"Ada lagi ini 'statemen, red.) bahwa 'study tour' bukan kewajiban. Ingat, bahwa 'study tour' itu termasuk kokurikuler. Jadi, ada kurikuler, ekstra kurikuler, dan kokurikuler, yakni kegiatan yang mendukung kurikulum," katanya.
Selain belajar, kata dia, anak-anak juga membutuhkan "refreshing" atau istilah sekarang "healing" yang bisa didapatkan lewat "study tour", sembari belajar dan menambah khasanah atau wawasan baru.
"Mungkin ada lo yang seumur hidup enggak pernah piknik dan ke tempat itu ya saat 'study tour'. Saya saat itu ke Bali ya 'study tour' waktu SMA, ke Jakarta ya waktu SMP," katanya.
Mengenai siswa kurang mampu yang merasa keberatan dengan "study tour", Anang melihat persoalannya berbeda, sebab biasanya dilakukan subsidi silang dari anak-anak dari keluarga yang mampu.
Baca Juga:Repotnya Jadi Pejalan Kaki di Kota Semarang, Tak Punya Kendaraan Pribadi Susah Sampai Tujuan
"Pengalaman saya, anak saya. Misalnya ada temannya tidak mampu. Teman-temannya iurang kok 'ngangkat' mereka untuk berangkat," katanya.
Kemudian, kata dia, "study tour" juga tidak bersifat wajib sehingga jika ada yang memang tidak bisa ikut bisa diberikan tugas setara dengan kegiatan tersebut.
"Misalnya, 'study tour' menngunjungi Candi Borobudur. Yang enggak ikut (ditugasi) membuat resume tentang Candi Borobudur sehingga mereka juga bisa sama-sama belajar tentang Borobudur, misalnya bisa 'searching' lewat Google atau di laman-laman yang ada," katanya.