Sukarti, Gerobak Angkringan dan Cerita Kehidupan di Kolong Jembatan Kota Semarang

Di salah satu sudut Kota Semarang tepatnya di sepanjang Jalan Barito ada secuil kisah tentang Sukarti, Gerobak Angkringan dan kehidupannya di bawah kolong jembatan

Budi Arista Romadhoni
Kamis, 23 November 2023 | 13:18 WIB
Sukarti, Gerobak Angkringan dan Cerita Kehidupan di Kolong Jembatan Kota Semarang
Penampakkan usaha angkringan sekaligus tempat tinggal Sukarti dibawah kolong jembatan Jalan Soekarno-Hatta Kota Semarang. Rabu (22/11/2023) [Suara.com/Ikhsan]

SuaraJawaTengah.id - Di salah satu sudut Kota Semarang tepatnya di sepanjang Jalan Barito ada secuil kisah tentang Sukarti, Gerobak Angkringan dan kehidupannya di bawah kolong jembatan Jalan Soekarno-Hatta.

Siang itu, Rabu (22/11/2023) saat terik matahari sedang panas-panasnya di Kota Semarang. Sukarti sedang tertidur nyenyak ditengah kebisingan suara kendaraan yang lalu lalang.

Perempuan asal Kudus itu kemudian terbangun dari tidur lelapnya. Setengah sadar, Sukarti mulai beranjak dari kasur lapuknya lalu berpindah tempat menjaga warung angkringannya.

Pada Suara.com, Sukarti bercerita warung angkringannya itu buka 24 jam layaknya warung kelontong Madura. Ia berkelakar angkringannya nggak pernah tutup lantaran Sukarti memulai aktivitas sampai istirahat di bawah kolong jembatan tersebut.

Baca Juga:Bikin Merinding, Ruas Jalan Tol di Kota Semarang Ini Dulunya Bekas Kuburan Kuno

Dalam pengakuannya, Sukarti ternyata sudah menganggap kolong jembatan itu sebagai rumah yang tidak bertembok. Atapnya berupa bangunan beton yang selama ini melindungi keluarganya dari panas maupun hujan.

Di rumah yang serba terbuka dan dapat dilihat oleh siapapun. Sukarti sudah 40 tahun tinggal disana bersama suami, anak, dan dua cucunya. Segala asam garam kehidupan sudah mereka hadapi bersama.

"Keluarga saya itu mampu-mampu, yang tidak mampu cuman saya. Kalau mereka nengokin saya, mereka sering malu, terus nangis karena melihat nasib kakaknya," ucap Sukarti.

Sebelum tinggal di bawah kolong jembatan. Sukarti kecil bersama 10 saudaranya lainnya pernah punya tempat tinggal yang layak di Jalan Tambak Dalam.

Beranjak dewasa, Sukarti pernah bekerja di sebuah pabrik. Pada saat kedua orang tuanya semakin menua lalu meninggal dunia. Sukarti diminta untuk meneruskan usaha angkringan tersebut.

Baca Juga:Tanggul Laut di Tambaklorok Selesai Tahun Ini, Kota Semarang Bebas Banjir Rob?

Rumah satu-satunya peninggalan orang tua Sukarti dijual untuk dibagi waris ke saudara-saudaranya. Waktu itu Sukarti hanya mendapat uang sebesar Rp15 juta.

Setelah itu, Sukarti dan suaminya memulai kehidupan baru tinggal di bawah kolong jembatan hingga beranak pinak. Disana dia melahirkan seorang putra yang kini usianya sudah 26 tahun dan telah mempersunting seorang wanita.

"Saya diejek (miskin) nggak papa, saya disini cari makan. Yang penting saya nggak mencuri," imbuhnya.

Perempuan yang kini berusia 60 tahun menuturkan rumahnya ingin dibongkar dan jualan angkringan disuruh pindah. Tapi dia tidak menuruti, sampai berjalannya waktu pihak kecamatan maupun lurah setempat mengizinkan Sukarti dan keluarganya untum bertempat tinggal disana.

Meski hidup di tempat tidak layak serta  memiliki banyak keterbatasan. Untuk menerangi tempat tinggal pada malam hari, Sukarti menggunakan aki untuk mendapatkan listrik.

Sedangkan untuk kebutuhan air bersih seperti mandi, memasak dan mencuci pakaian. Sukarti biasanya membeli air lalu ditampung ke sebuah drum berukuran besar.

Disinggung soal pendapatan usaha angkringannya. Sukarti mengaku sedikit sedih, sebab setiap harinya hasil penjualan gorengan, kopi dan aneka minuman segar tidak menentu.

"Kadang ramai, kadang nggak, pendapatan juga nggak mesti sehari kadang Rp50 ribu, kadang Rp80 ribu. Kalau hari ini yang beli baru masnya," pungkas Sukarti.

Kontributor : Ikhsan

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak