SuaraJawaTengah.id - Banyak informasi salah yang beredar terkait sejarah penamaan Candi Asu di Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Magelang. Sering dikaitkan karma perilaku seks menyimpang, hingga dugaan makam Maharaja Rakai Kayuwangi.
Di lereng sebelah barat Merapi, ditemukan sejumlah candi kecil yang diperkirakan berhubungan dengan ritus pemujaan masyarakat Mataram Kuno.
Permukiman kuno pada masa awal peradaban Jawa berkembang di kawasan ini. Masyarakat hidup makmur dari bertani di tanah yang subur karena limpahan abu vulkanik Merapi.
"Jaman dulu ada permukiman di sini. Bangunan tempat peribadatan menunjukkan ada masyarakat. Lambang kemakmuran juga," kata Juru Pelihara Candi Pendem, Jumat, kepada SuaraJawaTengah.id, Jumat (24/6/2022).
Baca Juga:Setelah Jadi Perdebatan, Tiket Masuk Candi Borobudur Akhirnya Tak Jadi Naik
Menurut Jumat, kawasan ini dikenal sebagai kompleks candi Sengi yang terdiri dari Candi Pendem, Asu, dan Lumbung. Setiap candi punya fungsi ritual sendiri yang semuanya dihubungkan oleh siklus tanam padi.
"Fungsi semua candi ini untuk pemujaan. Candi Pendem itu candi pertimah. Candi bumi."
Di Candi Pendem, masyarakat kuno Merapi menggelar ritual pemujaan untuk mengawali masa tanam padi. Kepada Dewi Sri mereka meminta hasil panen melimpah.
Pada masa perawatan sawah, mereka menggelar ritual pemujaan di Candi Asu. Kata Jumat, disinilah bias nama Candi Asu mengalami kelokan makna.
"Nama Candi Asu ada beberapa versi. Kalau lihat di Google, dinamakan Candi Asu karena di sekitarnya dulu banyak anjingnya. Itu persepsi yang salah."
Baca Juga:Waduh! Tunggakan Iuran Peserta BPJS Kesehatan di Magelang Mencapai Rp6 Miliar
Versi lain menyebutkan nama Candi Asu disematkan karena saat ditemukan terdapat arca nandi (sapi) berukuran kecil yang bentuknya tak lagi sempurna.
Karena bentuknya yang tidak sempurna, warga mengira patung nandi tersebut adalah arca anjing atau asu dalam bahasa Jawa.
Salah persepsi itu semakin ngawur sebab kemudian ada yang menghubungkan Candi Asu dengan mitos Dewindani, seorang putri yang dihukum karena mengumbar nafsu seksual.
Menurut Jumat, Candi Asu sesungguhnya bermakna ngaso (beristirahat). “Artinya tempat peristirahatan atau ngaso. Jadi sebenarnya ‘aso’ bukan ‘asu’. Tapi karena telanjur salah kaprah, masyarakat sekitar menamakan Candi Asu.”
Arca nandi dikira anjing yang menjadi sumber sengketa penamaan Candi Asu sendiri sudah sejak lama tak berada di tempatnya. “Nandi di Candi Asu sudah tidak ada. Tapi sempat tercatat. Masyarakat (saat candi ditemukan) juga menyaksikan itu,” kata Jumat.
Makna ngaso pada Candi Asu juga dikaitkan sebagai “tempat istirahat” Maharaja Rakai Kayuwangi, penguasa tanah perdikan lereng Merapi pada masa Mataram Hindu.
Banyak orang meyakini, di Candi Asu jasad Rakai Kayuwangi dimakamkan. “Di sini tanah perdikannya Rakai Kayu Wangi. Dia diberi (wilayah kekuasaan) oleh Raja Mataram Hindu.”
Kembali soal ritual di candi saat siklus tanam padi, bagian terakhir dari ritus pemujaannya ditutup di Candi Lumbung.
Masyarakat kuno lereng Merapi meyakini menggelar ritual di candi yang oleh mereka dikenal sebagai candi Sri ini akan mendatangkan panen berlimpah. “Candi Lumbung itu untuk masayarakat dulu, namanya candi Sri. Pertanda ada kemakmuran untuk panen raya padi,” kata Jumat.
Ada kesamaan motif pada relief ketiga candi Hindu ini. Ditemukan motif sulur-suluran dan burung (ada yang menyebut burung nuri atau kakatua).
"Relief yang dominan di Candi Pendem itu burung dan daun sulur, sama dengan Candi Lumbung. Di Candi Lumbung dan Pendem juga ada ada relief ghana atau buto (raksasa)."
Candi Pendem, sesuai namanya ditemukan dalam keadaan terkubur pasir dan tanah akibat letusan Gunung Merapi. Candi digali sekitar tahun 1929 oleh arkeolog berkebangsaan Belanda.
Seperti kebanyakan candi Hindu, ketiga candi di Desa Sengi ini belum selesai dipugar. Semua candi ini belum memiliki kemuncak karena batuannya belum ditemukan.
Hanya Candi Lumbung yang boleh dianggap paling lengkap dari dua candi lainnya. "Sudah agak memuncak, sudah ada kaki, tubuh, dan kepala. Candi Asu untuk tubuhnya belum sampai ke kemuncak. Paling pendek Candi Pendem. Tubuhnya baru sekitar sepertiga bagian."
Ketiga candi masing-masing dijaga seorang juru pelihara. Candi Asu dijaga juru pelihara Wahyu Setyanto, Candi Lumbung, Nurdiyono, dan Candi Pendem, Jumat.
Jumat sendiri sudah 32 tahun menjaga peninggalan sejarah di kompleks candi Sengi. Dia paling senior diantara juru pelihara lainnya.
"Candi Lumbung belum ada pagarnya karena disana lahannya masih ngontrak. Kalau Candi Asu dan Pendem tanahnya sudah milik BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya)," kata Jumat.
Jumat berharap masyarakat ikut menjaga dan menjadikan ketiga candi ini sebagai tempat studi kebudayaan. Semua orang bisa mengunjungi situs purbakala ini dengan mengajukan permohonan kunjungan di bpcbjateng.id.
Kontributor : Angga Haksoro Ardi