SuaraJawaTengah.id - Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Semarang tahun 2024 menjadi sorotan publik, terutama terkait kemungkinan pelaksanaannya bebas dari praktik politik uang (money politics).
Mengingat Pilwalkot merupakan mekanisme resmi demokrasi untuk memilih pemimpin lokal, praktik tersebut dikhawatirkan dapat mencederai proses demokratisasi.
Pada 27 November 2024, Pilwalkot Semarang akan digelar serentak bersama pemilihan kepala daerah lainnya di Indonesia. Pilwalkot kali ini menghadirkan dua pasangan calon: Agustina Wilujeng-Iswar Aminuddin yang diusung PDI Perjuangan dengan dukungan 14 kursi DPRD Kota Semarang, dan pasangan AS Sukawijaya atau Yoyok Sukawi-Joko Santoso dari Koalisi Indonesia Maju Plus yang didukung 36 kursi DPRD dari sembilan partai politik besar.
Jumlah pemilih tetap yang telah ditetapkan KPU Kota Semarang mencapai 1.265.192, tersebar di 16 kecamatan, 177 kelurahan, dan 2.358 TPS. Dengan jumlah penduduk 1,7 juta jiwa, Semarang menjadi salah satu kota besar yang memiliki potensi kuat untuk melaksanakan pemilu yang bersih, namun tantangan politik uang tetap membayangi.
Baca Juga:BMKG Prakirakan Cuaca Berawan dan Kabut di Semarang Hari Ini, Masyarakat Diminta Waspada
Strategi Pemenangan dan Risiko Politik Uang
Menurut pengamat politik dari UIN Walisongo, Kholidul Adib, praktik politik uang sudah menjadi tantangan laten dalam pemilu di Indonesia, termasuk Pilwalkot.
“Strategi pemenangan pasangan calon sering kali melibatkan biaya besar untuk memanaskan mesin partai, sosialisasi, konsolidasi tim sukses, hingga pembentukan tim relawan,” ujarnya di Semarang pada Selasa (19/11/2024).
Praktik politik uang dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari pembagian uang tunai, sembako, hingga janji-janji bantuan pembangunan. Modus ini, meskipun diketahui publik, sulit dibuktikan secara hukum. Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 memang melarang politik uang, namun celah dalam penegakan hukum membuat praktik ini sulit diberantas sepenuhnya.
Adib juga menyoroti hubungan erat antara politik uang dan korupsi. "Biaya politik yang sangat tinggi memaksa kandidat mencari cara untuk mengembalikan modal setelah terpilih, sering kali dengan menyalahgunakan APBD," jelasnya.
Berdasarkan laporan Transparansi Internasional Indonesia, potensi kebocoran APBN dan APBD mencapai 30-40 persen per tahun, yang sebagian besar terjadi melalui pengadaan barang dan jasa.
Pendidikan Politik sebagai Solusi
Untuk mengatasi fenomena ini, pendidikan politik bagi masyarakat menjadi kunci. "Pemilih yang cerdas dan rasional adalah benteng utama melawan politik uang," kata Adib.
Ia menekankan pentingnya masyarakat memahami rekam jejak, integritas, dan visi-misi calon, serta menolak segala bentuk pemberian dalam proses pemilu.
Selain itu, peran penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu juga krusial untuk memastikan pelaksanaan Pilwalkot berjalan adil dan transparan. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran politik uang juga perlu ditingkatkan untuk menjaga integritas proses demokrasi.
Ancaman bagi Masa Depan Demokrasi
Praktik politik uang tidak hanya merusak integritas demokrasi, tetapi juga menyuburkan budaya korupsi yang mengancam stabilitas dan pembangunan bangsa.
Dengan biaya politik yang semakin tinggi, terjadi pergeseran paradigma politik menjadi transaksional, di mana suara pemilih diperlakukan sebagai komoditas.
Adib memperingatkan, “Jika budaya politik uang tidak segera dihentikan, maka kita akan kehilangan esensi demokrasi dan membuka peluang bagi disintegrasi bangsa. Pemilu yang bersih adalah prasyarat untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.”