SuaraJawaTengah.id - Hilang, ditemukan, dan dipindahkan. Sejarah panjang Candi Lumbung, merawat ingatan majunya peradaban kuno di lereng barat Gunung Merapi.
Tahun 2011 Candi Lumbung dievakuasi dari lokasi semula di Dusun Candipos, Kecamatan Dukun ke Dusun Tlatar di Kecamatan Sawangan. Candi Lumbung terpisah dari Candi Asu dan Candi Pendem yang merupakan kesatuan Kompleks Candi Sengi.
Banjir lahar hujan Gunung Merapi tahun 2010, menerjang Kali Apu. Merusak talut beton di kelokan sungai yang menjadi tameng tebing tempat Candi Lumbung berdiri.
Besarnya arus banjir lahar hujan kala itu menyebabkan dasar sungai tergerus sedalam 3 hingga 5 meter. Akibatnya Candi Lumbung terancam longsor karena jarakanya dengan tubir tebing menjadi terlalu dekat, kurang dari 1 meter.
“Dipindah karena dulu memang ada erupsi Merapi dan (banjir) pasir itu naik. Tanah yang di atas labil karena lebih gembur. Perintah dari pusat untuk mengamankan di Dusun Tlatar,” kata juru pelihara Kompleks Candi Sengi, Jumat.
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah memutuskan “menitipkan” Candi Lumbung ke wilayah Kecamatan Sawangan karena seluruh jembatan ke lokasi lain yang masuk wilayah Desa Sengi, putus dilabrak banjir.
Lokasi terdekat yang masih mungkin dijangkau dan aman dari terjangan banjir lahar adalah Dusun Tlatar di Desa Krogowanan. Di lahan bekas sawah dan blumbang (kolam) seukuran 2 kali lapangan voli itu Candi Lumbung dibangun kembali.
Satu persatu bongkah batu Candi Lumbung dibongkar dan disusun kembali di lokasi baru. Berkah dari pemindahan ini, tim Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah menemukan 20 panel batu terkubur bagian dari atap candi.
Semula direncanakan hanya 5 tahun Candi Lumbung mengontrak lahan di Dusun Tlatar. Nyatanya 12 tahun sejak dipindah, Candi Lumbung tidak kunjung dikembalikan ke lokasi awal di Desa Sengi.
Beberapa kali dilakukan kajian pemindahan candi oleh badan purbakala, sejak namanya masih BP3 Jateng, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), hingga sekarang berubah nama Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) wilayah X Jateng dan Yogyakarta.
Kesimpulannya, tidak mungkin lagi mendirikan Candi Lumbung di lokasi semula yang berada di bibir tebing Kali Apu. Jika dipaksakan, struktur candi terancam amblas jatuh ke jurang sedalam 14 meter menunju sungai.
Di ceruk terbuka sekira luas 8x6 meter, dinaungi pohon nangka tua, yang tersisa dari Candi Lumbung tinggal serakan bongkah batuan polos yang menandakan di sini pernah berdiri bangunan candi.
Candi Lumbung ‘Pulang’ ke Desa Sengi
Mengembalikan Candi Lumbung ke Dusun Candipos, Kecamatan Dukun, berarti mengembalikan sejarah tata letak Kompleks Candi Sengi. Ketiga candi dalam kompleks, melambangkan siklus pertanian warga permukiman kuno di lereng Merapi.
Juru Pelihara Kompleks Candi Sengi, Jumat menjelaskan fungsi Candi Pendem, Lumbung, dan Asu yang saling terkait. Besar kemungkinan, titik lokasi ketiga candi juga dipilih berdasarkan fungsi tersebut.
Candi Pendem kata Jumat merupakan candi pertimah atau candi bumi. Masyarakat kuno lereng Merapi punya kebiasaan menggelar ritual khusus di candi pertimah, sebelum mulai menanam padi di sawah.
Setelah masa tanam sambil menunggu panen, masyarakat memasuki masa istirahat atau mengaso. Biasanya pada masa ini mereka akan menggelar ritual di Candi Asu.
Menurut Jumat, penjelasan ini meluruskan salah kaprah penamaan Candi Asu yang seharusnya dieja ‘aso’ karena diambil dari kata mengaso.
“Candi Lumbung fungsinya untuk wiwitan panen. Biasanya warga mengambil sedikit hasil panen lalu disimpan di Candi Lumbung. Tujuannya sebagai rasa sukur kepada Tuhan.”
Siklus tanam padi dari menyiapkan lahan, masa istrirahat, hingga menjelang panen, terwakili oleh fungsi masing-masing candi di Kompleks Sengi. Pengetahuan mengolah lahan ini menunjukkan bahwa peradaban masyarakat kuno di lereng Merapi sudah maju.
"Relief Candi Lumbung maknanya ke ilmu pengetahuan. Ada relief ghana, burung yang melambangkan Kinara-Kinari atau dewa dan dewi di kahayangan. Juga daun sulur yang menggambarkan orang mencari ilmu tidak ada batasnya."
Sisa-sisa Peradaban Maju
Tidak berlebihan menyimpulkan kawasan Desa Sengi pernah ditinggali oleh masyarakat berperadaban maju. Kepala Dusun Candipos, Wawan Herman Sulistyo, bahkan menyebut wilayah ini pernah menjadi pusat kerajaan Kalisingan.
Pendapat Wawan salah satunya didasarkan pada penamaan sungai Tringsing yang mengalir tak jauh dari Candi Lumbung. Diperkirakan letusan Merapi tahun 1080 mengubur kerajaan Kalisingan.
Bukti lain bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman adalah ditemukannya banyak batuan candi. Batu-batu itu biasanya ditemukan secara tidak sengaja saat warga menggali tanah.
"Dulu ada peradaban disini. Itu juga kenapa ada 3 candi. Sebenarnya kalau digali lagi, lebih banyak candi di kawasan ini. Banyak yang tanahnya sudah jadi permukiman penduduk. Sehingga ditempati rumah dan sebagainya."
Perlu diteliti lebih jauh apakah kerajaan Kalisingan yang dimaksud Wawan beririsan sejarah dengan wilayah Salingsingan yang disebut-sebut dalam Prasasti Salingsingan, Sri Manggala II, serta Kurambitan I dan Kurambitan II.
Semua prasasti menyebut tentang dharmma atau pemberian kehormatan kepada tokoh penting di Salingsingan. Kompleks Candi Sengi dibangun oleh penguasa Mataram Kuno, Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala sebagai dharmma kepada Bhatara di Salingsingan.
Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala adalah penguasa ke-8 Kerajaan Mataram Kuno yang berkuasa antara tahun 855 hingga 885 Masehi. Prasasti Salingsingan sendiri berangka tahun 880 Masehi.
Memulangkan Candi Lumbung ke Kompleks Candi Sengi juga berarti mengembalikan ruh candi sebagai pusat spiritualitas. Selama berada di Tlatar, Candi Lumbung dianggap kehilangan aura sakral.
Lokasinya yang sangat dekat dengan permukiman penduduk, membuat warga bisa dengan bebas naik ke badan candi. Halaman candi menjadi tempat anak-anak bermain.
Kepala Dusun Candipos, Wawan Herman Sulistyo ingat betul bagaimana suasana sakral Candi Lumbung kuat terasa saat masih berada di lokasi asli. Wawan kerap diminta mengantar tamu yang hendak mengunjungi candi.
"Candi Lumbung itu lokasinya dekat sungai dan masih banyak pohon-pohon besar. Ketika masuk itu suasananya sejuk, ayem. Bikin merinding lah," jelasnya
Menurut Wawan hingga kini masih banyak orang datang ke lokasi awal Candi Lumbung. Kebanyakan melakukan ritual keagamaan Hindu.
"Kebanyakan dari Bali untuk ritual. Orang yang datang rata-rata malam hari. Ritual apa saya kurang tahu tapi yang jelas ada hubungannya dengan agama Hindu. Untuk ritual lain seperti mencari nomer itu nggak bisa,” ujar Wawan.
Pusat Edukasi Sejarah
Kepala Desa Sengi, Waji berharap proses pemugaran kembali Candi Lumbung di desanya pada Desember 2023 berjalan lancar. Saat ini proses pemindahan pada tahap awal membongkar batu dari struktur candi.
Selain mengembalikan sejarah, pemulangan Candi Lumbung ke Desa Sengi diharapkan menambah nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar.
"Dari dinas purbakala intinya nitip Candi Lumbung untuk ikut dirawat. Setelah nanti dipindah ke Desa Sengi, monggo oleh pemerintah desa dan masyarakat mau dibuat seperti apa. Nggak masalah dari purbakala," kata Waji.
Pemerintah Desa Sengi menyiapkan lahan bengkok seluas 100 meter untuk lokasi baru Candi Lumbung. Jika ditarik garis lurus, jarak lokasi baru dengan titik candi dulu hanya sekitar 200 meter.
Berdekatan dengan Candi Asu, pemerintah Desa Sengi akan menata lahan ini menjadi pusat edukasi sejarah Kompleks Candi Sengi.
"Kami sudah punya aset desa termasuk ketiga candi itu. Nanti setelah dikembalikan ke wilayah Desa Sengi akan ada penataan wisata. Setelah nanti Candi Lumbung mapan lokasinya, kegiatan rutin tahunan akan kami selenggarakan di lapangan sekitar candi."
Kontributor : Angga Haksoro Ardi