Selanjutnya, kata dia, pemerintah perlu terus memperkuat data penerima yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi melalui digitalisasi.
Ke depan, dengan posisi data penerima yang berhak sudah lengkap, pemerintah dapat secara perlahan menaikkan harga minyak ke harga pasar atau memberikan subsidi namun dengan jumlah yang tetap sehingga kesehatan anggaran dapat terjaga.
Dia menambahkan, usulan mekanisme pembatasan BBM bersubsidi melalui apps MyPertamina cukup baik dan dapat membatasi jumlah pemakaian oleh orang kaya.
Melalui digitalisasi, apps MyPertamina dapat membatasi jumlah konsumsi per kendaraan, begitu pula dengan jenis kendaraan yang dapat mengkonsumsi BBM bersubsidi.
Baca Juga:Pemerintah Alihkan Subsidi BBM Pada Bansos, Pengamat: Itu Bukan Solusi, Seperti Memaksa
"Pertamina perlu meningkatkan koordinasi dengan Korlantas Polri terkait dengan data kendaraan per plat nomor, serta matching data kependudukan dan kemiskinan yang bisa bekerjasama dengan TNP2K ataupun Kemensos dan Kemendagri. Dengan demikian, BBM bersubsidi dapat disalurkan tepat sasaran," kata dia.
Josua berpendapat, jika melihat kondisi psikologis masyarakat saat ini, angka psikologis harga BBM berada di level Rp10.000 untuk dapat mengurangi beban subsidi BBM agar nilai subsidi dalam APBN tidak bengkak menjadi Rp700 triliun, atau tetap RP502,6 triliun.
"Dari sisi daya beli, kami menghitung direct impact kenaikan Pertalite 30,72 persen ke inflasi (proporsi Pertalite 80 persen dari total bensin) sebesar 0,93 persen. Untuk indirect impact, kami perkirakan akan sebesar setengah dari direct impact atau sekitar 0,47 persen," ujar Josua.
Josua mengingatkan yang juga penting adalah upaya pengendalian konsumsi BBM bersubsidi bisa dilakukan apabila payung hukum dari pemerintah sudah ada.
Sehingga, revisi Perpres terkait pengendalian BBM bersubsidi perlu segera diterbitkan oleh pemerintah mengingat kuota BBM bersubsidi diperkirakan habis pada Oktober atau November 2022.
Baca Juga:Harga Pertalite Naik Tanggal Berapa? Berikut Prediksi Harganya