Ayah Perkosa Anak Kembali Terjadi, Mengapa Siklus Kejahatan Seksual di Rumah Sulit Terputus?

Kasus dugaan ayah memperkosa anak kandung terbaru, terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah

Budi Arista Romadhoni
Kamis, 18 Juli 2024 | 08:21 WIB
Ayah Perkosa Anak Kembali Terjadi, Mengapa Siklus Kejahatan Seksual di Rumah Sulit Terputus?
ilustrasi kekerasan seksual. [ema rohimah / suarajogja.id]

SuaraJawaTengah.id - Kasus pelecehan seksual rupanya masih mengintai di Indonesia. Di Jawa Tengah pemerkosaan anak kandung Kembali terjadi

Kasus dugaan ayah memperkosa anak kandung terbaru, terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Hal itu tentu harus menjadi keprihatinan banyak pihak. Anak yang dijaga ayah kandung pun belum tentu aman.

Menyadur dari BBC Indonesia, Kepolisian setempat telah menangkap tersangka berinisial K, 49 tahun, yang bekerja sebagai pedagang telur.

Baca Juga:Ada 4 Raperda Baru DPRD Jateng, Pemprov: Kami Siap Bekerja Sama

Polisi mengatakan tersangka terancam hukuman 15 tahun penjara sesuai Undang Undang Perlindungan anak.

Namun, seorang pegiat perlindungan anak dan perempuan mengatakan hukuman pidana saja tidak cukup memberi efek jera.

Apalagi, peristiwa kekerasan seksual dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri di mana perlu ada "alasan pemberat“.

"Korban ini sekarang di posisi yang aman,“ kata Anggia Widiari Sub Koordinator Pemberdayaan Perempuan di Bidang Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak DINSOSP3AKB Kabupaten Pati.

Posisi yang aman dimaksud Anggia adalah korban saat ini mendapatkan “pendampingan secara intensif”.

Baca Juga:Dari Eksekusi Mati hingga Bansos, Jaksa Eko Suwarni Siap Berebut Kursi Gubernur Jateng

“Kita melaksanakan pendampingan kepada korban dan juga ibu korban dan juga keluarga."

"Setelah menerima laporan kita melakukan penjangkauan, memberikan informasi tentang hak-hak korban itu bagaimana. Terus kita juga memberikan pelayanan penguatan psikologis korban, psiko-sosial korban dan juga rehabilitasi sosial korban,” kata Anggia.

Rehabilitasi ini akan berlangsung sampai waktu yang tidak ditentukan, kata Anggia.

"Tidak memandang waktu, seberapa nanti korban memerlukan [pendampingan] dari kami, dan kita harus me-review sekian waktu. Nanti kita lihat perkembangannya sampai benar-benar korban itu pulih sisi dari psikologisnya,“ ujar Anggia dikutip dari BBC News Indonesia.

Ia juga mengeklaim pendampingan terhadap korban juga dilakukan unit teknis perlindungan anak tingkat Provinsi Jawa Tengah, termasuk dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA).

“Terus dari rumah sakit, semuanya ini bergerak,“ kata Anggia.

Kronologi dari Polisi

"Korban disetubuhi tersangka berkali-kali di hotel dan di rumah dari Maret 2023 (saat korban berusia 17 tahun) sampai dengan Juni 2024. Sampai [akhirnya] korban bercerita ke salah satu pamannya, dan paman korban kemudian melaporkan kejadian tersebut,“ kata Kasat Reskrim Polresta Pati, Kompol M. Alfan Armin, dalam keterangan tertulis.

Alfan mengatakan, korban sempat diancam dibunuh, dan tersangka juga mengancam akan bercerai dengan ibunya jika korban buka suara.

"Korban juga dibawa oleh tersangka untuk suntik KB sebanyak enam kali setiap tiga bulan,“ kata Alfan.

Dalam keterangan lainnya, kepolisian mengeklaim tersangka mengelabui petugas kesehatan saat menyuntikkan KB.

Saat ini tersangka masih berada di dalam rumah tahanan Mapolresta Pati.

"Tersangka disangka dengan Pasal 81 ayat 1 dan ayat 3 UU No. 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun - penyidik menambahkan ayat 3 sehingga hukuman ditambah sepertiga karena dilakukan oleh orang tua,“ tambah Alfan.

Sejauh ini kepolisian mengatakan telah menyita sejumlah barang bukti: pakaian, ponsel dan dokumen-dokumen terkait KB.

Alfan juga mengeklaim, tersangka sudah menyadari kesalahan dan mengakui perbuatan.

"Tersangka saat ini sudah siap atas konsekuensi perbuatannya tersebut,” katanya.

Mengapa kasus ayah perkosa anak kandung berulang?

Kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di lingkaran keluarga beberapa kali terjadi.

kasus serupa yang terjadi di lokasi lain:

1. Jakarta 2013

Bocah 11 tahun meninggal dengan tanda-tanda kekerasan seksual di tubuhnya. Polisi kemudian menetapkan ayahnya sebagai tersangka karena dugaan melakukan perkosaan terhadap anak kandungnya sendiri.

2. Sumatra Utara 2018

Seorang anak berusia 15 tahun diduga diperkosa ayah kandung dan pamannya hingga hamil. Korban disebut polisi telah mengalami kekerasan seksual sejak akhir 2015 atau saat berusia 12 tahun.

3. Jambi 2018

Seorang anak berusia 15 tahun sempat dihukum penjara enam bulan karena melakukan aborsi karena kekerasan seksual yang dilakukan abang kandungnya sendiri.

Di tingkat Pengadilan Tinggi Jambi, korban dibebaskan karena "aborsi dilakukan dalam keadaan yang sangat memaksa". Aborsi dilarang di Indonesia, kecuali jika kandungan mengancam nyawa ibu atau bayi didapat dari tindak perkosaan.

Pelaku divonis dua tahun penjara.

4. Sulawesi Selatan 2019

Kasus kekerasan seksual terhadap tiga anak yang diduga dilakukan oleh ayah kandungnya di Luwu Timur ini sempat menyita perhatian publik. Musababnya, kepolisian sempat menghentikan penyelidikan.

Kasus ini memicu atensi publik sehingga memunculkan tagar #PercumaLaporPolisi.

5. Jawa Tengah 2020

Seorang balita diduga diperkosa ayah kandung. Si ayah dilaporkan ibu korban setelah mengetahui adanya tanda kekerasan seksual. Si ibu menuntut keadilan.

"Saya ingin anak saya melupakan bapaknya," kata ibu korban.

6. Aceh 2021

Pria berinisial MA di Aceh diduga memperkosa anak kandungnya sendiri yang masih berusia di bawah 10 tahun. Kasus ini juga diduga melibatkan paman korban yaitu DP.

Peristiwa terjadi pada 2020. Setahun kemudian, proses pengadilan bergulir di mana Mahkamah Syariah di Aceh memvonis bebas MA yang memicu kemarahan publik. Namun di tingkat kasasi, Mahkamah Agung membatalkan keputusan itu, MA tetap dihukum 16 tahun dan delapan bulan penjara.

7. Jawa Barat 2022

Hakim Pengadilan Negeri (PN) Depok menjatuhkan vonis 20 tahun penjara terhadap pria berinisial A. Ia dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan kekerasan seksual terhadap anak kandungnya yang berusia 11 tahun.

Vonis ini lebih tinggi dari tuntutan jaksa yaitu 18 tahun penjara. 

Masih dari Depok, pada 2020 lalu seorang ayah juga diduga memperkosa anak kandungnya sendiri hingga hamil.

8. Sumatra Barat 2023

Seorang anak sejak duduk di TK hingga kelas empat SD dicabuli ayah kandungnya. Peristiwa ini sempat viral di media sosial, karena terdakwa diputus bebas oleh PN Lubuk Basung.

Sang ibu terus memperjuangkan keadilan bagi anaknya. Pada awal 2024, Mahkamah Agung melalui putusan kasasi membatalkan putusan PN Lubuk Basung, dan memvonis terdakwa delapan tahun penjara.

9. Aceh 2024

Seorang pria ditangkap diduga memperkosa anak kandungnya yang berusia 16 tahun hingga hamil dan melahirkan. Menurut polisi kejadian kekerasan seksual pertengahan 2017. Tersangka kini diancam hukuman 200 bulan penjara.

Berdasarkan laporan waktu nyata Kementerian PPPA, sepanjang 2024 terdapat 12.552 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Indonesia. Kekerasan seksual menjadi yang paling dominan dilaporkan yaitu sebanyak 5.817 kasus.

Kementerian ini mencatat, rumah tangga menjadi jumlah kasus tertinggi termasuk jumlah korbannya. Korban berdasarkan usianya - baik kekerasan umum dan kekerasan seksual - berada pada rentang 0 – 17 tahun.

“Kekerasan seksual itu fenomena gunung es… sebenarnya banyak sekali kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di mana orang tua atau bapaknya sendiri, atau keluarga terdekat korban menjadi pelaku,” kata Siti Mazumah, Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan Bagi Perempuan Korban Kekerasan di Indonesia.

Zumah – sapaan Siti Mazumah – mengklaim telah menangani sejumlah kasus kekerasan terhadap anak yang menjadi korban pemerkosaan ayah kandung sendiri. Menurutnya ada sejumlah tantangan yang dihadapi ketika menangani perkara ini:

Relasi kuasa yang timpang korban dan pelaku yang disertai ancaman

Seorang ayah biasanya dianggap sebagai tulang punggung keluarga alias pencari nafkah. Dengan demikian, secara ekonomi korban masih bergantung. Jika hal ini diketahui oleh ibu, maka biasanya ibu juga “tak berdaya” untuk melapor ke pihak berwenang, kata Zumah.

Minim sistem pendukung

Korban mengalami penderitaan dua kali saat lingkungan keluarganya justru membela pelaku. Lingkungan keluarga justru mendorong korban untuk "tidak memberitahu siapa-siapa“. Hal ini yang Zumah temui dalam sejumlah kasus yaitu "menyalahkan korban“.

"Ya kamu, kalau ada bapak itu ya pakai celana atau pakai baju yang sopan, atau kalau tidur, ya begitulah, dan alasan-alasan lain,“ katanya.

Ancaman

Ancaman dari orang yang memiliki kuasa lebih besar akan membuat korban semakin takut membuka suara. "Jadi edukasi kepada anak itu juga penting,” kata Zumah.

“Jadi kalau ada kasus kekerasan seksual, atau ada orang, bahkan termasuk bapakmu atau orang lain, yang melakukan paksaan hubungan seksual, atau menyentuh badanmu yang tanpa izinmu, tolong kasih tahu ke anak. Edukasi-edukasi ini sangat penting,“ tambahnya.

Doktrin orang tua

"Kamu mau jadi anak durhaka yang melaporkan bapakmu ke polisi,” kata Zumah. Itu juga hal yang pernah ia dengar saat menangani kasus semacam ini.

"Didoktrin dari kecil untuk menghormati orang tua, untuk patuh. Jadi ketika dia melakukan hal yang tidak benar, kita juga tidak enak untuk melawan atau memberitahukan pada orang, walaupun itu sudah sangat fatal sekali,” kata Zumah.

‘Maksimalkan hukuman bagi pelaku’
Dalam sejumlah kasus kekerasan seksual yang dilakukan ayah terhadap anak kandungnya berakhir dihentikan aparat penegak hukum, atau divonis bebas.

Ada pula yang memperoleh vonis ringan di bawah tuntutan jaksa, meskipun dalam kasus lainnya hakim memvonis pelaku di atas tuntutan jaksa seperti yang terjadi di Depok, Jawa Barat.

"Memaksimalkan hukuman pada pelaku ini penting," kata Zumah.

Ia menyoroti kasus terbaru di Pati, Jawa Tengah yang semestinya menjerat pelaku dengan pasal berlapis yaitu Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

"Kita harapkan para penegak hukum menggunakan UU TPKS juga sebagai Undang-Undang Lex Specialis. Karena ancaman pidana yang panjang, kemudian tidak dibarengi dengan pemulihan hak korban atau dengan pidana tambahan yang lain, menurut saya itu hanya akan menimbulkan kasus-kasus berulang lagi," jelas Zumah.

Melalui UU TPKS, kasus perkara kekerasan seksual di dalam rumah tangga bukan hanya berkutat pemidanaan, tapi juga hak-hak dan kebutuhan korban, termasuk hukuman tambahan lainnya bagi pelaku, kata Zumah.

Pertama, pelaku berkewajiban tetap menanggung hak pendidikan korban, termasuk jaminan kesehatan dan jaminan sosial (Pasal 71 ayat 2). Kedua, penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku TPKS sebagai jaminan restitusi dengan izin pengadilan negeri setempat (Pasal 31 ayat 3).

Ketiga, hakim bisa mencabut hak asuh anak (Pasal 16 ayat 2), dan juga negara wajib untuk melakukan rehabilitasi terhadap pelaku (Pasal 17 ayat 1).

“Nanti ada pertanggungjawaban pelaku ke korban. Jadi hukumannya bisa sangat variatif sesuai dengan apa yang dibutuhkan korban pada saat ini. Atau nanti pasca bebas,” jelas Zumah.

Ia memandang UU TPKS ini penting untuk diterapkan dalam kasus yang baru-baru ini terjadi di Pati.

"Kalau misalkan nanti dalam putusan pengadilan ternyata tidak 15 tahun, ini menjadi satu ancaman tersendiri. Misalkan pelakunya bisa cepat bebas. Kalau negara tidak intervensi dalam hal yang lain, bisa jadi dia akan membalas dan melakukan upaya lagi kepada korban,” lanjut Zumah.

Di sisi lain, Kasat Reskrim Polresta Pati, Kompol M. Alfan Armin, saat dikonfirmasi mengatakan, "Penyidikan masih berjalan, tidak menutup kemungkinan adanya penambahan pasal terhadap tersangka."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini