SuaraJawaTengah.id - Suara gesekan gerinda bersahutan di bengkel pandai besi Sumardi di Desa Rejosari, Pakis, Magelang. Mengejar pesanan belati para jagal hewan kurban.
“Di bulan-bulan ini ya mungkin pesanan ada sekitar lima puluh (belati) ke atas. Kalau pisau yang kecil-kecil itu sudah tidak terhitung,” kata Sumardi.
Kakek berusia 65 tahun ini mewarisi keahlian menempa besi dari ayahnya. Sumardi termasuk salah satu sesepuh pandai besi pembuat pisau di Desa Rejosari.
Sejak puluhan tahun lalu, Desa Rejosari dikenal sebagai pusat pembuatan pisau dan aneka peralatan pertanian berbahan besi dan baja.
Baca Juga:Golongan yang Mampu dan Tidak Mampu Berkurban Saat Hari Raya Idul Adha
Kebanyakan orang mengenal para penempa logam di daerah ini sebagai pembuat pisau Balak. Penamaannya merujuk pada bukit Balak yang berjarak 2 kilometer dari pusat Desa Rejosari.
Di puncak bukit Balak, konon Syekh Subakir –salah seorang tokoh penyebar Islam di tanah Jawa- mengubur benda pusaka. Benda kramat bergelar Kalimasada yang dijadikan jimat penjaga keselamatan di wilayah ini.
Tapi sejarah para pandai besi Balak, justru tidak terkait langsung dengan cerita bukit Balak. Sumardi menyebut nama Begawan Mijil Ulupi yang kemungkinan besar tokoh pemula pandai besi di Rejosari.
“Kalau sejarah pandai besi di Rejosari, katanya dari tokoh bernama Ki Mijil Ulupi. Tapi saya sendiri masih menelusuri kepastian cerita itu,” kata Sumardi.
Begawan Mijil Ulupi diyakini sebagai pepunden Dusun Sanggarah. Kawasan yang dipercaya sebagai tempat cikal bakal perkembangan masyarakat Desa Rejosari dan sekitarnya.
Baca Juga:Bolehkah Berkurban Sebelum Aqiqah? Ini Penjelasannya
Bukti bahwa Dusun Sanggrahan kemungkinan sudah ada lebih dulu dibanding dusun lainnya, adalah terdapatnya pasar yang menjadi pusat jual beli sapi, kayu, dan aneka peralatan pertanian berbahan besi.
Pasar tradisional ini hanya ramai pada hari pasaran Wage. Tidak hanya pedagang dari sekitaran Magelang, penjual ternak dari Salatiga, Semarang, dan Yogyakarta juga datang ke pasar ini.
Begawan Mijil Ulupi Babat yang konon melakukan babat alas Desa Rejosari. Dia beserta istrinya kemudian menetap di puncak bukit, di tengah Desa Rejosari yang sekarang dikenal sebagai bukit Mijil.
Seiring berjalannya waktu, bukit Mijil sering disinggahi para prajurit Pangeran Diponegoro yang bergerilya di sekitaran Purworejo, Temanggung, dan Magelang.
Tempat ini juga menjadi lokasi persembunyian para pengungsi yang lari menghindari perang. Tidak hanya singgah, banyak diantara pengungsi yang kemudian menetap di kaki bukit.
Diantara para pemukim awal di kaki bukit Mijil adalah Kiyai Sang dan istrinya, Nyai Sang. Dari asal kata tempat “persinggahan” dan kehadiran Kiyai Sang di bukit Mijil, kemudian lahir nama Dusun Sanggrahan.
Belum ada keterangan pasti apakah keahlian warga mengolah besi menjadi aneka peralatan pertanian dan senjata tajam, diturunkan oleh Begawan Mijil Ulupi.
SuaraJawaTengah.id sempat menelusuri lokasi makam Begawan Mijil Ulupi yang -kabarnya- berada di puncak bukit Mijil. Beberapa peziarah yang kami temui, mengaku tidak tahu letak makam sang begawan.
Kami hanya menemukan sejumlah makam tua. Beberapa diantaranya berupa tumpukan batu tanpa nisan yang membujur disela kuburan warga.
Pandai Besi Turun Temurun
Tanpa kepastian sejarah asal usul keahlian pandai besi di Desa Rejosari, warga meyakini bahwa Sanggarahan sempat memasok senjata untuk para prajurit Pangeran Diponegoro. Keahlian itu yang kemudian menurun hingga sekarang.
“Turun temurun kok ya. Dari bapak saya, orang tua saya. Bapak saya dulu juga perajin pandai besi. Sekitar tahun 80-an,” kata Sumardi.
Sekitar tahun 1991, Sumardi yang tidak melanjutkan sekolah, memutuskan untuk terjun serius menjadi pandai besi. Semasa muda, Sumardi banyak mengikuti pelatihan untuk perajin besi yang diadakan pemerintah.
“Jaman saya masih muda sering study tour kemana-mana. Dari kabupaten kan sering ada latihan. Jaman Pak Harto (Presiden Soeharto).”
Tahun 2006 Sumardi pernah menjuarai lomba kerajinan membuat pisau tingkat nasional. Dia kebanjiran pesanan, hingga kewalahan dan tidak bisa memproduksi lagi.
Sumardi mengaku bisa membuat berbagai jenis senjata tajam. Dari mulai belati biasa, katana, rencong, hingga pedang jenis scimitar atau pedang Arab.
Meminta izin sebentar masuk ke dalam rumah, Sumardi keluar menenteng bilah pedang penuh ukiran huruf arab. Pedang jenis scimitar dengan bilah melengkung ini dulu umumnya dipakai orang Arab badui untuk berperang.
“Ada yang pesan. Orang senang koleksi kok ya. Kemarin pesanan orang Semarang. Saya jual Rp2 juta. Bahannya besi L6. Tahan patah. Lentur, dan ketajamannya juga punya. Tapi kalau untuk pisau sembelih, kurang bagus.”
Besi L6 biasa dipakai untuk bahan membuat suku cadang mesin. Kebanyakan digunakan sebagai bahan laker untuk kendaraan bermotor atau mata gergaji kayu jenis circular saw.
Sumardi juga sering menerima pesanan membuat katana dari dojo samurai. Biasanya mereka datang langsung memesan ke bengkel.
“Perguruan samurai kalau pesan yang bilahnya nggak tajam tapi tumpul. Dipakai untuk latihan. Yang mereka butuhkan beratnya standar.”
Untuk senjata jenis belati atau rencong, biasanya pemesan membawa gambar contoh. Sumardi diminta membuat duplikat persis dengan gambar tersebut.
“Mau bentuk apa, dihiasi apa, gambar apa biasanya gitu. Sini mengikuti saja. Kalau bisa ya dikerjakan, kalau tidak bisa ya bilang nggak bisa. Tapi kalau hanya jenis-jenis pisau insyallah banyak bisanya.”
Pisau Sembelih Hewan Kurban
Mendekati Idul Adha, Sumardi banyak menerima permintaan membuat pisau sembelih atau sekadar mengasah pisau yang lama.
Pelanggan kebanyakan takmir masjid dari Bantul, Yogyakarta, Purworejo, Semarang, dan Salatiga.
“Kalau ke Timur ya (pesanan) dari Salatiga. Kebanyakan ngasah pisau ini lho. Biasanya kalau sambil ngasah pisau (sembelih) sambil tambah beli pisau apa-pisau apa begitu.”
Selain pisau sembelih, Sumardi juga membuat pisau kelet untuk menguliti hewan kurban. Pisau kelet biasa ukuran 15-20 centimeter dijual seharga Rp60 ribu.
Bilah pisau sembelih sapi biasanya berukuran panjang antara 45 hingga 50 centimeter.
“Rata-rata harganya Rp1.200.000. Ada juga yang Rp1.350.000. Tergantung bahan dan model. Ada yang Rp900 ribu, tergantung pesanan bahan besi atau baja yang digunakan.
Paling bagus bahan apa?
“DM 05 Julia (buatan Itali). Bahan bajanya biasanya dipakai untuk (gergaji) potong besi. Bahanya tajam sekali. Orang sekarang banyak yang tahu masalah bahan besi, walaupun hanya lihat di media. Terus minta dibikinkan pisau yang (bahan baja) ini.”
Sumardi membeli bahan baja DM 05 Julia secara online dari Surabaya. Jika masih utuh berbentuk piringan gergaji berdiameter 30 cm, harganya Rp3.750.000 per keping.
Selain baja bekas gergaji, baja per mobil juga bisa dipakai menjadi bahan pisau. “Tapi kebagusannya juga kurang to. Kurang tahan karat. Kalau dari bahan per mobil yang bagus bekas mobil Jeep Willys.”
Jeep Willys memulai debut tugas pada Perang Dunia II tahun 1944. Mobil berpenggerak 4 roda ini kemudian menjadi andalan serdadu Amerika di perang Vietnam dan Korea.
Saking dekatnya hubungan serdadu Amerika dengan mobil ini, Jeep Willys dijuluki sebagai sahabat GI nomer dua setelah senapannya.
Kepala Staf Angkatan Darat AS selama Perang Dunia II, Jenderal George C Marshall, menggambarkan Jeep Willys sebagai “kontribusi terbesar Amerika terhadap peperangan modern”.
Pemerintah Amerika secara simbolik pernah menganugerahi medali penghargaan “Purple Heart” kepada salah satu Jeep Willys yang dianggap berjasa selama perang.
Ekspor Belanda dan Belgia
Proses pembuatan bilah pisau dimulai dari memotong piringan baja DM 05 Julia sesuai ukuran yang diinginkan. Baja dibakar pada tungku untuk kemudian ditempa hingga ketebalannya sesuai.
Baja kemudian dibentuk sesuai pesanan, diberi gagang, dihaluskan serta diasah sebagai proses penyempurnaan.
Seluruh proses pembuatan pisau dilakukan secara manual. Dibantu empat orang pekerja, Sumardi mengerjakan sendiri proses akhir pembuatan pisau.
“Garapan ini nggak langsung sekali jadi. Biasanya bilah mentah dulu dibuat. Nanti yang lain-lain (finishing-nya) dikerjakan sendiri. Masalahnya ini juga perlu latihan to,” kata Sumardi.
Beberapa tahun belakangan, selain membuat belati untuk kebutuhan dalam negeri, Sumardi juga menerima pesanan perangkat makan steak untuk ekspor ke Belanda dan Belgia.
Standar pesanan ekspor ini termasuk detail, antara lain memastikan bahwa pisau, garpu, serta sendok dibuat secara manual oleh pandai besi.
Jenis peralatan yang diminta juga sangat beragam. Untuk sendok saja, Sumardi membuat 34 jenis yang berbeda.
“Kemarin ada pesanan yang saya belum pernah buat. Nggak mampu. Alatnya sudah diluar kemampuan pandai besi. Bentuknya rumit. Sebenarnya termasuk tantangan. Tapi kalau sudah tidak mampu, ya menyerah saja daripada mumet.”
Kontributor : Angga Haksoro Ardi