Tingkat Kesopanan di Internet Rendah, Indonesia Perlu Menyiapkan Generasi Masa Depan dengan Literasi Digital

Hampir dua tahun yang lalu warganet Indonesia dibuat berang karena hasil survei yang menunjukkan tingkat kesopanan orang Indonesia di internet rendah

Budi Arista Romadhoni
Senin, 05 September 2022 | 06:10 WIB
Tingkat Kesopanan di Internet Rendah, Indonesia Perlu Menyiapkan Generasi Masa Depan dengan Literasi Digital
Ilustrasi internet. Hampir dua tahun yang lalu warganet Indonesia dibuat berang karena hasil survei yang menunjukkan tingkat kesopanan orang Indonesia di internet rendah. [fancycrave1/Pixabay]

Posisi literasi digital saat ini bisa dikatakan sama pentingnya dengan pendidikan formal. Internet membuka peluang kemunculan banyak teknologi baru. Artinya, keterampilan yang diajarkan hari ini, bisa jadi harus diperbarui enam bulan berikutnya karena ada fenomena baru.

Contohnya, ketika masyarakat mulai mengenal kode one-time password (OTP) untuk menggunakan dompet digital, penjahat siber beraksi mengaku sebagai penyelenggara dompet digital dan membutuhkan OTP tersebut untuk verifikasi data.

Maka, dalam literasi digital, masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa kode OTP tidak boleh diberikan ke siapa pun, bukan sekadar bagaimana cara menggunakan kode OTP.

Siapa yang perlu mendapatkan pelatihan literasi digital?

Baca Juga:NFT Peluang Besar Karya Pelaku Seni di Ranah Digital

Berbeda dengan pendidikan formal, yang biasanya diikuti usia 5 tahun sampai belasan tahun, sasaran literasi digital jauh lebih luas: mereka yang hidup dan menggunakan internet.

Sama pentingnya seseorang berusia 5 tahun dan 50 tahun terpapar literasi digital, tentu dengan pemahaman yang sudah disesuaikan dengan kategori usia. Misalnya, pada usia 5 tahun, literasi digital dititikberatkan pada orang tua supaya memberi aturan berapa lama boleh menonton video.

Tidak seperti pendidikan formal, materi literasi digital tidak melulu harus mengikuti pertambahan usia, tapi seberapa sering mereka terpapar internet. Ilustrasinya, ketika kelas 1 SD, siswa diajarkan matematika berupa pertambahan. Ketika kelas 2 SD, materinya semakin kompleks, yaitu perkalian.

Ada standar kompetensi dalam pendidikan formal, yakni ketika kelas 2 SD siswa diharapkan sudah bisa perkalian. Sementara pada literasi digital, belum tentu bisa mengikuti pola seperti itu.

Seberapa banyak seseorang terpapar internet bisa menjadi ukuran kemampuan digital apa yang dia butuhkan. Contohnya, kita tidak perlu memberi pelatihan cara menangkal serangan DDoS pada orang usia 30 tahun, yang sehari-hari menggunakan internet untuk belanja online.

Baca Juga:4 Kekurangan Investasi Emas Digital yang Penting Dipahami

Saking pentingnya literasi digital, ia menjadi salah satu isu prioritas dalam subforum G20, Digital Economy Working Group. Negara-negara anggota sepakat perlu ada standar indikator mengukur kemampuan digital.

Literasi digital adalah investasi jangka panjang, hasilnya belum tentu kelihatan dalam waktu dekat. Apa yang diajarkan saat literasi digital hari ini, belum tentu bisa mengubah sikap peserta keesokan harinya.

Tapi, perilaku yang positif menggunakan teknologi digital jika diperkenalkan terus menerus bisa menjadi kebiasaan. Kemudian membudaya.

Indonesia tentu ingin memetik hal-hal yang gemilang dari bonus demografi 2030 nanti dengan sumber daya manusia yang tidak hanya memiliki talenta digital tapi juga etika tinggi dalam berinternet.

Dengan literasi digital yang digelorakan dalam subforum Presidensi G20 Indonesia dan upaya pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika berkolaborasi dengan berbagai instansi dan komunitas diharapkan berinternet untuk kegiatan positif dan bermanfaat menjadi budaya generasi dan bangsa kita. [ANTARA]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak