SuaraJawaTengah.id - Kalian tau nggak ditengah-tengah gedung bertingkat Kota Semarang. Ada sebuah perkampungan padat penduduk yang tinggal di sebuah gang kecil. Apalagi setiap harinya mereka harus berbagi Water Closet (WC) untuk mandi, cuci, kakus.
Perkampungan yang dimaksud adalah Kampung Bustaman. Lokasinya berada di Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah. Luas kampungnya tidak terlalu luas hanya sekitar 0,6 Ha.
Lokasi Kampung Bustaman juga cukup strategis lantaran dekat dengan pusat pertokoan Kampung Pecinan dan Kota Lama Semarang. Diketahui Kampung Bustaman terbagi jadi 2 RT yakni RT 04 dan 05.
Mayoritas penduduknya yang berjumlah sekitar ratusan jiwa itu berprofesi sebagai pedagang gulai dan kambing maupun wiraswasta di sektor lainnya.
Baca Juga:Sinergi Bersama Forkopimda, Mbak Ita Siap Amankan Arus Mudik di Kota Semarang
Kampung Bustaman juga bisa dikatakan salah satu perkampungan kuno yang sudah ada sejak zaman kolonial. Karena terbatasnya lahan, orang-orang yang tinggal disana mayoritas tak punya WC.
Rata-rata rumah mereka berukuran tidak terlalu luas. Sehingga wajar jika mereka tidak menyediakan space khusus untuk membangun WC tersebut.
Menurut Ketua RW setempat, Ashar jika dirinya menengok ke masa lalu. Kampung Bustaman sempat dijuluki "Pak Kumis" alias padat, kumuh dan miskin.
"Dulu anak-anak buang air kecil dan besar di sembarang tempat. Banyak warga yang terkena penyakit karena lingkungannya nggak bersih," kata Ashar saat ditemui Suara.com, pada hari Sabtu, (4/11/23).
Bangun Biogas
Baca Juga:Jadi Wanita Pertama yang Menjabat Wali Kota Semarang, Ini Profil Hevearita Gunaryanti
Untuk kehidupan yang lebih baik, Ashar beserta warga lainnya lalu berinisiatif merobohkan bangunan peninggalan Belanda untuk mendirikan MCK Plus sekaligus pengolahan tinja manusia menjadi biogas.
Kata Ashar Kampung Bustaman memenuhi syarat untuk membangun Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas). Sebab 60 persen warganya tidak memiliki MCK.
Dibangunnya MCK Plus tersebut untuk mengubah citra buruk yang melekat di Kampung Bustaman. Meski tinggal di gang sempit, Ashar ingin kampungnya bersih dan warganya tidak bersembarangan buang air.
"Jadi untuk mandi, buang air kecil atau besar mayoritas warga Bustaman menggunakan toilet umum. Dulu tarifnya Rp500, sekarang Rp1.000. Biaya-biaya itu untuk perawatan," paparnya.
Sedangkan MCK Plus sekaligus program biogas sendiri sudah berdiri sejak tahun 2005. Dulu warga Bustaman setiap pagi silih berganti memasak di tempat yang tersambung energi biogas tersebut.
"Jadi untuk menghasilkan biogas menggunakan sistem pengolahan anaerobik. Disekitar bangunan itu terdapat bioregister sebagai tempat penampung, septictank sebagai tempat sedimentasi, dan lain-lainnya," kata Ashar.
Namun seiring berkembangnya zaman dan paralihan minyak tanah ke gas LPG. Warga Bustaman sudah lama tidak lagi memasak maupun menggunakan biogas tersebut.
Hanya seorang penjaga toilet yang sesekali masih menggunakan biogas untuk keperluan merebus air dan bikin mie instan.
Diakui Ashar, belakangan ini biogas di Kampung Bustaman sering tidak berfungsi apinya kurang maksimal. Hal itu mungkin ada titik-titik keretakan di biogesternya.
"Tidak mudah merawat biogas selama 18 tahun. Kita harus cerewet pada warga agar tempat pembuangan tinja tidak boleh tercemar cairan sabun," tandasnya.
Kontributor : Ikhsan