Perpustakaan Hok An Kiong, Bab Baru Budaya Tionghoa di Muntilan

Klenteng Hok An Kiong Muntilan istimewa, satu dari sedikit klenteng berumur ratusan tahun dengan perpustakaan berisi >1000 judul buku

Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 08 Februari 2025 | 07:24 WIB
Perpustakaan Hok An Kiong, Bab Baru Budaya Tionghoa di Muntilan
Klenteng Hok An Kiong layak menjadi pusat edukasi kebudayaan Tionghoa di Muntilan. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardhi).

Buku ‘Kalangan Sendiri’

 Astrid Salsabila dihadapan buku-buku beraksara Hanji. Menunggu diterjemahkan. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardhi).
Astrid Salsabila dihadapan buku-buku beraksara Hanji. Menunggu diterjemahkan. (Suara.com/ Angga Haksoro Ardhi).

Banyak buku koleksi perpustakaan kleteng yang dipublikasi setelah tahun 1965, diberi label “untuk kalangan sendiri”.

Pasca peristiwa ’65 pemerintah mengatur ketat pembatasan kegiatan warga Tionghoa. Memberi label buku “untuk kalangan sendiri” merupakan strategi menghindari sensor dan beredel aparat.

“Kami banyak menemukan buku-buku tentang agama Tionghoa yang (dilabel) ‘untuk kalangan sendiri’. Memiliki buku Tionghoa agak berbahaya pada zaman ‘65.”

Baca Juga:Praktik Prostitusi di Gunung Kemukus Sragen Terungkap, Ritual Seks Hidup Lagi?

Meski begitu, pembatasan kegiatan pasca ’65 tidak menghalangi komunitas Tionghoa untuk saling berbagi buku. Tercatat banyak buku yang di-label “untuk kalangan sendiri” dikirim dari Jakarta, Banten, dan Kalimantan.

Begitupun situasi politik lebih terbuka setelah Reformasi 1998, dampak tekanan politik terhadap warga Tionghoa selama Orde Baru, telanjur berdampak parah.

Represi politik dan diskriminasi sosial membuat warga keturunan Tionghoa takut kembali beribadat di klenteng.

Apalagi sebelum Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2000 mengakui Konghucu sebagai agama resmi, orang-orang Tionghoa ‘dipaksa’ memilih keyakinan sesuai agama yang diakui pemerintah.

Generasi keturunan yang sekarang memeluk agama baru, menjadikan ikatan mereka dengan keyakinan nenek moyang, tinggal sebatas tradisi.

Baca Juga:Kisah Sya'ban: Sahabat Nabi yang Dirindukan Rasulullah Saat Subuh

“Kita terjajah sama zaman Orde Baru. Kita putus beberapa generasi. Sekarang sudah mulai maju tapi (pengurus klenteng) sudah tua-tua. Yang muda-muda sekolahnya di Kristen, Katolik, sebenarnya nggak apa. Cuma kita terputus itu,” kata Ketua Pengurus TITD Klenteng Hok An Kiong, Budi Raharjo.

Diplomasi Budaya

Siang itu kami menemui Budi Raharjo di pelataran klenteng. Dia mengeluh sejak tahun 1987 tidak bisa pensiun dari jabatan ketua pengurus.

Katanya tidak ada orang yang mau menggantikan posisinya. “Adanya cuma gitu-gitu saja. Makanya klenteng di Indonesia jarang yang bisa maju pesat.”

Budi menyampaikan keinginannya untuk kembali membuka sekolah Tionghoa di kompleks klenteng. Dia melihat potensi anak-anak keturunan Tionghoa tertarik belajar di sekolah 3 bahasa: Indonesia, Inggris, dan Mandarin.

Tapi begitu mengingat perkembangan banyak warga keturunan Tionghoa yang enggan masuk klenteng, Budi yang memiliki nama Tionghoa, Wong Kim Tjung kembali gamang,

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak