari. Fenomena tersebut ditandai dengan peningkatan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia.

"Dan ini banyak terjadi di wilayah Pulau Jawa, kemudian ke arah Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan daerah-daerah itu biasa meningkat curah hujannya di masa peristiwa La Nina," kata Dodo Gunawan, kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG.

Baca Juga:Dampak La Nina, Ini 11 Titik Rawan Bencana di Sampang

Peningkatan curah hujan kerap diikuti dengan bencana-bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah meminta pemerintah daerah agar mempersiapkan diri "untuk segala kemungkinan".

Sementara seorang pengamat ekonomi memperingatkan akan potensi kegagalan panen dan terganggunya jalur distribusi bahan makanan.

Data BMKG mengindikasikan bahwa La Nina tahun ini akan mirip dengan tahun lalu, mengakibatkan peningkatan curah hujan hingga 70% dari kondisi normal.

"Sekarang ini pola indeksnya ada kemiripan dengan tahun lalu ... dari adanya kemiripan itulah maka kita menganalogikan hujannya juga tahun ini pada Desember, Januari, Februari itu ada kemiripan tinggi seperti di La Nina 2020-2021," kata Dodo.

Menurut data BMKG, pada penghujung Oktober beberapa daerah sudah memasuki musim hujan, sementara lainnya masih mengalami pergantian musim (pancaroba).

Baca Juga:Antisipasi Potensi Ancaman La Nina, Dispar Sleman Siapkan Hal Ini

BMKG memprakirakan bahwa pada awal November, hujan berintensitas sedang hingga lebat akan terjadi di Sumatera bagian tengah dan selatan, sebagian besar pulau Jawa, Kalimantan bagian tengah dan barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Papua Barat, dan Papua.

Adakah pengaruh perubahan iklim?

Ilustrasi cuaca ekstrem

Perubahan iklim telah membuat fenomena La Nina menjadi semakin sering dan intensitasnya semakin tinggi, kata Dodo Gunawan dari BMKG.
Menurut Dodo, berdasarkan data, pada tahun '80-an kejadian antara La Nina atau El Nino (Elso) terjadi dalam rentang waktu yang cukup besar, yaitu 2-7 tahun.

"Sekarang ini frekuensinya menjadi relatif lebih sering, 3-5 tahun terjadi La Nina atau El Nino," ujarnya. Kejadian dengan intensitas moderat hingga kuat itu dapat terjadi lebih sering, ia menambahkan.

La Nina terjadi ketika angin pasat (trade wind) berembus lebih kuat dari biasanya di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur, mendorong massa air hangat ke barat sampai ke Indonesia.

Dodo menjelaskan, pemanasan global telah membuat laut menjadi semakin hangat. Dampaknya merembet ke aspak-aspek cuaca yang lain.

"Laut itu mesinnya iklim, sekarang mesinnya sudah berubah jadi lebih panas ... sehingga semua unsur turut berubah juga," kata Dodo.

Abdul Muhari, kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, mengatakan beberapa daerah sudah merasakan peningkatan curah hujan, yang mengakibatkan bahaya banjir, sejak bulan Juni.

"Artinya fokus kita tidak hanya di akhir tahun saja, dari sekarang pun kita sudah mendukung daerah untuk bersiap karena sementara ini saja sudah cukup banyak daerah yang terdampak banjir yang sebelumnya mungkin pada waktu-waktu kemarau ini tidak banjir," kata Abdul Muhari kepada BBC News Indonesia.

"Mungkin ini representasi lokal dari dampak perubahan iklim terhadap pola musim di Indonesia," ia menambahkan.

Mengantisipasi bencana akibat La Nina, BNPB meminta pemerintah daerah bersiap untuk segala kemungkinan, dengan mengecek situasi serta kelengkapan alat dan personel. BNPB juga meminta daerah untuk menyiapkan rencana kontingensi.

"Kalau dari hasil apel kesiapsiagaan dan rencana kontingensi ini ada kebutuhan-kebutuhan yang dirasa perlu oleh daerah tapi daerah tidak bisa untuk melengkapi karena keterbatasan sumber daya maupun pendanaan, [BNPB] sudah mengimbau kepala daerah untuk menetapkan status siaga darurat," kata Abdul Muhari.

"Kalau pemerintah daerah menetapkan siaga darurat maka pemerintah pusat bisa turun mengintervensi, membantu kelengkapan sumber daya dan pendanaan."

Adapun untuk kesiapsiagaan masyarakat, BNPB mengimbau pemerintah daerah agar menyiapkan jejaring komunikasi untuk menyampaikan peringatan dini hingga level komunitas.

"Misalnya, di Jakarta yang sudah berjalan baik itu adalah jejaring komunikasi peringatan dini banjir dari hulu ke hilir. Kalau di Katulampa airnya naik, maka Katulampa menginformasikan ke petugas-petugas sepanjang Ciliwung bahwa empat-lima enam jam lagi banjir akan sampai di Jakarta. Hal-hal seperti ini kita dorong sambil masyarakat tetap memperhatikan informasi-informasi dari BMKG," ia menjelaskan.

Akankah berdampak pada makanan?

Ilustrasi sayuran di kios (Pixabay).
Ilustrasi sayuran di kios (Pixabay).

Sebelumnya, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan La Nina akan mengancam ketahanan pangan. Dua sektor yang dinilai akan sangat terdampak yakni sektor pertanian dan perikanan.

"Dampaknya akan mengancam ketahanan pangan karena berpotensi merusak tanaman akibat banjir, hama dan penyakit tanaman. Selain itu, mengurangi kualitas produk karena tingginya kadar air," ujar Dwikorita. 

Dodo Gunawan dari BMKG mengonfirmasi bahwa beberapa wilayah yang terdampak peningkatan curah hujan termasuk lumbung pangan, misalnya Pantai Utara Jawa dan Sulawesi Selatan.

Peneliti dari Center of Reform on Economics, Mohammad Faisal, mengatakan La Nina dapat berbuntut kenaikan harga makanan di pasaran dan kerugian bagi petani. Itu karena banjir dan tanah longsor dapat menyebabkan gagal panen juga mengganggu jalur distribusi bahan makanan.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Faisal mengatakan Bulog dan Kementerian Pertanian perlu melakukan perhitungan stok yang tepat dengan mempertimbangkan faktor risiko bencana.

"Jika ternyata hasil kalkulasi tersebut ada potensi kekurangan, maka perlu dilakukan antisipasi dengan menginventarisir potensi produksi yang ada di seluruh negeri, karena panen dan magnitude bencana berbeda-beda antar daerah.

"Kalau memang juga masih juga kurang, [pemerintah harus] merencanakan impor terutama untuk bahan pangan yang demand-nya masih besar atau yang kita tidak bisa tanam dalam jumlah banyak misalnya bawang putih," ia menjelaskan.

Sekretaris Perusahaan Bulog, Awaludin Iqbal, mengatakan perusahaan pelat merah tersebut mengelola stok cadangan beras pemerintah sebanyak satu sampai satu setengah juta ton yang tersebar di seluruh wilayah.

Stok tersebut akan digunakan untuk penanggulangan bencana dan pasca bencana serta pengendalian harga.

"Jadi fungsi itu sampai sekarang masih, dan kita sudah sediakan itu dalam kondisi apapun -- apakah itu la nina atau el nino. semua kondisi, kita sudah siapkan," katanya.

Sementara Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, dalam pernyataan tertulis kepada BBC News Indonesia, menjabarkan sejumlah upaya antisipasi dan mitigasi untuk mengamankan produksi pangan dari dampak La Nina.

Upaya-upaya tersebut antara lain pemetaan daerah rawan bencana, rehabilitasi saluran irigasi, dan penggunaan benih tahan genangan di daerah yang rawan banjir.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini