Merapal Doa di Gua Maria Grabag, Terbuka untuk Semua Agama

Di Gua Maria Grabag, Magelang dirapal dalam beragam bahasa, menerobos sekat agama

Budi Arista Romadhoni
Minggu, 28 April 2024 | 19:36 WIB
Merapal Doa di Gua Maria Grabag, Terbuka untuk Semua Agama
Subiantoro membersihkan altar doa Gua Maria Grabag. (Suara.com/ Angga Haksoro).

SuaraJawaTengah.id - Di Gua Maria Grabag, Magelang, doa menemui takdirnya yang paling universal. Dirapal dalam beragam bahasa, menerobos sekat agama.

Sejarah agama-agama di bumi Nusantara tidak menampilkan wajah yang tunggal. Hindu, Buddha, Katolik, dan Islam berpapasan, membentuk wujud ritual yang saling mempengaruhi.

Kemudian kita mengenal istilah Islam Jawa atau Kristen Jawa sebagai bentuk dari sinkretisme. Uniknya perjumpaan antar keyakinan itu tidak memudarkan keyakinan para penganutnya.

Proses pencarian jati diri Suryomentaraman muda terhadap pengetahuan kawruh jiwa misalnya, membawanya pada laku spiritual yang umum dikenal sebagai ngelmu Jawa.

Baca Juga:Jadwal Imsakiyah Magelang dan Sekitarnya Jumat 15 Maret 2024, Disertai Bacaan Niat Puasa Ramadan

Menggembleng diri dengan bertapa di Gua Langse, Gua Semin, dan Parangtritis, Suryomentaraman kelak menemukan pemahaman ajaran Islam Jawa.

Tradisi ziarah ke tempat sakral atau berdoa melalui perantara para tokoh-tokoh suci, masih menjadi laku yang terpelihara sampa hari ini. Ritual yang dikenal sama baiknya oleh muslim maupun nasrani.

Katolik mengenal ritus ziarah sebagai devosi. Serangkaian pembaktian diri atau menghayati cara hidup kepada Bunda Maria, para santo, atau tokoh-tokoh gereja yang menyerahkan hidup sepenuhnya untuk jalan kristus.

“Tujuannya lebih meningkatkan doa juga. Berdoa bisa di rumah, tapi kan perlu suasana lain. Dengan berdoa keluar (di tempat-tempat sakral) bisa ada dorongan lebih semangat. Lebih khusyuk,” kata Martinus Subiantoro (64 tahun), pengawas Gua Maria Grabag, Magelang.

Tahun 1987 Subiantoro hijrah ke Grabag. Memenuhi panggilan mengajar di Sekolah Menengah Pertama Katolik (SMPK) Pendowo yang berdiri lima tahun sebelumnya.

Baca Juga:Jadwal Imsakiyah Magelang dan Sekitarnya Kamis 14 Maret 2024, Disertai Bacaan Niat Puasa Ramadan

“Jadi satu-satunya sekolah yang bernuansa nasrani (di Kecamatan Grabag). Karena TK, SD itu nggak ada disini. SMP Katolik ya satu-satunya ini.”

Jemaat Katolik Grabag

Cikal bakal pemeluk Katolik di Grabag dirintis dari pembaptisan 10 orang jemaat oleh Romo Theodorus Hardjowasito, di rumah Hadi Sumarto Gowak, tahun 1953. 

Tahun 1957, Romo Alexander Sandiwan Broto Pr melakukan pemberkatan di salah satu rumah milik Doellah, yang kemudian dijadikan tempat ibadat. Di tempat itu digelar perayaan Ekaristi pertama kali di Grabag.

Kegiatan keagamaan yang semula berada dibawah Paroki Temanggung, kemudian beralih ke Paroki St Ignatius Magelang. 

Setelah Stasi Maria Fatima ditetapkan menjadi Paroki mandiri tahun 1971, kegiatan ibadat jemaat Katolik di Grabag diurus oleh para pastor dari Paroki St Maria Fatima Magelang.

Sekitar 10 tahun kemudian, Keuskupan Semarang mengukuhkan kepemilikan aset tanah, dengan membuat akta pendirian Yayasan Pengurus Gereja dan Papa Miskin Room Katolik di wilayah Gereja Santo Yusup Grabag.

Sebagai sarana pendukung kebutuhan pendidikan anak-anak para jemaat, Pater Johanes Vossen Waskita SJ, tahun 1982 mendirikan SMPK Pendowo. Jumlah warga Katolik di wilayah Grabag dan sekitarnya saat itu mencapai 202 orang.  

Pendirian SMPK Pendowo inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gereja Santo Yusup Grabag. Setelah beroperasi selama 24 tahun, sekolah terpaksa tutup tahun 2005 karena kehabisan murid.

“Tutup karena persaingan. Sekolah-sekolah negeri kan gratis. Otomatis itu juga berpengaruh. Bisa juga karena keberhasilan KB (jumlah peserta didik berkurang),” ujar Subiantoro.

Subiantoro mengatakan, pimpinan Paroki St Maria Fatima Magelang saat itu, Romo Gunhard, mendapat harta warisan dari keluarganya di Jerman. Dia menghadiahkan uang untuk membangun gereja di Grabag dan Secang.

 “Jadi di Secang dibangunkan kapel persis sini. Joglo. Setelah pembangunan di sana selesai, dilanjutkan di Grabag. Jadi ada dua kapel kembar. Dari Romo Gunhard SJ.”

Penampakan Bunda Maria

Pembangunan gereja dimulai tahun 1989 dan diresmikan satu tahun kemudian. Pada tahap akhir pembangunan gereja, terjadi peristiwa spiritual yang membentuk kisah Kapel Santo Yusup Grabag.

Pada suatu malam, Sukemi salah seorang tukang batu, tidur di dalam kapel. Antara sadar dan bermimpi, dia merasa melihat pancaran cahaya menyilaukan datang dari pintu kapel.   

“Tiba-tiba pintu terbuka. Tampak sesosok perempuan berselubung cahaya, masuk dan menghampiri Pak Kemi. Tidak mengatakan apa-apa. Hanya melihat dan tersenyum, lalu naik ke altar dan menghilang.”

Sukemi yang kebetulan beragama Islam tidak mengenal siapa sosok perempuan itu. Kepada Slamet, pesuruh sekolah yang tinggal di dekat kapel, dia menceritakan pengalaman anehnya semalam.      

“Pak Slamet lalu menunjukkan gambar Bunda Maria. Pak Kemi bilang iya parasnya persis seperti itu,” ujar Subiantoro mengenang peristiwa 34 tahun silam.

Penampakan Bunda Maria merupakan kejadian istimewa bagi umat Katolik. Selama berabad-abad, kisah penampakan Perawan Maria dianggap sebagai peristiwa spiritual yang penting.

Penampakan Bunda Maria paling fenomenal terjadi di Fatima, Portugal, pada 13 Mei 1917. Maria Suci memperlihatkan diri kepada tiga anak gembala, Francisco, Jacinta, dan Lucia.

Selama Mei hingga Oktober 1917, beberapa kali Bunda Maria menampakkan diri kepada mereka di padang penggembalaan domba.

Pada penampakan kedua dan ketiga, Bunda Maria menyampaikan nubuat yang kelak disampaikan melalui Lucia kepada seluruh dunia.

Nubuat pertama dan kedua Bunda Maria, berkaitan dengan penglihatan neraka dan ancaman Perang Dunia II. Pesan itu diumumkan otoritas Vatikan pada 31 Agustus 1941.

Lucia yang setelah dewasa mengabdikan hidup sebagai suster gereja, menuliskan pesan ketiga Bunda Maria pada 3 Januari 1944. Pesan itu disampaikan kepada Paus Yohanes XXIII tahun 1959, namun dirahasiakan untuk waktu yang lama.

Pesan Bunda Maria yang merupakan penggambaran upaya pembunuhan Paus Yohanes Paulus II pada 13 Mei 1981 itu, akhirnya diberitahukan ke publik pada 26 Juni 2000.

“Setelah mencapai puncak gunung, sambil berlutut di kaki salib besar, dia (Bapa Suci) dibunuh oleh sekelompok tentara yang menembakkan peluru dan anak panah ke arahnya.”

Jauh sebelum itu, penampakan Bunda Maria kepada pasangan suami istri petani di kota Roma pada Abad IV, menjadi dasar Paus Liberius mendirikan Basilika Maria Mayore di bukit Esquilino. 

Hingga saat ini, Basilika Maria Mayore atau Basilika Maria dari Salju, menjadi salah satu dari empat basilika penting yang wajib diziarahi umat Katolik di Roma.

Gua Maria

Tempat penampakan Bunda Maria dianggap sebagai tempat suci. Pada lokasinya, biasanya dibangun tempat ibadah untuk umat berdoa.

Begitu juga di Kapel Santo Yusup Grabag, jemaat berencana membangun Gua Maria sebagai pengingat bahwa Bunda Maria pernah menampakan diri di sini.

“Tapi saat itu umat di Grabag tidak bisa langsung merespon. Tidak bisa langsung membuat Gua Maria. Umat di sini sedikit. Sumber daya kami kurang.”

Kebetulan Yulius Hartono (75 tahun), salah seorang jemaat gereja berasal dari Gamping, Sleman, Yogyakarta. Di sekitar kampungnya banyak terdapat batu-batu putih yang tidak ditemui di Grabag.

“Beliau mengumpulkan batu-batu itu terus dibawa kesini. Dibuatlah Gua Maria itu. Dari dulu kami sudah berpikiran bahwa Gua Maria ini untuk masyarakat luas. Pokoknya umat disini sekadar bikin.”  

Gua Maria yang selesai dibangun tahun 2002 sangat sederhana. Berada di area terbuka seluas 18 meter persegi, di belakang bangunan kapel.

Baru sekitar tahun 2016, area berdoa Gua Maria diperluas. Ruangan pasturan di sisi kanan kapel dipugar menjadi altar doa.

