Mengenal Ritual Buddha Tantrayana pada Kremasi Murdaya Poo di Bukit Dagi Borobudur

Tokoh Buddha, Murdaya Poo, dikremasi secara Tantrayana di Bukit Dagi, Borobudur. Upacara melibatkan biksu dari India & kayu khusus. Kremasi bantu penyempurnaan di alam baka.

Budi Arista Romadhoni
Rabu, 07 Mei 2025 | 19:37 WIB
Mengenal Ritual Buddha Tantrayana pada Kremasi Murdaya Poo di Bukit Dagi Borobudur
Proses kremasi Murdaya Poo di puncak Bukit Dagi, kompleks Candi Borobudur, Selasa (7/5). (Suara.com/ Angga Haksoro A).

SuaraJawaTengah.id - Babak penutup perjalanan tokoh umat Buddha Indonesia, Murdaya Widyawimarta Poo diakhiri dengan sakral. Upacara kremasi tradisional Buddha Tantrayana digelar untuk melepasnya ke alam antarabhava.

Kremasi Murdaya Poo menunggu satu bulan dari tanggal wafatnya, 7 April 2025. Prajna Murdaya, menjelaskan alasan menunda kremasi salah satunya adalah menanti hari ulang tahun pernikahan ke-54 kedua orang tuanya.

"Tanggal pernikahan itu pada 7 Mei 1971," kata Prajna Murdaya di kaki Bukit Dagi, kompleks Candi Borobudur.

Prosesi kremasi melibatkan para biksu dari kuil Buddha kuno, Phalpung Sherab Ling di Himachal Pradesh, India Utara. Para biksu di kuil ini berada dibawah naungan seorang Lama terkenal, Tai Situ Rinpoche.

Baca Juga:Bahas Peringatan Waisak 2023 di Borobudur, Perwakilan Umat Buddha Temui Ganjar Pranowo

Salah satu ciri khas ritual kremasi yang diadakan oleh para biksu Phalpung Sherab Ling adalah penggunaan kayu bakar untuk membakar jenazah. Berbeda dari krematorium yang biasanya menggunakan bahan bakar gas untuk kremasi.

Menurut Prajna, pihak keluarga menyiapkan 1,5 ton campuran kayu cendana, gaharu, dan jenis kayu keras lainnya untuk pelaksanaan kreamasi.

Lahan sekitar 5 meter persegi disiapkan di puncak Bukit Dagi sebagai tempat kremasi. Diatas alas berupa tatanan batu bata, disusun tumpukan kayu tempat dimana peti jenazah diletakkan.

Di atas peti jenazah kembali ditumpuk kayu-kayu yang terus ditambahkan selama proses kremasi. Api dijaga tetap menyala sekitar 4 hingga 5 jam.

"Kremasi dengan api besar mungkin butuh waktu 2 sampai 3 jam. Dengan api kecil sekitar 5 sampai 6 jam," ujar Prajna.

Baca Juga:Ratusan Umat Buddha Ikuti Ritual Pabajja Samanera: Meditasi Jalan Kaki Candi Mendut-Borobudur

Sejak jenazah diberangkatkan dari tenda penyemayaman di kaki Bukit Dagi hingga tiba di lokasi kremasi, para Rinpoche merapal doa-doa panjang. Doa kembali dilakukan oleh keluarga sebelum api menyulut kayu kremasi.

"Semoga beliau di sana juga damai terus melanjutkan belajar, sampai sempurna mencapai dunia kekal abadi. Tidak mengulangi apa yang menjadi sejarah kehidupan di dunia yang tidak sempurna," kata Hartati Murdaya istri mendiang.

Menuju Kehidupan Kekal

Menurut keyakinan Buddha, kematian adalah proses menuju kehidupan yang kekal. Baik kremasi maupun pemakaman, bertujuan membantu penyempurnaan fisik di alam Yama atau alam baka.

Setelah kematian, seorang Lama yang telah menjadi guru harus membacakan Bardo Thodol kepada orang yang meninggal (biasanya dengan dibisikan di telinga. Budaya Barat mengenal kitab ini sebagai kitab kematian.

Kitab ini berisi kumpulan ajaran dharma yang mendalam tentang pembebasan diri melalui niat yang damai. Panduan spiritual ini disusun untuk membantu kesadaran seseorang untuk melewati berbagai fase setelah meninggal.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak