SuaraJawaTengah.id - Berawal dari sajian lebaran yang disuguhkan terbatas untuk kalangan keluarga, legondo menjadi penganan khas Borobudur. Merawat tradisi kuliner warisan keluarga.
Keluarga Ibu Suad Albaroroh punya kebiasaan berkumpul di rumah famili yang paling tua di saat Lebaran. Momen berkumpul itu menjadi momen sakral menjaga ikatan silaturahmi.
Acara kumpul keluarga itu biasanya ditemani oleh sajian Lebaran yang hanya dijumpai pada acara-acara khusus.
“Kebiasaan di keluarga kami pas Lebaran bikin (legondo). Malam Lebaran itu bikin legondo bisa sampai larut. Nanti disajikan saat hari H pagi. Biasanya siang sudah habis,” kata Fuad Suryawan, putra bungsu Ibu Suad.
Baca Juga:Tinjau Candi Borobudur, Jokowi Minta Bikin Seni Pertunjukkan Secara Rutin
Menurut Fuad, legondo menjadi ciri suguhan Lebaran di rumahnya. Sempat sekali waktu saat Lebaran, keluarga Bu Suad absen menyajikan legondo.
“Ya tamu keluarga gelo (kecewa). Legondo digoleki (dicari-cari). Di tempat yang lain, lemper itu sudah biasa. Tapi legondo ini khas. Di kampung kami yang istimewa ya di rumah simbah saya itu," jelas dia.
Legondo mulanya dibuat oleh tangan-tangan terampil leluhur warga Dusun Sabrang Rowo, Desa Borobudur, Magelang. Seiring waktu, hanya segelintir orang saja yang masih telaten membuatnya. Salah satunya keluarga besar Bu Suad.
Selain saat Lebaran, legondo disajikan hanya pada acara istimewa. Makanan berbahan utama beras ketan dan irisan pisang ini sering digunakan sebagai pelengkap ater-ater (hantaran acara nikahan).
“Atau saat ada tamu istimewa yang datang nah itu baru muncul. Tapi kalau hari-hari biasa nggak ada,” ujar Fuad.
Baca Juga:Dorongan Tiga Periode Makin Meluas, Presiden Jokowi: Tetap Taati Konstitusi
Para sepuh warga asli Dusun Sabrang Rowo, sekitaran Kujon atau Bumisegoro mungkin samar-samar masih mengingat legondo. Tapi di kalangan anak muda, penganan ini bisa dipastikan asing bagi mereka.
Makanan jadul ini kalah familiar dari makanan instan, atau camilan berunsur Jepang dan Korea yang digandrungi anak-anak muda.
Bu Suad yang saat ini menginjak usia 78 tahun belajar membuat legondo dari budenya. Alasannya sederhana: agar ada yang meneruskan tradisi menyajikan legondo saat Lebaran di lingkungan keluarga.
Sebagai anak bungsu yang tinggal serumah dengan sang ibu, dari dulu Fuad terbiasa membantu Bu Suad membuat legondo. Dia hafal betul cara membuat legondo yang terbilang rumit.
“Serba teng cengklunik. Bikinnya rumit. Lama dan melelahkan,” kata Ernalia Masli istri Fuad yang setelah menikah sering terlibat dalam membuat legondo.
Bahan utama legondo adalah beras ketan, pisang, santan, dan gula. Ketan yang sudah direndam kemudian diaron bersama santan kelapa. Setelah setengah matang, ketan dimasak kembali dengan cara dikukus.
Usai dikukus, ketan dibungkus menggunakan daun pisang. “Jadi ketan itu kita kepel-kepel, kemudian ditaruh irisan pisang kepok kuning atau pisang raja di atasnya," ucapnya.
Orang awam sekilas melihat bungkusan legondo mirip lemper. Bedanya legondo diikat menggunakan 3 tali yang terbuat dari seratan bambu.
Menurut Fuad tali yang mengikat legondo memiliki filosifi tersendiri. “Jadi talinya harus 3 karena itu ada pakemnya. Ada filosofinya," tegasnya.
Ketiga tali itu menggambarkan ikatan manusia pada 3 unsur: Allah. Rasulullah. Manusia lainnya.
Manusia terikat kepada Allah sebagai pencipta alam semesta. Begitu juga ikatan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah agama Islam.
Tali ketiga mengikat hubungan manusia dengan manusia lainnya sesama penghuni bumi.
“Ikatan ketiganya itu harus dalam ikatan yang kuat. Keseimbangan itu harus ada. Terhadap Allah, Rasulullah, dan manusia, ada adab dan etikanya. Itu kita jalankan sesuai perintah Allah,” kata Fuad.
Sebab itu ikatan tali pada legondo harus kuat. Cara mengikat tali yang sempurna harus meninggalkan bekas lekukan.
“Harus penggik. Legoknya itu terlihat. Kelihatan lengkik-lengkik-nya itu. Biasanya yang sering nali legondo itu orang laki-laki karena harus kuat. Kalau nggak ada penggiknya nggak jadi bagus. Gagal," paparnya.
Setiap pembuat legondo memiliki ciri tersendiri dalam mengikat. Keluarga besar Bu Suad hafal betul ikatan khas pada legondo yang dibuat Fuad.
Fuad berkeyakinan mustahil mengurangi jumlah ikatan karena alasan lebih praktis. Mengurangi jumlah ikatan sama dengan mengubah filosofi dan tradisi pembuatan legondo.
“Legondo itu bukan cuma rasa tapi juga penampilan. Karena kita memuliakan tamu. Nyuguh tamu jadi tampilannya harus bagus. Kalau naleni legondo pating peletot kan dilihat nggak enak,” kata Fuad.
Dengan alasan memuliakan tamu pula, bahan-bahan yang dipilih untuk membuat legondo harus berkualitas baik. Terutama pisang yang digunakan harus jenis kepok kuning atau raja yang dikenal gempi (padat) dan rasanya manis.
Sekali membuat adonan legondo, Fuad dan Ernalia membutuhkan 1 kilogram beras ketan, santan dari 2 butir kelapa, dan 1 sisir pisang kepok ukuran besar. Dari sekali adonan ini dihasilkan sekitar 30 legondo.
Legondo “Bu Suad” dijual dengan sistem paketan per besek. Paket paling kecil adalah paket alit yang berisi 5 legondo. Paket ini dijual seharga Rp22 ribu.
Kemudian ada paket sedoso berisis 10 legondo dan paket selangkung berisi 25 legondo yang masing-masing ditawarkan seharga Rp40 ribu dan Rp100 ribu.
Paket paling besar adalah paket ageng, bersi 50 legondo yang dijual seharga Rp195 ribu.
“Hitungan itu untuk memudahkan saja. Misal mau pesan 70 biji bisa juga. Terus minta satu besek isi 15 juga boleh. Karena untuk satu kali adonan jadinya sekitar 30 biji legondo,” ujar Ernalia.
Legondo Bu Suad hingga saat ini hanya khusus melayani pesanan melalui IG @legondo_bu_suad. Fuad dan Ernalia belum berkeinginan menjualnya dengan cara menitipkan ke pasar atau toko oleh-oleh.
“Kami memang nggak nitip jual di pasar atau toko oleh-oleh. Kami pingin legondo adanya hanya di Legondo Bu Suad. Istilahnya kalau mau cari legondo ya adanya cuma disini," ucapnya.
Sebab kata Fuad, niat awal memasarkan legondo bukan semata-mata mencari keuntungan. Ada maksud yang lebih besar yaitu mengenalkan tradisi sajian Lebaran keluarga kepada masyarakat yang lebih luas.
“Dari niat awal kami ingin mempertahankan, nguri-uri makanan tradisional. Makanan Jawa. Makanan ndeso. Jadi kalau bicara legondo itu ingatnya Bu Suad. Yang melestarikan ya Bu Suad.”
Kontributor : Angga Haksoro Ardi