Posisi patung Bunda Maria dinaikan agar sejajar dengan tinggi altar. Pembangunan menggunakan dana donasi dari para peziarah yang datang.

Doa Permohonan

Pengurus Kapel Santo Yusup Grabag sangat terbuka menerima para peziarah. Tidak hanya untuk umat Katolik, Gua Maria sering didatangi umat agama lain untuk berdoa.

“Kami rasakan sampai saat ini, orang yang datang kesini itu nyaman. Betah. Itu kesaksian para peziarah. Jadi kalau datang kesini nggak ingin buru-buru pulang.”

Subiantoro mengumpulkan sejumlah pengalaman spiritual yang diceritakan para peziarah. Dari menyaksikan penampakan Bunda Maria, hingga terkabulnya doa yang dipanjatkan.

“Awal-awal dulu kalau kami berdoa seolah-olah itu banyak sekali yang datang kesini. Ikut berdoa. Kami merasakan itu. Pas kami berdoa seperti ada suara mobil yang masuk. Tapi setelah kami tengok nggak ada.”

Baru-baru Gua Maria selesai dibangun, hampir tiap malam jemaat Kapel Santo Yusup berdoa bersama. Biasanya doa dimulai setelah lewat pukul 12 malam. 

Lampu-lampu kapel dimatikan. Penerngan hanya menggunakan cahaya lilin. Dalam kondisi gelap, berdoa biasanya lebih tenang dan khusyuk.

Karena jemaat sedikit, Subiantoro hafal suara siapa-siapa saja yang hadir. Anehnya dia sering mendengar suara asing yang ikut berdoa.    

“Tapi kok suka ada suara lain yang ikut berdoa. Misal tidak ada anak-anak, tapi ada suara anak. Itu kan berarti banyak sekali sosok arwah yang datang kesini.”

Melalui bimbingan salah seorang peziarah asal Bedono, Kabupaten Semarang, jemaat kapel dianjurkan menggelar doa arwah. Mereka merapal 1.000 doa Salam Maria atau sebanyak 20 kali putaran Rosario.

“Setelah kami doakan para arwah itu, banyak sekali yang istilahnya mendapatkan pengampunan. Seolah (arwah) yang datang kesini itu sudah berubah. Dulu itu suasananya beda. Tidak sembarangan orang berani (berdoa) disini,” kata Subiantoro.

Suasana sunyi di Gua Maria menghadirkan perasaan tentram. Hiruk pikuk kendaraan yang melintas Jalan Grabag-Cokro, hanya sayup terdengar hingga altar doa.

Meski atap altar di dekat Gua Maria menggunakan bahan galvalum, cuaca Grabag yang panas siang itu tidak begitu terasa.

Lintas Agama

Cerita Gua Maria sebagai tempat yang mustajab untuk memanjatkan doa, umumnya tersebar dari mulut ke mulut. Mereka yang datang untuk berdoa, salah satunya perempuan muslim asal Ciamis yang sekarang tinggal di Ungaran.

Kepada Subiantoro, perempuan itu bercerita setiap menikah 7 tahun dicerai suami. Sudah 3 kali menikah, semuanya kandas.  

“Dia cerita ‘saya nyaman pak berdoa di sini’. Pertama kali datang, mau ke kamar mandi. Di situ dia jatuh tapi kok tidak sampai ke lantai. Ada tangan besar yang menopang.”

Pertanda dikabulkannya doa bisa macam-macam. Bisa berupa penampakan cahaya di sekitar Gua Maria, atau kehadiran sosok tua yang entah darimana tiba-tiba datang menyalakan lilin di altar.  

“Pernah ada pengusaha barang antik dari Secang. Tokonya ‘diganggu’. Kesini terus didoakan, usahanya lancar lagi. Itu kan ada orang-orang yang sirik kalau usahanya berhasil.”

Yulius Hartono (75 tahun) salah seorang pengurus Kapel Santo Yusup merasakan, semua hajat yang berkaitan dengan pelayanan umat seperti dimudahkan.

Dia merasakan betul bagaimana keinginan jemaat untuk meluaskan areal Gua Maria, tidak mendapatkan halangan yang berat.

“Setelah kita berdoa, seperti ada yang mengarahkan. Kita punya angan-angan ternyata terjadi. Soal kekurangan dana, ternyata ada orang ngasih dana. Segalanya dimudahkan.”       

Bulan Mei dan Oktober biasanya Gua Maria Grabag banyak dikunjungi peziarah. Bagi umat Katolik, bulan Mei bertepatan dengan bulan Maria, dan Oktober bulan Rosario. 

Pengurus Kapel Santo Yusup terbuka bagi siapapun yang bermaksud berdoa di Gua Maria selama tujuannya baik. 

“Yang punya memang Yayasan Katolik, tapi untuk tempat berdoa kan umum. Siapa saja boleh berdoa. Masak mau berdoa dilarang? Ada orang muslim mau doa disini, mungkin karena keyakinan.”

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini