Perayaan Waisak 2025 di Borobudur, Sejarah Biksu Thudong, Lampion, dan Romansa Pasar Medang

Waisak di Borobudur menampilkan ritual suci, perjalanan biksu Thudong 2800km, festival lampion bertema naga, dan Pasar Medang yang visualisasikan peradaban Mataram Kuno

Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 09 Mei 2025 | 16:07 WIB
Perayaan Waisak 2025 di Borobudur, Sejarah Biksu Thudong, Lampion, dan Romansa Pasar Medang
Tahap akhir persiapan Kampung Medang di kompleks Candi Borobudur yang dibuka selama perayaan Waisak 2025. [Suara.com/ Angga Haksoro A]

SuaraJawaTengah.id - Rangkaian perayaan Waisak di Candi Borobudur menampilkan beberapa ritual suci umat Buddha dan kebesaran peradaban Mataram Kuno.

Selain festival lampion yang menarik perhatian para wisatawan, sedikitnya ada dua rangkaian Waisak yang sarat dengan nilai spiritual dan kebudayaan.

Salah satunya, perjalanan para biksu thudong dari Thailand menempuh jarak sekitar 2.800 kilometer, yang menggambarkan ketaatan mereka pada ajaran Buddha.

“Thudong ini dipraktekkan oleh para biksu dhutanga. Mereka ini semacam para biksu yang (tinggal) di hutan yang masih menjalani tradisi sampai hari ini. Boleh dikatakan sudah tidak banyak yang mempraktikan,” kata Kevin Wu, Ketua Pelaksana Thudong 2025 wilayah Jakarta.  

Baca Juga:Ombudsman Nilai Pemadanan Data Pedagang SKMB Sudah Transparan dan Sesuai Prosedur

Dikutip dari buku “Forest Monks and the Nation-state: An Anthropological and Historical Study in Northeastern Thailand” yang ditulis J. L. Taylor, para biksu thudong sering ditemui mengembara di hutan-hutan.

Mereka berjalan sendirian atau berkelompok dalam satu barisan. Upaya mereka melepaskan diri dari keterikatan dengan dunia terlihat dari jubah yang mereka kenakan sering terlihat sangat sederhana.

Ciri lainnya adalah payung meditasi yang senantiasa dipanggul di bahu. Satu-satunya pelindung dari panas dan hujan selama perjalanan ribuan kilometer.  

“Berjalan sendiri atau dalam kelompok kecil dalam satu baris. Jubah oker bertambal warna mustard hangus. Payung meditasi di atas bahu mereka dan perhatian terfokus pada ‘jarak bajak’,” kata J. L Taylor.

Meskipun para pertapa pengembara sudah dikenal sejak masa hidup Sang Buddha, biksu thudong di Thailand muncul semasa pemerintahan Raja Mongkut (1851-1868) dan Raja Chulalongkorn (1868-1910).

Baca Juga:Le Minerale Bantu 10.500 Pelari Tetap Bugar, Taklukan Jalur Menanjak Borobudur Marathon

Secara rutin mereka melakukan perjalanan jauh ke kuil-kuil atau candi yang dianggap suci di seluruh dunia. Perjalanan dilakukan dengan berjalan (sering tanpa alas kaki) dengan sangat membatasi penggunaan angkutan.

Biksu dhutanga adalah para biksu Buddha yang menerapkan 13 praktik pertapaan sukarela. Praktik pertapaan sederhana yang diantaranya hanya makan dari sedekah, bertujuan membantu para biksu menuju pelepasan hidup dan memurnikan pikiran.

Sebanyak 38 biksu thudong yang saat ini dalam perjalanan menuju Candi Borobudur adalah utusan resmi Raja Thailand. Diperkirakan mereka tiba di kompleks Candi Borobudur sore nanti.  

“Kita sangat bersyukur yang dipilih Borobudur. Kenapa tidak ke India? Tempat lahir Buddha, pencerahan, tempat wafatnya Buddha. Ada sesuatu yang mereka lihat di Borobudur. Satu gerakan hati, gerakan spiritual. Entah itu bentuknya petunjuk, saya tidak tahu,” kata Kevin Wu, Ketua Pelaksana Thudong 2025 wilayah Jakarta.  

Raja Naga Pelindung Buddha

Cafe Aesthetic di Sekitar Borobudur  (Instagram/borobudurpark)
Ilustrasi Candi Borobudur (Instagram/borobudurpark)

Selain perjalanan biksu thudong, rangkaian acara Waisak yang menarik perhatian wisatawan adalah festival lampion. Sebanyak 2.569 lampion akan diterbangkan menjelang malam puncak detik-detik Waisak.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak