THR Lebaran 2025 Jadi Mimpi Buruk: Ratusan Pekerja Jateng Gigit Jari, Sritex Terseret!

Pasca lebaran, 16 perusahaan di Jateng belum bayar THR. Disnakertrans terima 196 aduan, termasuk Sritex. Masalah klasik: lemahnya penegakan regulasi tenaga kerja.

Budi Arista Romadhoni
Rabu, 09 April 2025 | 21:13 WIB
THR Lebaran 2025 Jadi Mimpi Buruk: Ratusan Pekerja Jateng Gigit Jari, Sritex Terseret!
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Tengah Ahmad Aziz. [ANTARA/Zuhdiar Laeis]

Dari sisi jenis perusahaan yang diadukan, mayoritas berasal dari sektor manufaktur, yakni sebanyak 145 perusahaan, sementara sisanya terdiri dari empat institusi pendidikan, enam rumah sakit atau klinik, dan enam instansi pemerintah.

Menariknya, laporan dari instansi pemerintah justru sebagian besar datang dari para tenaga honorer. Menurut peraturan, tenaga honorer memang tidak termasuk dalam kategori pekerja yang berhak mendapatkan THR.

Hal yang sama berlaku bagi pekerja yang telah habis masa kontraknya serta mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam waktu 30 hari sebelum hari raya.

Namun, di sinilah letak ironi yang lebih dalam. Banyak dari para pelapor merasa tetap memiliki kontribusi besar bagi institusi tempat mereka bekerja, meski status mereka tidak menjamin hak yang sama.

Baca Juga:One Way Lokal di Tol Salatiga-Kalikangkung Dihentikan: Puncak Arus Balik Lebaran 2025 Terlewati

Ketika pekerja swasta dapat mengandalkan serikat buruh atau jalur hukum, pekerja honorer di sektor publik justru terjebak dalam kekosongan perlindungan.

Kasus-kasus ini tidak hanya menggambarkan ketidaktaatan perusahaan terhadap kewajiban normatif, tetapi juga memperlihatkan kesenjangan dalam sistem perlindungan tenaga kerja di Indonesia.

Para pekerja yang terlibat dalam ekonomi digital, pekerja kontrak jangka pendek, hingga tenaga honorer, sering kali berada dalam posisi rentan dan kurang diperhatikan dalam kerangka hukum ketenagakerjaan.

Di sisi lain, keterbatasan jumlah pengawas ketenagakerjaan dan lemahnya sanksi terhadap perusahaan yang melanggar, menjadikan pengawasan terhadap kewajiban THR setiap tahun seperti ritual yang berulang. Sanksi administratif memang tercantum dalam regulasi, tetapi penerapannya di lapangan kerap tak tegas.

Momen pasca-lebaran semestinya menjadi refleksi bagi semua pihak—pemerintah, pengusaha, dan masyarakat luas—untuk memperbaiki tata kelola ketenagakerjaan. THR bukanlah bentuk kebaikan hati dari perusahaan, melainkan hak normatif yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan.

Baca Juga:Asal-Usul Penamaan Bulan Syawal, Ternyata Berkaitan dengan Unta

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak