SuaraJawaTengah.id - Rahasia yang selama ini disimpan Bunga dengan rapat akhirnya terbongkar. Dia marah, kecewa, dan putus asa.
Dua tahun lamannya Bunga -bukan nama sebenarnya- diam menelan penderitaan menjadi korban kekerasan seksual.
Lukanya semakin nyeri karena AL tersangka pelaku kekerasan adalah pengasuh pondok pesantren tempat Bunga menuntut ilmu. Panutan yang selama ini ia hormati sama seperti orang tua sendiri.
“Katanya kalau dia (korban) tidak mau itu dosa. Dari awal mondok di situ katanya sudah ada doktrin, apapun sama guru kudu manut,” kata seorang sumber yang mengetahui kasus ini.
Baca Juga:Cara Warga Penghayat Kepercayaan Maknai Pancasila, Tapa Mutih di Kompleks Candi Sengi
Pondok pesantren tempat Bunga belajar di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang ini bukan pondok yang besar. Hanya ada sekitar 20-an santri yang sebagian tinggal serumah dengan keluarga pengasuh pondok.
Menginjak usia 26 tahun, Bunga termasuk santri senior. Santri putri lainnya berusia antara 19 hingga 23 tahun.
Sumber yang kami temui menjelaskan, bahwa belajar di pondok pesantren ini tidak dipungut biaya. Para santri perempuan ditampung di petak kamar di lantai atas rumah AL.
“Satu rumah. Rumahnya kan satu. Gurunya tinggal di lantai bawah. Santri perempuan di lantai atas semua. Nanti (jika ada keperluan) dipanggil dari bawah. Teman-temannya pada dengar.”
Metode belajar di pondok pesantren ini juga terbilang longgar. Santri hanya wajib mengikuti dua sesi belajar: pagi dan malam.
Baca Juga:Kasus Penganiayaan: Geng Anak TOC Magelang Keroyok Remaja dengan 12 Tusukan, 6 Pelaku Ditahan
Jadwal mengaji pagi dimulai sebelum para santri berangkat kuliah di salah satu perguruan tinggi Islam yang lokasinya tak jauh dari situ. Mengaji malam, biasanya digelar setelah para santri pulang kuliah.
Setelah semua santri berangkat kuliah, suasana rumah biasanya sepi. Tinggal hanya sedikit santri putri yang kebetulan terjadwal kuliah siang atau sore.
“Jadi rumah itu memang sepi kalau pagi. Cuma tersangka saja. Istrinya kan kerja. Kejadiannya kebanyakan ada yang pagi, malam habis tadarus. Ada juga yang saat mau Jumatan.”
Modus Mengincar Korban
Berdasarkan keterangan para korban yang diceritakan kembali oleh sumber kami, tersangka AL biasanya sudah mengincar siapa targetnya. Santri ini akan ditempatkan mengaji paling akhir saat santri lain sudah berangkat kuliah.
“Biasanya anak yang mau diperlakukan kayak begitu, ngajinya dikasih belakangan sendiri. Teman-temannya kan sudah pada bubar. Setelah ngaji (tersangka) bilang, ‘nanti kamu turun ya’.”
Mula-mula tersangka AL meminta santri korban membuatkan kopi atau memijat. Lama kelamaan tindakannya semakin mencurigakan dengan menutup gorden ruangan, duduk mendekat, kemudian memeluk, hingga mencium kening korban.
“Semuanya (modusnya) sama disuruh mijit. Tapi lama-lama kan (korban) pakai jilbab, tangan (tersangka) masuk. Kalau dia (tersangka) tidak punya niatan jelek, kan tempatnya tidak usah ditutup. Ada gorden ditutup. Duduknya (tadinya) agak jauh terus mendekat. Terus dikekep terus dicium keningnya.”
Dalam laporan Bunga kepada polisi, dia mengaku diperkosa. “Sampai intercourse (pemerkosaan dengan persetubuhan). Kejadiannya di pondok itu,” kata sumber.
Menurut pengakuan Bunga, pemerkosaan terakhir terjadi saat bulan Ramadhan tahun ini. Tapi kejadian serupa sudah berlangsung sejak tahun 2023. “Setahu saya 3 kali (pemerkosaan) dari keterangan korban. Tapi kayaknya bisa lebih.”
Mengabdi Dibalas Khianat
Selain Bunga, sejauh ini ada 3 korban lainnya yang juga disertakan dalam laporan polisi. Korban kedua, sebut saja Melati, dara berusia 19 tahun.
Menurut sumber kami, Melati mondok dan tinggal di rumah tersangka AL paling lama. Keluarga Melati bahkan pernah mengabdi kepada AL.
Kebiasaan ngabdi kepada pengasuh pondok dan keluarganya, umum dijumpai pada tradisi pesantren tradisional. Mengabdi sebagai bentuk rasa cinta, hormat, dan patuh pada guru.
Rasa cinta itu diwujudkan dengan cara ikut membantu mengurus keperluan pondok tanpa bayaran. Sebagai gantinya, pondok biasanya akan menanggung kebutuhan hidup mereka atau mengizinkan anak serta kerabat untuk mondok secara cuma-cuma.
Tradisi ini memiliki nilai ketulusan cinta dan totalitas pengabdian kepada guru sebagai penyambung sanad ilmu. Sayang dalam beberapa kasus justru diselewengkan.
“Jadi kiainya itu mendoktrin kalau nggak mau (diajak berhubungan), ilmunya nggak masuk. Korban satunya (Melati) itu pelecehan seksual. Intercourse tapi pakai jari. Kejadiannya sudah sejak tahun 2022.”
Tanggal 7 Juni 2024, Bunga dan Melati sepakat melaporkan AL ke Polresta Magelang. Setelah sempat menjalani proses penyusunan berita acara pemeriksaan, muncul 2 korban lainnya yang juga dimintai keterangan sebagai saksi korban.
“Korban pertama (Bunga) sebagai pelapor itu sampai terjadi (pemerkosaan) persetubuhan. Yang kedua (Melati) itu pakai jari. Kalau yang korban ketiga dan keempat itu dicium kening sama disuruh mijit.”
Ancaman 12 Tahun Penjara
Setelah melaksanakan 3 kali gelar perkara dan memeriksa 15 saksi, pada 29 Juli 2024, Polresta Magelang menetapkan AL sebagai tersangka kasus tindak pidana kekerasan seksual.
Tersangka AL dikenakan Pasal 6C jo Pasal 15 ayat 1 huruf b,c, dan e UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dengan ancaman hukuman paling lama 12 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp300 juta.
Menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Magelang, Kompol Rifeld Constantien Baba, proses pemeriksaan tersangka AL tanggal 1 Agustus 2024, dilanjutkan dengan penangkapan dan penahanan.
“Kami mendasari hasil penyidikan hari ini kami melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka AL. Kami lakukan upaya hukum berupa penangkapan dan penahanan terhadap tersangka AL.”
Penahanan dilakukan setelah AL menjalani pemeriksaan sekitar 3,5 jam. “Kurang lebih ada 30 pertanyaan. Dijawab, kooperatif, dan total pemeriksaan sudah berjalan 16 (kali) pemeriksaan di dalam proses penyidikan.”
Penahanan tersangka AL baru awal perjuangan Bunga mencari keadilan. Dia yang semula diam, memilih keluar menempuh jalur hukum.
Bukan hanya sekadar mencari keadilan, tapi didorong rasa geram bahwa korban kekerasan seksual di pondoknya belajar, bukan hanya dirinya seorang.
Berharap menyeret tersangka ke meja hijau bisa menghentikan kasus serupa kembali terjadi di majelis mulia para penuntut ilmu.
Foto: Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Magelang, Kompol Rifeld Constantien Baba saat memberikan keterangan penahanan tersangka AL. (Suara.com/Angga Haksoro Ardhi).
Kontributor : Angga Haksoro Ardi