SuaraJawaTengah.id - Pertunjukan wayang kulit semalam suntuk, merayakan malam 1 Suro digelar di kompleks makam KRT Suronolo di Dusun Soronalan, Sawangan, Magelang. Merawat ingatan warga terhadap tokoh pepunden dusun.
Geber wayang kulit dibentangkan menghadap makam Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Suronolo. Selepas ashar, sesi pertama rangkaian pertunjukan wayang kulit semalam suntuk itu dimulai.
Pada panggung permanen yang menghadap pesarean KRT Suronolo, dalang miwiti pertunjukan. Lantunan gamelan dan suara sinden memecah sunyi yang lekat pada nisan-nisan bisu.
Agak ganjil menyaksikan pertunjukan wayang kulit digelar di tengah kompleks makam. Tradisi ini menurut juru kunci makam Eyang Suronolo, Tasih Haryanto dimulai sejak 8 tahun lalu.
Baca Juga:Apakah Malam 1 Suro Sama dengan Malam 1 Muharram? Ini Letak Perbedaannya
“Ini dari awal sudah sekitar 8 tahun. Setapak demi setapak berkembang menyelenggarakan acara ini,” ujar juru kunci yang biasa disapa Mbah Tasih kepada SuaraJawaTengah.id, Jumat (29/7/2022) sore.
Dulu merti bumi di Dusun Soronalan, Desa Soronalan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, digelar biasa-biasa saja. Biasanya berupa doa dan makan bersama.
Kemudian sekelompok orang mengusulkan digelar pertunjukan kesenian untuk meramaikan merti dusun. Kelompok pengrawit asal Dusun Gondang, Desa Paten, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang mengajukan diri mengiringi acara.
Kelompok ini yang memulai mengiringi pertunjukan wayang kulit semalam suntuk di kompleks makam KRT Suronolo. Mereka seolah memiliki kontrak pasti untuk menggelar pentas di sini pendak malam 1 Suro.
“Kami tidak mengundang apalagi menyiapkan dana. Mereka yang minta main di sini. Peribahasanya kalau di hati njenengan cocok, ya ayo bareng-bareng diselenggarakan kesenian ini.”
Baca Juga:4 Beda Malam 1 Suro dan 1 Muharram, Walau Dirayakan di Hari yang Sama
Tradisi itu kemudian berkembang menjadi kegiatan rutin saban suro. Banyak kelompok kesenian lain kemudian ikut mengajukan diri untuk terlibat meramaikan acara.
Pernah pada suatu masa, pertunjukan kesenian digelar 10 hari berturut-turut menjelang perayaan 1 Suro. Tidak hanya wayang kulit, kelompok ketoprak juga pernah main di sini.
“Jadi ini berhenti (pertunjukan tidak digelar beberapa hari berturut-turut) semenjak ada Corona. Saya dapat wangsit kalau ada kesenian yang mau tampil ya diterima saja. Akhirnya tetap ada wayangan, meskipun tidak digelar seperti biasanya,” kata Mbah Tasih.
Mbah Tasih yakin diberikannya berkah kelancaran acara pertunjukan kesenian pada malam 1 Suro atas kersa (keinginan) KRT Suronolo. “Mungkin karena keinginan Eyang Suronolo bisa dilakukan pertunjukan kesenian seperti itu.”
Tidak begitu jelas siapa sebenarnya Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Suronolo yang makamnya begitu dihormati di Dusun Soronalan.
Mbah Tasih bercerita, KRT Suronolo adalah salah seorang pengawal Kebo Kanigoro. Dia pengikut setia raja terakhir Majapahit, Brawijaya V.
Saat Majapahit berada di ujung masa kekuasannya, Kebo Kanigoro memilih mengembara menjadi pertapa di lereng Merapi dan Merbabu. Petilasan Kebo Kanigoro sendiri berada di Dusun Pojok, Desa Samiran, Kecamatan Selo, Boyolali.
Menurut versi Mbah Tasih, pada akhir masa Kerajaan Majapahit, Kebo Kanigoro dan pengikutnya yang beragama Hindu menolak masuk Islam.
“Ini tokoh dari Kadipaten Pengging, pengawalnya Kebo Kanigoro. Pada peristiwa masuknya Islam, Kebo Kanigoro dan para pengikutnya disuruh masuk Islam. Mereka bersikukuh menolak.”
Perjalanan mengikuti Kebo Kanigoro itu yang membuat KRT Suronolo akhirnya tiba di wilayah hutan sebelah barat kaki Gunung Merbabu. Wilayah itu nantinya menjadi cikal bakal Dusun Soronalan.
Berdasarkan teori sejarah penamaan tempat, Dusun Soronalan hampir pasti diambil dari nama Suronolo. Mbah Tasih yakin, KRT Suronolo tinggal dan wafat di dusun ini.
“KRT Suronolo itu tinggal di sini sampai meninggalnya. Jadi ini bukan petilasan. Ada yang bilang, Eyang Suronolo tidak dimakamkan di sini. Kalau menurut saya tetap di sini dimakamkannya.”
Kepala Dusun Soronalan, Surandi mengatakan tradisi perayaan Suro di makam KRT Suronolo merupakan bagian dari merti dusun. Kegiatan diawali doa bersama yang dipimpin para sesepuh kampung.
“Merteni warga masyarakat supaya mendapat barokah. Melalui lantaran punden kita, diberi keselamatan dan rejeki yang mudah. Sudah menjadi tradisi, nguri-uri budaya,” ujar Surandi.
Berdasarkan keyakinan para sesepuh kampung terdahulu, haul atau peringatan wafatnya KRT Suronolo jatuh pada bulan Suro atau bulan Muharam pada penanggalan hijriah (Islam).
Selain mewarisi tradisi suro, para sesepuh kampung ‘ninggali’ kebiasaan melakukan mujadahan selapanan (tiap 35 hari) pada hari Jumat Legi.
Pada rangkaian perayaan 1 Suro di Dusun Soronalan, selain pertunjukan wayang kulit warga juga menggelar kirab pusaka yang diyakini sebagai peninggalan KRT Suronolo.
Pusaka berupa tombak dan keris akan dikirab menuju pesarean KRT Suronolo yang berada di ujung dusun. Bersama itu warga juga mengarak dua gunungan berupa aneka hasil bumi.
Setelah didoakan, gunungan akan diperebutkan (grebek) warga. Mereka meyakini hasil bumi yang diambil dari gunungan akan membawa berkah.
Wadah legen (air sadapan nira kelapa) yang diambil dari gunungan biasanya diletakkan di atas pintu. Cuilan sayuran dari gunungan umumnya dikubur di sekitar tegalan atau kebun.
“Mungkin sebagian orang meyakini itu ada berkahnya. Ngalap barokah. Tapi tetap mohonnya sama yang Maha Kuasa to.”
Menurut Surandi, tujuan utama dari perayaan 1 Suro di kompleks makam KRT Suronalan adalah mendoakan para penunden atau leluhur.
“Yang pasti mendoakan yang sudah meninggal. Kita memohon kepada yang Maha Kuasa dengan lantaran para leluhur. Jangan salah tafsir, bukan berarti meminta pada yang sudah meninggal,” kata Surandi.
Kontributor : Angga Haksoro Ardi