SuaraJawaTengah.id - Arilia Sari (25) menunjukkan deretan rumah di Desa Timbusloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Selasa (20/08/2024).
Rumah-rumah itu tampak kosong tanpa penghuni. Kondisinya ada yang masih bagus, tetapi kebanyakan sudah rusak parah.
Genting-genting berjatuhan, tembok retak, sementara bangunan dari papan kayu banyak yang rubuh.
Rupanya puluhan rumah itu sengaja ditinggalkan pemiliknya. Abrasi yang menimpa desa tersebut membuat air laut naik secara perlahan dalam 23 tahun terakhir.
Baca Juga:Banjir Terus, Pemkab Demak akan Bangun Rumah Pompa atasi Rob di Sayung
Ketinggian rob terendah adalah 1 meter, sedangkan tertinggi mencapai 1,5 meter. Tak ayal, banyak bangunan yang tenggelam separuh, sementara daratan tak lagi terlihat.
Sudah 15 tahun terakhir, rob tidak mau surut dan mendekam di wilayah itu. Warga yang bertahan kebanyakan berada di sebelah timur desa, sementara yang di sebelah barat banyak yang ditinggalkan.
"Ada 22 rumah di RT 03 RW 07 yang kosong ditinggalkan pemiliknya," kata Arilia saat ditemui SuaraJawaTengah.id.
Kampung Mati yang Horor
Arilia sendiri sudah tinggal delapan tahun di Desa Timbulsloko. Suaminya yang asli warga setempat pergi merantau.
Baca Juga:Geger Parade Sound System Rusak Jembatan, Polisi Tangkap 9 Orang Termasuk Kades
Dia hidup ditemani sang anak. Meski rumahnya diapit bangunan kosong, dan dekat area pemakaman, dia tetap memberanikan diri untuk bertahan di sana.
Perempuan berhijab itu mengaku sering mengalami kejadian aneh selama tinggal di Desa Timbulsloko.
"Ada bau masakan, padahal tidak ada yang memasak. Lalu, ada suara-suara di rumah samping, padahal tidak ada orang," katanya.
"Makanya wilayah sini dikenal sebagai kampung horor, penghuninya sudah tidak ada, tetapi banyak kejadian mistis," tambahnya.
Warga lainnya, Larso, mengaku kerap ditemui sesosok nenek berambut putih. Sosok itu berdiri di rumah kosong dan melambaikan satu tangannya, seolah memanggil dirinya.
"Kadang ada orang duduk mengobrol, lampu menyala, padahal rumah itu tidak berpenghuni dan aliran listrik telah diputus," kata dia.
Dengan berbagai kejadian tersebut, banyak nelayan atau pemancing yang menghindari melintas kampung itu ketika malam hari.
Warga yang Tersisa Hanya Punya Asa
Dukuh Timbulsloko, Desa Timbulsloko, kini berpenduduk sekitar 110 kepala keluarga (KK), padahal sebelumnya sebanyak 400 KK.
Warga yang bertahan memodifikasi rumahnya menjadi rumah panggung untuk terhindar dari rob.
Tokoh Masyarakat Desa Timbulsloko Shobirin mengatakan warga yang pindah kebanyakan merasa lelah dengan keadaan.
Rob yang terus meninggi mengharuskan warga juga meninggikan rumahnya. Padahal, harga meterial tanah padas tidak murah.
Harga tanah padas per truk dump adalah Rp 500 ribu. Namun, jika diantarkan sampai ke kampung tersebut maka harganya naik menjadi Rp 2 juta.
Akses ke Dukuh Timbulsloko yang sulit membuat harga tanah padas/truk dump naik drastis. Terdapat dua cara untuk masuk ke sana.
Pertama melalui tanggul sempit sepanjang 1 km yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Kedua, melalui perahu nelayan dengan biaya menumpang sebesar Rp 10 ribu.
"Warga yang bertahan ini, istilahnya adalah orang-orang yang pasrah karena tidak memiliki modal untuk pindah," katanya.
Shobirin menyebut terdapat 55 rumah yang sudah ditinggalnya pemiliknya. Kawasan itu dikenal dengan kampung mati dan banyak cerita horornya.
"Surga" yang Tinggal Cerita
Desa Timbulsloko yang terletak di pesisir utara Jawa Tengah dulu tidak seperti sekarang. Desa ini sebelum tahun 2000, dikenal seperti surga karena kemakmurannya.
Shobirin masih ingat betul. Ketika masih muda, banyak tanaman pohon kelapa di kampungnya, tanah sangat subur dengan berbagai macam tanaman di atasnya.
"Dulu, Desa Timbulsloko istilahnya Gemah Ripah Loh Jinawi, seperti syurga dunia. Mencari uang Rp 100 ribu/hari gampang, sekarang mungkin setara Rp 1 juta/hari," tuturnya.
Di atas tahun 2000, air rob sudah mulai masuk sehingga areal persawahan mulai tidak subur. "Tanaman banyak yang kuning, tidak lagi subur," katanya.
Saat itu, banyak warga yang kemudian alih profesi dari petani ke penambak udang putih (panami), karena dianggap lebih menggiurkan.
"Dua bulan, panen udang panami bisa menghasilkan Rp 20-25 juta," kata Shobirin.
Dengan adanya alih fungsi lahan, lingkungan pun makin rusak. Saat itu bertepatan dengan adanya reklamasi di Tanjung Emas Semarang, sehingga rob makin cepat masuk desa.
"Jangka lima tahun, tambak sudah tidak lagi menghasilkan karen tertutup rob," katanya.
Masa tersulit yang dihadapi warga Dukuh Timbulsloko adalah enam tahun terakhir ketika rob sudah menenggelamkan desa. Akses jalan antar-rumah terputus oleh rob sehingga aktivitas warga lumpuh total.
"Jemaah salat kadang tidak ada, tahlilan sepi, anak yang berangkat sekolah kesusahan, bahkan menguburkan orang meninggal juga sulit," ungkap Shobirin.
Pada 2019, dirinya menginisiasi pembangunan jembatan atau jalan gladak yang menghubungkan antar-rumah. Jalan sepanjang 1,5 km meter itu dibangun dengan swadaya masyarakat sebagai upaya menghidupkan aktivitas sosial-keagamaan.
"Dukuh yang sempat mati akhirnya hidup kembali. Namun, di sebelah barat sana sudah banyak yang pindah, dan dikenal sebagai kampung mati," tuturnya.
Shobirin dan 200-an warga lainnya berharap banyak kepada pemerintah untuk bisa mengatasi bencana abrasi ini.
"Kami berharap pemerintah memberikan solusi kepada kami ini yang juga warga Indonesia," tutupnya.
Kontributor : Sigit Aulia Firdaus