SuaraJawaTengah.id - Imlek 2025 kembali menjadi momen spesial bagi komunitas Tionghoa di Indonesia. Tidak hanya dirayakan dengan kemeriahan tradisional seperti lampion dan barongsai, tetapi juga menjadi waktu untuk merenungi jejak sejarah yang membentuk identitas mereka.
Salah satu bab penting dalam perjalanan ini adalah kebijakan Wijkenstelsel yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda.
Kebijakan tersebut menciptakan kawasan-kawasan Pecinan yang hingga kini menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah kota-kota besar di Jawa Tengah.
Bagaimana kebijakan ini memengaruhi kehidupan masyarakat Tionghoa dan membentuk wajah keberagaman budaya kita? Simak cerita lengkapnya berikut ini.
Baca Juga:5 Tokoh Legendaris Tionghoa dari Jawa Tengah yang Menginspirasi
Sejarah Kebijakan Wijkenstelsel
Sukacita perayaan Imlek 2025 tidak hanya menjadi momen mempererat tradisi, tetapi juga mengajak kita merenungi perjalanan sejarah panjang komunitas Tionghoa di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah.
Salah satu warisan sejarah yang tak dapat dilepaskan adalah kebijakan Wijkenstelsel yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Melalui kebijakan ini, masyarakat Tionghoa diwajibkan tinggal di kawasan khusus yang kini dikenal sebagai Pecinan. Tujuannya, untuk membatasi interaksi sosial dan mempertahankan monopoli ekonomi Belanda.
Berdasarkan Staatsblad No.37 Tahun 1835, pemerintah Hindia Belanda menerapkan segregasi melalui dua kebijakan utama, yaitu Passenstelsel dan Wijkenstelsel.
Passenstelsel membatasi mobilitas warga Tionghoa dengan mewajibkan surat izin perjalanan untuk keluar dari tempat tinggal mereka, sedangkan Wijkenstelsel membatasi pemukiman mereka di wilayah tertentu. Akibatnya, hubungan sosial antara masyarakat Tionghoa dan kelompok lain sangat terbatas, meskipun interaksi ekonomi tetap berlangsung.
Baca Juga:Deadline 31 Maret! ASN Jateng Wajib Lapor Harta, Awas Bisa Kena Sanksi Berat
Dampak Wijkenstelsel di Jawa Tengah
- 1
- 2