SuaraJawaTengah.id - Jika kita kembali mengingat masa penjajahan yang pernah dilakukan tentara Jepang di Indonesia. Pikiran kita akan tertuju pada peristiwa "Romusha" alias kerja paksa. Orang-orang pribumi terutama laki-laki tenaganya diperas tanpa mendapatkan imbalan apapun.
Romusha bukan satu-satunya kejahatan yang dilakukan Tentara Jepang. Mereka juga memaksa perempuan-perempuan pribumi menjadi budak seks atau istilah lainnya disebut Jugun Ianfu.
Mengutip penelitian berjudul Jugun Ianfu: Derita Perempuan dalam Pusaran Perang. Kegiatan pelacuran dalam dunia kemiliteran selalu ada. Tak terkecuali di kemiliteran Tentara Jepang. Para tentara butuh memenuhi hasrat seksual ditengah penatnya berperang.
Umumnya, perempuan penghibur atau pelacur melakukan pekerjaan tersebut secara sukarela dan mereka akan menerima bayaran atas pelayanan yang telah diberikan. Akan tetapi militer Jepang memaksa perempuan melayani hasrat seksual mereka tanpa dibayar dan paksaan.
Dengan begitu, Jugun Ianfu di era penjajahan Jepang bukan pelacur. Mereka adalah korban perang yang sengaja dilacurkan untuk memenuhi hasrat seksual Tentara Jepang.
Adapun Tentara Jepang memiliki empat rumah bordil atau tempat lokalisasi di Kota Semarang. Sekarang tinggal menyisahkan satu bangunan yang masih tegak berdiri yakni Hotel Singapore di kawasan Jalan Imam Bonjol.
Menurut pemerhati sejarah, Mozes Christian Budiono, menuturkan sedari dulu bangunan Hotel Singapore tidak banyak berubah. Tempat tersebut jadi satu-satunya saksi bisu kaum perempuan dipaksa melayani hasrat seksual Tentara Jepang.
"Sejarah yang saya baca pendirian rumah bordil itu awal bulan Februari 1944 oleh seorang perwira Kolonel Okubo untuk mencegah dan mengawasi Tentara Jepang melampiaskan hasrat seksual di sembarang tempat," kata lelaki yang akrab disapa Mozes pada SuaraJawaTengah.id, Jumat (14/7/2023).
"Tujuannya tak lain agar Tentara Jepang terhindar dari penyakit kelamin," lanjutnya.
Bangunan tersebut dulunya bernama Hinomaru. Awal-awal Jepang mendirikan tempat bordil. Ada sekitar 35 orang dari Eropa yang ditempatkan untuk menjadi perempuan penghibur di Kota Semarang.
Selain itu, ada 100 perempuan lainnya dari China, Arab, India, dan pribumi yang turut menjadi pelayan hasrat seksual Tentara Jepang di tempat bordil tersebut.
"Kalau menolak melayani mereka (Jugun Ianfu) dipukul, ditodong pakai samurai. Pokoknya dianiaya," ungkapnya.
Menurut Mozes, setiap harinya perempuan di rumah bordil itu melayani lima anggota Tentara Jepang dalam sehari. Rata-rata usia perempuan di rumah bordil tersebut 16-30 tahun.
"Jugun Ianfu layak diperingati setiap tahun. Kita harus tahu sejarahnya, agar kita tidak menghakimi. Mereka seperti itu bukan atas keinginan sendiri," tegas lelaki berkaca mata tersebut.
Perbudakan seks yang dilakukan Tentara Jepang nggak hanya di Indonesia. Ada beberapa negara lain seperti China, Korea, Singapura, Malaysia, Vietnam, Myanmar, dan negara-negara jajahan Jepang lainnya.
Namun, isu perbudakan seks yang dilakukan Tentara Jepang mulai berhembus keras di dunia Internasional tahun 1991. Kim Hak Soon perempuan asal Korea yang jadi korban perbudakan seks Tentara Jepang jadi pelopor membuka aib yang selama ini ditutupi.
Diduga tertutupnya peristiwa kelam yang menimpa kaum perempuan itu karena mereka malu, merasa terpukul dan terhina untuk mengungkapkan kasus tersebut. Setelah itu, banyak korban-korban lain yang kemudian speak up dengan menulis buku.
"Ada beberapa penyitas yang membuat buku salah satunya Jan Ruff O'Herne warga Belanda yang menulis buku berjudul '50 Years Of Silence Comfort Women Of Indonesia'. Isinya menceritakan pengalaman pahit dia ditarik Kamp Ambarawa dan dipindahkan ke daerah Semarang bawah untuk dijadikan budak seks," beber Mozes.
Pemerintah Jepang akhirnya meminta maaf setelah dinyatakan bersalah di Peradilan Internasional di Den Haag, Belanda pada tanggal 4 Desember 2001. Keputusan pengadilan menyatakan Jepang harus bertanggungjawab atas perbudakan pada 200 ribu perempuan di wilayah Asia.
Sepengetahuan Mozes, pemerintah Jepang memberikan kompensasi kepada penyitas. Namun, ia heran uang kompensasi yang disalurkan Pemerintah Jepang kepada Dinas Sosial tidak diberikan kepada penyitas. Melainkan digunakan untuk membangun panti jompo.
"Menurut saya kompensasi uang itu tetap tidak setimpal. Trauma penyitas dibawa sampai mati. Seharusnya cerita-cerita Jugun Ianfu harus ditulis dan diketahui warga Jepang. Atau nggak dibuat sebuah monumen untuk mengenang mereka," pinta Mozes.
Kontributor: Ikhsan