SuaraJawaTengah.id - Banyak cara dilakukan masyarakat Jawa untuk memperingati moment sakral 1 Suro. Salah satunya Identik dengan jamasan yakni membersihkan atau merawat sesuatu yang memiliki nilai sakral.
Nilai sakral itu yang menurut Komunitas Brayat Penangkaran Borobudur selama ini mulai diabaikan dalam pengelolaan Candi Borobudur. Nilai spiritual candi kerap kalah oleh tujuan pemanfaatan ekonomi.
“Saya melihat pengelolaan Borobudur (selama ini) lebih pada nilai ekonomi yang sama sekali mengabaikan nilai sakral. Spiritual,” kata sesepuh Komunitas Brayat Penangkaran, Sucoro di pelataran Candi Borobudur, Minggu (31/7/2022) malam.
Sehingga pengelolaan Borobudur tidak hanya sekadar menjaga kelestarian fisik candi, tapi juga memperhatikan nilai kesakralan dan spiritualnya.
Baca Juga:Festival Budaya Loloan di Jembrana Bali
“Tidak hanya memperhatikan lumut atau meneliti keausan batu. Tapi melihat bahwa nilai sakral-spiritual yang ada menjadi bagian dari Borobudur yang penting dan dilihat," jelasnya.
Menurut Sucoro, Candi Borobudur dibangun oleh masyarakat Jawa untuk kepentingan sakral-spiritual. Candi menjadi media yang dapat menghubungkan imajinasi manusia terhadap Tuhan.
Pada perayaan 1 Suro tahun ini, Komunitas Brayat Penangkaran Borobudur mencoba mengingatkan nilai sakral-spiritual tersebut kepada berbagai pihak. Nilai sakral pada 1 Suro ‘senafas’ dengan nilai spiritual Candi Borobudur.
“Saya melihat Borobudur itu (dibangun) atas peran-peran masyarakat Jawa. Jadi simbol-simbol ke-Jawaan itu di sini masih sangat melekat,” ujar Sucoro.
Merayakan 1 Suro malam tadi, ratusan warga Komunitas Brayat Penangkaran Borobudur menggelar ritual membalut kain mori (putih) sepanjang 600 meter mengelilingi Candi Borobudur.
Baca Juga:Netizen Syok Jefri Nichol Ikut Ritual Malam 1 Suro, Terpantau Gandeng Seorang Wanita
Kain putih yang melambangkan kesucian menjadi simbol bahwa Candi Borobudur merupakan tempat yang suci. Jadi nilai sakralnya harus lebih diutamakan dibanding kepentingan ekonomi dan yang lainnya.
“Suro itu identik dengan jamasi keris. Kita bukan jamasi candi, tapi mencoba mengembalikan ruh spiritualnya. Disimbolkan melalui kain putih sepanjang 600 meter," ujarnya.
Kain mori dibentangkan mulai dari sisi kiri kaki candi mengarah ke kanan. Arah pembentangan kain sesuai ritual pradaksina atau meditasi sambil berjalan mengelilingi Candi Borobudur yang biasa dilakukan warga Buddha.
Sebelum tiba di pelataran Candi Borobudur, kain putih dikirab berjalan kaki dari rumah Komunitas Brayat Penangkaran Borobudur di Jalan Medang Kamulan. Dalam kirab juga dilibatkan beberapa komunitas kesenian tradisional.
Kepala Balai Konservasi Borobudur (BKB), Wiwit Kasiyati mengapresiasi kegiatan memperingati 1 Suro di Candi Borobudur. Terlebih acara ini bertujuan merawat nilai spiritual candi.
“Nilai spiritual di masyarakat ini yang kita berupaya melestarikannya. Tradisi menjadi objek pemajuan kebudayaan dan ini harus terus digali. Dikuatkan. sehingga akan menjadi identitas masyarakat setempat,” kata Wiwit Kasiyati.
Pencarian kebenaran tertinggi diabadikan melalui fragmen relief Gandawyuha di lorong 2 dan 3 Candi Borobubudur. Relief itu menceritakan perjalanan spiritual Sudhana mencari nilai spiritual tertinggi.
Fragmen Gandawyuha yang terdiri dari 460 panel relief, konon merupakan kisah yang sangat populer di India saat agama Buddha dan Hindu masuk ke Nusantara.
Begitu sarat makna cerita Sudhana ini, Raja India masa itu pernah menulisnya sendiri sebagai naskah sutra yang diserahkan kepada salah seorang kaisar Tiongkok.
Menurut cendikiawan Buddhis, Salim Lee, bukan tanpa alasan Gandawyuha dimasukkan oleh nenek moyang dalam relief Candi Borobudur. Gandawyuha dianggap mengandung kedalaman ajaran Buddha.
Gandawyuha di Tiongkok menjadi sangat terkenal dalam bentuk laku meditasi. Di Borobudur, Gandawyuha lebih menonjolkan sikap peduli dan bermasyarakat.
Pahatan fragmen Gandawyuha (juga semua relief) di Candi Borobudur menunjukkan corak Nusantara. Menunjukkan betapa nenek moyang kita bertoleransi dan mampu menyesuaikan diri menerima kebudayaan baru.
Ajaran agama dan kebudayaan yang datang ditelaah terlebih dahulu. Kemudiaan diterjemahkan dan dikemas dalam balutan budaya lokal yang khas corak Nusantara.
Kontributor : Angga Haksoro Ardi