SuaraJawaTengah.id - PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko mengizinkan aktivitas berdagang sesuai zona yang tersedia. Zona II diperuntukan sebagai ruang kreatif budaya dan ruang edukasi bagi wisatawan.
Menurut Corporate Secretary PT TWC, AY Suhartanto, pihaknya berkomitmen menghadirkan kenyamanan bagi wisatawan di kompleks Candi Borobudur.
Sebagai salah satu Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP), penerapan standar pelayanan prima kepada pengunjung Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur merupakan hal krusial.
Mewujudkan pariwisata berkualitas salah satunya dengan mengatur area berjualan pedagang asongan di zona II dalam kawasan TWC Borobudur.
Baca Juga:Tak Boleh Berjualan, Pedagang Asongan Borobudur Mengadu ke LBH Yogyakarta
“Untuk menghadirkan kenyamanan dan keamanan bagi wisatawan,” kata AY Suhartanto, Rabu (15/6/2022).
Menurut AY Suhartanto, pihak pengelola membolehkan aktivitas berjualan asal sesuai zona yang tersedia. Saat ini zona berjualan disiapkan di dekat areal parkir kompleks Candi Borobudur.
Zona II yang sebelumnya digunakan sebagai area berdagang asongan akan digunakan sebagai ruang kreatif budaya dan edukasi bagi wisatawan.
Zona II kawasan Candi Borobudur berfungsi sebagai green belt dan buffer zone untuk mendukung konservasi Candi Borobudur.
PT TWC berharap seluruh pihak menjaga citra positif pariwisata Indonesia di mata dunia. Terlebih saat ini adalah momen kebangkitan pariwisata dan pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Baca Juga:Pedagang Asongan Protes Dilarang Jualan di Candi Borobudur: Ini Diskriminasi!
“Tentunya ini merupakan bekal yang cukup untuk menghidupkan kembali aktivitas wisata di Borobudur dan juga Magelang,” kata General Manager TWC Borobudur, Pujo Suwarno.
Komunitas pedagang asongan Borobudur, Rabu (15/6/2022) mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Mereka memprotes putusan PT TWC Borobudur yang melarang pedagang asongan berjualan di zona II Borobudur.
Asongan menilai keputusan itu tidak berpihak pada pedagang kecil. Mereka mempertanyakan sikap TWCB yang melarang pedagang asongan berjualan di zona II, tapi menjalankan aktivitas perekonomian di area tersebut.
Mewakili pedagang asongan, Ketua Umum Serikat Pekerja Pariwisata Borobudur, Wito Prasetyo menilai PT TWC harus fair menerapkan aturan.
“Kami merujuk pada aturan. Zona II dalam itu tidak diperbolehkan untuk kegiatan komersialisasi. Kalau asongan nggak ada, ya semua nggak ada komersialisasi di zona II dalam,” kata Wito.
Menurut salah seorang pedagang asongan, Kodirun, banyak stan menjual minuman, makanan, bahkan souvenir berada di zona II kompleks Candi Borobudur.
“Nggak masalah kalau aturannya begitu (larangan berjualan di zona II). Tapi selama masih ada kegiatan komersial dibolehkan, kami tetap mau jualan disitu. Lha wong yang lain bermodal besar boleh, kami yang untuk makan saja nggak boleh,” ujar Kodirun.
Di kantor LBH Yogyakarta, mantan pegiat Jaringan Kerja Pariwisata, Jack Priyana menilai kondisi pengelolaan kompleks Candi Borobudur tidak berubah banyak sejak tahun 2004.
Penduduk lokal hingga saat ini dipolakan hanya sebagai para pengais rejeki yang tidak dilibatkan dalam mengambil kebijakan strategis. Bekerja hanya pada sektor pinggiran: pengasong, tukang parkir, dan calo.
“Masyarakat Borobudur hanya menjadi objek bidang garap. Saya kaget ini ternyata wajah-wajah lama (pedagang asongan). Mereka masih sama sejak dulu. Tidak ada peningkatan ekonomi,” jelas Jack Priyana.
Ini menunjukkan para penduduk lokal Borobudur yang sejak lama mencari rezeki di kompleks candi, tidak “naik kelas” secara ekonomi. Jack Priyana berharap warga lokal Borobudur dilibatkan dalam mengambil kebijakan terkait pariwisata kawasan.
Sehingga mereka bisa ada peningkatan, tidak melulu menjadi pengasong tapi produsen yang mendapat jaminan produk mereka terserap industri pariwisata Borobudur.
Kontributor : Angga Haksoro Ardi