Pengamat UIN Walisongo Ungkap Dampak Politik Uang: Dari Korupsi hingga Praktik 'Balas Jasa'

Di balik semarak kontestasi Pilkada, isu politik uang (money politics) kembali menjadi bayang-bayang yang meresahkan

Budi Arista Romadhoni
Rabu, 20 November 2024 | 08:14 WIB
Pengamat UIN Walisongo Ungkap Dampak Politik Uang: Dari Korupsi hingga Praktik 'Balas Jasa'
Pengamat Politik UIN Walisongo Semarang, Dr M Kholidul Adib. [Istimewa]

SuaraJawaTengah.id - Pilkada Kota Semarang tahun 2024 menjadi momen penting dalam perjalanan demokrasi lokal. Namun, di balik semarak kontestasi, isu politik uang (money politics) kembali menjadi bayang-bayang yang meresahkan.

Praktik ini bukan hanya merusak integritas pemilu, tetapi juga menyuburkan budaya korupsi, yang berdampak luas pada tata kelola pemerintahan di masa mendatang.

Money politics telah lama menjadi masalah krusial dalam pemilu di Indonesia, termasuk pada Pilwalkot Semarang 2024. Modusnya beragam, mulai dari pembagian uang langsung, pemberian sembako, hingga janji-janji pembangunan.

Kholidul Adib, pengamat politik dari UIN Walisongo, menegaskan bahwa praktik ini dapat mencederai demokrasi dengan memprioritaskan kekuatan finansial dibandingkan integritas kandidat atau program kerja.

Baca Juga:Prabowo Dukung Cagub Jateng, Bawaslu Telusuri Potensi Pelanggaran Netralitas Presiden

“Kandidat dengan dukungan dana besar cenderung lebih mudah menang, bukan karena visi misinya, tetapi karena praktik transaksional yang melibatkan uang,” ujar Adib.

Menurutnya, kondisi ini menciptakan ketidaksetaraan dalam proses politik dan menodai keadilan demokrasi.

Dampak Politik Uang: Korupsi Sebagai “Balas Jasa”

Dr. Adib menambahkan, biaya tinggi dalam kontestasi politik mendorong kandidat terpilih untuk “mengembalikan modal” melalui berbagai cara, termasuk memanfaatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

"Money politics membuka peluang besar terjadinya korupsi. Ini menjadi siklus yang sulit dihentikan karena kebutuhan untuk membayar kembali pendukung, pengusaha, atau bahkan penjudi politik," jelasnya.

Baca Juga:Target Menang di Pilkada! Kaesang Pangarep Kerahkan Pengusaha Muda Door to Door di Semarang

Data dari Transparansi Internasional Indonesia (TII) menunjukkan bahwa setiap tahun, 30-40% anggaran pemerintah berpotensi bocor akibat praktik korupsi. Dengan APBN sebesar Rp3.000 triliun, kebocoran ini setara dengan Rp1.000 triliun—jumlah yang cukup untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur secara nasional.

Menjelang pemungutan suara pada 27 November 2024, harapan akan Pilkada Kota Semarang yang bersih masih menjadi tantangan besar. Pilwalkot kali ini diikuti dua pasangan calon, yakni Agustina Wilujeng-Iswar Aminuddin dari PDIP dan AS Sukawijaya-Joko Santoso dari Koalisi Indonesia Maju. Dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 1.265.192, pemenang diprediksi membutuhkan sekitar 550.000 suara.

Namun, jika politik uang masih menjadi strategi, kemenangan dapat diraih dengan membagikan amplop senilai Rp50.000 kepada sekitar 750.000 pemilih.

“Jika 70% dari amplop itu efektif, calon sudah bisa menang,” papar Adib.

Masyarakat Kota Semarang diimbau menjadi pemilih cerdas yang memilih berdasarkan visi, misi, dan rekam jejak kandidat, bukan atas dasar transaksi pragmatis. Dr. Adib menegaskan pentingnya pendidikan politik untuk menciptakan kesadaran, baik di kalangan elit maupun masyarakat.

“Pemilih yang rasional dan berintegritas adalah kunci untuk menyelamatkan demokrasi dari jeratan money politics,” katanya.

Penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Bawaslu, juga memiliki peran penting dalam mencegah praktik ini. Penguatan regulasi dan penegakan hukum yang lebih tegas diperlukan untuk menghentikan siklus politik uang yang terus berulang.

“Pasal 286 UU Nomor 7 Tahun 2017 masih memiliki celah karena tidak mencakup pemberi dari luar tim kampanye resmi. Ini harus diperbaiki untuk memastikan keadilan,” tambah Adib.

Korupsi: Ancaman Laten yang Membahayakan Bangsa

Money politics tidak hanya mencederai demokrasi lokal, tetapi juga berkontribusi pada kerentanan bangsa terhadap disintegrasi. “Money politics dan korupsi adalah bahaya laten yang bisa menghancurkan Indonesia,” ujar Adib.

Ia mengingatkan bahwa praktik ini melemahkan fondasi negara yang dibangun oleh para pendiri bangsa.

Dengan potensi besar yang dimiliki Indonesia, seperti sumber daya alam melimpah dan penduduk besar, masa depan bangsa sangat bergantung pada kemampuan untuk mengelola pemilu secara bersih dan berintegritas.

“Tanpa perubahan signifikan, visi Indonesia Emas 2045 akan sulit tercapai,” tutupnya.

Masyarakat Kota Semarang diharapkan berperan aktif melawan politik uang, demi masa depan demokrasi dan pemerintahan yang lebih baik.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak