Membangun Rekam Jejak Digital dengan Mengedepankan Etika saat Berinternet

Pengguna internet perlu menyadari rekam jejak yang ditinggalkan setiap berselancar di dunia maya, mengedepankan etika berinternet harus dilakukan

Budi Arista Romadhoni
Minggu, 30 Oktober 2022 | 12:02 WIB
Membangun Rekam Jejak Digital dengan Mengedepankan Etika saat Berinternet
Ilustrasi media sosial. Pengguna internet perlu menyadari rekam jejak yang ditinggalkan setiap berselancar di dunia maya, mengedepankan etika berinternet harus dilakukan. (Pixabay/Erik_Lucatero)

SuaraJawaTengah.id - Menggunakan internet adalah bagian dari gaya hidup seseorang saat ini. Membuka media sosial, hingga melakukan aktivitas bekerja atau sekolah semua terhubung dengan Internet. 

Namun demikian, pengguna internet perlu menyadari rekam jejak yang ditinggalkan setiap berselancar di dunia maya. Perlu mengedepankan etika berinternet untuk membangun jejak digital yang baik.

Rekam jejak digital sebaiknya dibangun dengan selalu etis bermedia digital. "Pastikan selalu berpikir mendalam tentang apa dan bagaimana kita meninggalkan jejak digital yang cenderung abadi," kata Koordinator Nasional Jaringan Pegiat Literasi Digital (Jepelidi) Novi Kurnia dikutip dari ANTARA pada Minggu (30/10/2022).

Dalam webiner "Indonesia Makin Cakap Digital" yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk komunitas digital wilayah Bali - Nusa Tenggara Barat, Jumat malam, Novi mengatakan bahwa jejak digital adalah jejak data yang kita buat dan tinggalkan saat menggunakan perangkat digital.

Baca Juga:Pengguna Internet Indonesia Masif, Tembus 204 Juta Orang

Novi menjelaskan ada dua jenis jejak digital, yakni aktif dan pasif. Jejak digital aktif merupakan data atau informasi yang sengaja diunggah seseorang ke dunia maya. Sedangkan jejak digital pasif umumnya berupa data yang "ditinggalkan" tanpa sadar oleh pengguna ketika berselancar di dunia maya.

"Contoh jejak digital aktif, di antaranya kicauan di Twitter, status di Facebook, foto atau video postingan Instagram dan video YouTube. Sedangkan jejak digital pasif, misalnya server menyimpan alamat IP, lokasi, dan search history," jelasnya dalam webinar yang juga diikuti secara nobar oleh komunitas digital di wilayah Nusa Tenggara Barat.

Dalam diskusi virtual bertajuk "Hati-hati Rekam Jejak Digital", Novi yang juga dewan pengarah Siberkreasi itu menyebut jejak digital mempunyai banyak bentuk. Di antaranya mudah dibagikan dengan cepat, berisiko dimanfaatkan secara negatif, dan bersifat abadi.

"Artinya, cenderung tidak bisa dihilangkan karena bisa didokumentasikan dan dipanggil kembali. Selain itu, jejak digital dapat berubah dalam bentuk lain, misal dari foto menjadi video atau sebaliknya," tegas pengajar Departemen Ilmu Komunikasi UGM Yogyakarta itu.

Adapun cara menjaga jejak digital, lanjut Novi Kurnia, yakni dengan memproteksi data pribadi diri dan orang lain, pastikan hak cipta orang atau pihak lain, pahami fitur-fitur platform digital, regulasi terkait berbagi informasi dan ruang digital, pertimbangkan akurasi, dan manfaat sebelum posting.

Baca Juga:Daftar 6 Operator Fixed Broadband Terpopuler di Indonesia

Dari perspektif budaya digital (digital culture), pengajar SMKN 1 Nganjuk, Jawa Timur yang juga aktivis sosial, Winarsih, menyoroti hubungan antara data pribadi dengan rekam jejak digital.

Menurut Winarsih, data pribadi merupakan data tentang kehidupan seseorang. Baik itu yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi secara tersendiri maupun yang dikombinasi dengan informasi lainnya, secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik dan non-elektronik.

Contoh data pribadi: convictions, credit history, catatan medis, employment history (CV), contact information, dan addresses. Adapun data pribadi yang harus dilindungi, yakni nomor KK, NIK, tanggal lahir, keterangan tentang kecacatan fisik atau mental, maupun catatan peristiwa penting.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini