Ada 2.422 Desa Mandiri Energi di Jateng, Tapi Biogas Paling Rawan Mangkrak, Ini Penyebabnya

Desa Mandiri Energi menjadi program yang terus didorong oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, tapi biogas jadi sektor yang paling rawan mangkrak

Budi Arista Romadhoni
Rabu, 11 Oktober 2023 | 18:00 WIB
Ada 2.422 Desa Mandiri Energi di Jateng, Tapi Biogas Paling Rawan Mangkrak, Ini Penyebabnya
Warga mengecek instalasi tempat pembuatan biogas dari kotoran sapi di Desa Besito, Gebog, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (12/5/2022). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

SuaraJawaTengah.id - Desa Mandiri Energi menjadi program yang terus didorong oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Hal itu untuk mendorong kemandirian atau kedaulatan energi dengan pendekatan potensi sumber energi lokal desa.

Berdasarkan data terbaru dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah, terdapat 2422 desa yang masuk dalam program Desa Mandiri Energi.

Kapala Dinas ESDM Jateng, Buedyo Dharmawan mengatakan energi adalah kebutuhan yang sangat penting saat ini.

Desa-desa di Provinsi Jawa Tengah pun terus didorong untuk mengembangkan kemandirian energi.

Baca Juga:Anak Muda Kota Semarang Hadiri Fun Touring dan Nonton Konser Musik Bareng Yamaha Fazzio Hybrid - Connected

"Mulai 2021 kita mengidentifikasi energi alternatif di desa-desa. Data terakhir ada 2.422 desa. Yang inisiatif 2239, 158 yang berkembang, mapan 25," katanya saat ditemui Suara.com di Semarang pada Selasa (10/10/2023).

Terdapat beberapa energi yang dikembangkan desa-desa yang ada di Jawa Tengah. Dari energi biogas menggunakan kotoran ternak dan manusia, energi mikrohidro, energi surya, dan terbaru gas rawa atau Biogenic Shallow Gas (BSG).

"Yang energi microhidro air, sampai ada di daerah Banyumas tidak ingin PLN masuk, karena sudah mapan dan nyaman. Kalau Energi surya, mahal. Kebanyakan untuk pengairan di sawah atau untul pompa air," jelasnya.

"Gas rawa atau BSG, itu yag paling baru ada di jawa tengah. Sudah ada di banjarnegara, karanganyar, sragen, grobogan," tambahnya.

Namun demikian menurutnya yang paling banyak dikembangkan di desa-desa adalah Biogas, yang memanfaatkan kotoran hewan ternak dan kotoran santri di Pondok Pesantren.

Baca Juga:PT Piaggio Indonesia Resmikan MotoPlex di Semarang dan Tegal, Lengkap dengan Layanan Premium 3S

"Paling banyak yang kita kembangkan ya biogas ternak. Untuk memasak dan tidak tergantung pada LPG dari pertamina. Bahkan ada yang 2 tahun tidak beli gas," ujarnya.

Anggaran Kemandirian Energi

Buedyo Dharmawan menyebut, anggaran untuk program kemandirian energi tersebut bukan berasal dari Pemprov Jateng saja.

Terdapat dari Dinas ESDM, Dinas Peternakan dan Dinas lingkungan hidup. Selain itu juga dari APBD Kabupaten/Kota dan terakhir adalah program CSR dari swasta.

"Anggaran awal pemprov jateng mendapat porsi besar untuk kemandirian energi, yaitu Rp 10-15 miliar lebih per tahun," ujarnya

"Kita tidak penting anggaran darimana, yang penting masyarakat ini greget dengan kemandirian energi ini. Kalau merka merasa kemanfaatnya, mereka akan mengembangkan sendiri," tambahnya.

Ia menyebut dari program tersebut tentu masyarakat bisa berhemat dan pemerintah juga tidak terbebani dengan subsidi.

"Efisiensi ekonomi misal 100 energi, bisa menghidupi 500 KK, bisa 2000 jiwa memanfaatkan program itu," ucapnya.

Ia pun mengungkapkan saat ini terdapat beberapa proyek realisasi program kemandirian energi.

"Untuk 2023 ini ada Biogas 200 unit, rooof top 19 lokasi ada yang UMKM ada SMK, ada Ponpes, BSG gas rawa 2 lokasi," jelas Kepala Dinas ESDM Jawa Tengah tersebut.

Biogas Rawan Mangkrak

Namun demikian, Program Kemandirian Energi ini juga memiliki kelemahan. Yaitu tak bisa digunakan lagi saat tak ada perawatan maupun pengelolaan yang baik.

"Yang jadi masalah adalah suplai kotoran, karena ekonomi, kadang hewan ternak dijual, dan tidak ada suplai. Itu lah cirikhas orang kampung, ada masa jual ternak," jelasnya.

Namun demikian, ia memastikan ribuan desa yang memanfaatkan energi tersebut benar-benar ada.

"Kalau data yang sekarang 2.422 desa itu pasti ada, sudah memanfaatkan. Kalau unit pasti lebih besar, per orang bisa buat sendiri yang biogas. Kelemahannya ya pasokan kotorannya itu," ucapnya

Menurutnya dinamika biogas tergantung dengan pasokan kotoran dari hewan ternak dan jadwal libur pondok pesantren.

"Ternak kalau dijual, ponpes kalau libur. Gas yang dihasilkan turun, kalau fatal tidak keluar gas lagi. Kalau terlalu lama fase kekosongan tidak terjadi fermentasi, harus memulai baru lagi, atau dipancing sperti masalah di pompa air," ujarnya

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini