SuaraJawaTengah.id - Transaksi menggunakan metode barter pernah terjadi oleh masyarakat pada zaman dahulu. Perlahan, sejak adanya mata uang, metode tersebut sudah ditinggalkan.
Siapa sangka, transaksi dengan metode barter ini masih dilakukan warga Desa Gumelem Kulon, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara. Uniknya, metode barter ini bukan menggunakan barang lazim, yaitu rambut rontok.
Warga perempuan di Grumbul Ketandan, sudah terbiasa mengumpulkan rambut rontok yang jatuh setelah disisir untuk ditukarkan perkakas rumah tangga seperti, tampah, baskom, gayung, dan sebagainya.
Dengan dibungkus plastik, rambut tersebut biasanya dikumpulkan dalam kurun waktu satu bulan. Namun, pedagang pikulan yang menerima transaksi barter, datangnya tak tentu. Biasanya ketika datang, pedang
Baca Juga:Alasan Keluarga Inti, Istri Bupati Budhi Sarwono Menolak Diperiksa KPK
"Rambut, rambut, rambut," teriak Ahmad Supriyanto (57), pedagang pikulan memberikan kode ketika datang, Minggu (9/1/2022). Seketika itu pula, warga yang berada di dalam rumah keluar dengan membawa rambut yang sudah dikumpulkan.
Mbah Supri, biasa ia dipanggil mengaku sudah 30 tahun berprofesi sebagai pedagang perkakas keliling. Sejak itu pula, bisnisnya ini bisa dibarter dengan rambut warga yang rontok.
Tidak hanya itu, ia juga sempat menerima barang rongsok seperti, telepon genggam rusak, ataupun ember bolong dan lainnya. Namun tiga tahun belakangan, barang rongsok sudah tidak lagi diterima.
"Ribet, sudah tua saya, kalau harus bawa barang rongsok berat. Belum ditambah beban dagangan saya," akunya.
Usut punya usut, ternyata rambut rontok ini bisa dijual kembali pada pengepul rambut palsu atau wig dari Purbalingga. Tapi tak sembarang rambut rontok yang diterimanya. Ada spesifikasi khusus.
Baca Juga:Dipanggil KPK, Istri Bupati Banjarnegara Menolak Jadi Saksi Kasus Suaminya
"Paling tidak panjangnya 20 cm. Kalau pendek (rambut), harganya lebih murah," ujarnya.
Itulah salah satu alasan mengapa Mbah Supri hanya menerima rambut dari perempuan. Dirinya juga tidak mempermasalahkan warna rambutnya apa. Yang sudah ubanan pun ia terima asalkan tidak pendek.
"Mau itu warnanya sudah merah, putih atau apapun yang penting masih panjang," jelasnya.
Rambut hasil transaksi tersebut sore harinya langsung dijual ke pengepul. Harganya sudah dipatok lumayan tinggi. Bobot 1 ons bisa dijual dengan harga Rp 40 ribu. Hanya saja jarang ia mengumpulkan segitu dalam satu hari.
"Jualnya harian, setelah pulang berdagang langsung saya jual, lumayan buat uang harian istri," kata pria asal Desa Kertayasa, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara ini.
Dalam menjalani profesinya, ia mengandalkan transportasi bus. Karena wilayah "jajahannya" hingga Kabupaten Banyumas yang jaraknya puluhan kilometer dari kediamannya.
"Pagi berangkat, sampai sore. Tapi sekarang saya jualan tidak setiap hari. Kalau mood saja, kadang ya seminggu sekali," tuturnya.
Jika sedang libur berjualan, sehari-hari ia biasa menggarap lahan sawah miliknya. Di usia yang beranjak senja, jualan bukan lagi penghidupannya. Karena pikulan yang dibawa cukup berat.
"Ya saya hanya cari hiburan saja sekarang. Tidak seperti dulu yang keliling setiap hari. Yang penting bisa dapat untung saja," katanya.
Kuati (50), pelanggan Mbah Supri mengaku senang dengan sistem pembayaran yang ditawarkan. Karena rambutnya kerap kali rontok dan hanya dibuang saja.
"Tadi saya bawa rambut rontok seperempat ons, dihargai Rp 10 ribu. Saya beli baskom plastik. Lumayan buat wadah piring atau gelas yang sudah dicuci," celetuknya.
Layaknya seperti di pasar tradisional, tawar menawar hargapun tetap dilakukan. Namun tetap diselingi dengan canda tawa hingga mencapai kesepakatan.
Lain halnya dengan Saminah (69), ia membeli 2 tampah dengan rambut rontok seberat setengah ons. Namun karena dirasa kurang, ia diminta untuk menambah uang sebesar Rp 15 ribu.
"Ini tampah nantinya saya gunakan untuk menjemur kecambah. Karena anak saya biasa jualan kecambah di pasar. Lumayan lah bisa irit. Ini kalau beli di pasar, satunya tidak boleh Rp 20 ribu pasti," ungkapnya.
Kontributor : Anang Firmansyah