Pertahankan Tenun Tradisional, Sarung Botol Terbang Asli Magelang Dijual hingga ke Luar Negeri

Pabrik sarung tenun cap Botol Terbang diperkirakan berdiri sebelum Presiden Soekarno menyerukan gerakan berdikari

Budi Arista Romadhoni
Kamis, 06 April 2023 | 19:04 WIB
Pertahankan Tenun Tradisional, Sarung Botol Terbang Asli Magelang Dijual hingga ke Luar Negeri
Kegiatan menenun sarung goyor di pabrik sarung cap Botol Terbang di Potrobangsan, Kota Magelang. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardi).

SuaraJawaTengah.id - Pabrik sarung tenun cap Botol Terbang diperkirakan berdiri sebelum Presiden Soekarno menyerukan gerakan berdikari. Berdaulat politik dan mandiri ekonomi.

Soekarno meyakini Indonesia bisa mandiri dan tidak bergantung terhadap bangsa lain. Menjalankan roda politik dan ekonomi di atas kaki bangsa sendiri.

Gagasan itu kali pertama disampaikan Soekarno dalam pidato berapi-api berjudul “Tahun Vivere Pericoloso!”.

“Kita tidak cukup hanya berjiwa Nasakom. Kita pun harus berjiwa Pancasila, berjiwa Trisakti Tavip (tahun Vivere Pericoloso), berjiwa berdikari!” Kata Soekarno.

Baca Juga:Korban Ledakan Bahan Petasan di Magelang Tewas Mengenaskan, Kedua Kakinya Lepas dari Badan dan Masih Dicari

Hanya berjarak kurang dari 20 tahun sejak Proklamasi Kemerdekaan, gagasan negara berdikari tampak mustahil. Di usia yang masih sangat muda, Indonesia banyak bergantung produk industri dari negara-negara lain.

Produk benang misalnya masih bergantung pada negara besar penghasil kapas seperti Cina dan India. Hasil olahan tekstil diimpor dari Amerika Serikat dan lagi-lagi Cina.

Kelangkaan bahan baku benang tenun impor -dipicu juga upah buruh yang murah- bahkan pernah memicu mogok nasional pada 8-9 Mei 1955.

Gagasan berdikari produk sandang, dijawab dengan mendirikan rumah-rumah pemintalan benang sutra sekaligus pusat tenun.

Tidak cukup sampai disitu, hutan-hutan milik perusahaan perkebunan nasional diubah menjadi areal budidaya pohon murbei. Daun murbei adalah pakan utama ulat penghasil serat bahan dasar kain sutra.

Baca Juga:Duar!!! Rumah di Magelang Meledak Diduga Akibat Bubuk Mercon, Satu Orang Tewas

Selama periode 1950-1960an, hutan milik negara di Desa Bunder, Gunung Kidul, Yogyakarta, secara masif ditanami pohon murbei.

Warga digerakan untuk membudidayakan ulat sutra yang kemudian disetor ke pusat pemintalan benang di Piyungan, Bantul.  

Sarung Tenun Buatan Tangan

Masyarakat terutama di Jawa dikenalkan dengan alat tenun bukan mesin. Rakyat Indonesia dikerahkan untuk dapat membuat pakaian sendiri yang seluruh bahannya didapat dari bumi sendiri.

“Dulu di pramuka itu ada lagu, ‘ATBM saudara, alat tenun bukan mesin’,” kata Sumadiyo mengenang masa-masa pemerintah Soekarno menggencarkan produksi kain buatan sendiri.

Lelaki berusia 67 tahun itu tidak menyangka kelak akan menghabiskan hampir separo usianya bekerja sebagai mandor di pabrik sarung tenun cap Botol Terbang.  

Pabrik sarung cap Botol Terbang layak disebut sebagai satu-satunya usaha kain tenun yang masih mempertahankan penggunaan alat tenun bukan mesin.

Suara tumbukan kayu dada dan batang pemukul mengalun di pabrik sarung tenun cap Botol Terbang di Jalan Pahlawan, Potrobangsan, Kota Magelang. Beberapa perempuan tekun menghadap mesin tenun.   

Sumadiyo sendiri mengaku bergabung di pabrik ini sejak tahun 1982. Mulanya belajar dari mengamati pekerja lain, Sumadiyo kini dipercaya mengawasi seluruh tahap produksi.

“Saya termasuk pekerja generasi kelima. Saya termasuk orang baru. Dari abahnya dulu yang punya pabrik ini, terus ke anaknya dan cucu-cucu.”

Pengalaman kerja 41 tahun menangani pabrik, Sumadiyo paham betul seluk beluk produksi sarung tenun tradisional Botol Terbang.  

Termasuk mengapa tempat usaha ini mempertahankan penggunaan alat tenun tradisional.

“Ini produksi tergolong alusan (hand made atau barang hasil buatan tangan). Jadi pekerjanya kalau tidak bisa memenuhi sesuai target produksi ya jangan.”

Kegiatan menenun sarung goyor di pabrik sarung cap Botol Terbang di Potrobangsan, Kota Magelang. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardi).
Kegiatan menenun sarung goyor di pabrik sarung cap Botol Terbang di Potrobangsan, Kota Magelang. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardi).

Berkelas dan Terbatas

Kualitas produksi jadi nomor satu di pabrik sarung tenun ini. Alat tenun tradisional dirasa paling pas untuk memenuhi standar kualitas tersebut.   

Akibatnya, jumlah produksi kain tenun cap Botol Terbang tidak bisa dikebut seperti hasil produksi sarung pabrikan.

“Jadi tidak kami targetkan, sesuai semampunya pekerja itu. Kalau alat tenun mesin, mau bikin ratusan sarung ya jadi. Tapi kami 1 hari belum tentu jadi 1 sarung. Bisa 2 sampai 3 hari baru jadi.”

Karena tidak bisa diproduksi masal, harga sarung goyor cap Botol Terbang terbilang mahal. Di situs jual beli Tokopedia, sarung ini dibanderol Rp850 ribu.

Di pasaran lokal, sarung goyor Botol Terbang juga dijual terbatas. Hanya toko Bares dan Trio di kawasan Pecinan, Kota Magelang, serta satu toko lainnya di Muntilan yang menjual sarung ini.

“Kalau untuk (jual) ke luar negeri beda. Stok kita mengirimnya beda. Rata-rata di lokalan Magelang 50 (lembar sarung). Kalau untuk luar negeri bisa 500 lembar sarung sekali kirim,” ujar  Sumadiyo.

Kebutuhan pasar luar negeri terutama melayani penjualan sarung pada musim haji. Ada toko langganan di Arab Saudi yang setiap tahun meminta kiriman sarung tenun Botol Terbang.

“Kita punya toko di sana. Mereka pesan dulu, kalau barang sudah ada baru kita kabari. Nanti transfer (uang) dan dikirim kesana. Kalau minta mendadak kami tidak bisa. Tergantung kemampuan produksi di sini.”

Masih Bergantung Benang Impor

Omong-omong soal kemandirian usaha seperti yang digelorakan Bung Karno di tahun 1960an, praktiknya usaha kain tenun seperti Botol Terbang juga belum bisa 100 persen merdeka.

Hingga hari ini, Botol Terbang masih bergantung suplai benang katun kasar dari Cina, Jepang, dan India. Benang-benang itu dibeli lewat perantara sejumlah pedagang besar di Solo, Pekalongan dan Tegal.

“Benangnya bukan dari Indonesia. Impor dari Jepang, Cina, India. Kita tinggal cari mana yang ada.”

Cerita kesempatan Ramadhan dimana biasanya aneka usaha injak gas mentok produksi, tidak berlaku untuk usaha sarung goyor cap Botol Terbang.   

Selama bulan Ramadhan tahun ini, pabrik Botol Terbang diperkirakan hanya mampu memproduksi 40 lembar sarung goyor.

Jumlah sarung yang dihasilkan bergantung dari kemampuan tenaga para pekerja.   

“Dapat 40 sarung saja cukup sulit ya. Karena kemampuan manusia dengan mesin listrik kan nggak sama. Jadi target produksi itu nggak bisa. Misal ada gangguan benang kan produksi berhenti.”

Berbeda kutub bisnis dengan usaha lainnya, Sumadiyo optimistis sarung goyor cap Botol Terbang tetap akan dicari di pasaran. Kualitas menjadi pembeda produk Botol Terbang dengan sarung merek lainnya.  

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini