SuaraJawaTengah.id - Hadi Sasmito (44), seorang pekerja swasta asal Desa Trengguli, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Demak, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis hanya karena pinjaman Rp 20 juta dari sebuah koperasi.
Pinjaman yang awalnya dimaksudkan untuk mengurus sertifikat tanah dan menambah modal usaha itu, justru berujung pada kehilangan rumah beserta tanah seluas 196 meter persegi miliknya.
Kini, Hadi harus menanggung beban berat: tanah dan rumah yang menjadi tempat tinggal keluarganya telah dilelang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Kota Semarang.
Ironisnya, rumah itu jatuh ke tangan orang lain hanya karena utang yang nilainya tak sebanding dengan aset yang disita.
Baca Juga:Dukung Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, Bank Mandiri Perkuat Digitalisasi dan Sarana Koperasi
Awal Mula Pinjaman
Cerita ini bermula pada tahun 2016. Saat itu, Hadi hendak mengurus sertifikat hak milik (SHM) atas tanahnya.
Proses tersebut membutuhkan biaya tak sedikit, dan Hadi yang kala itu belum memiliki cukup dana, akhirnya mencari pinjaman.
Kebetulan, notaris yang membantunya mengurus sertifikat juga mengelola sebuah koperasi. Dari situlah, Hadi tergoda untuk mengajukan pinjaman sebesar Rp20 juta dengan jaminan sertifikat tanah dan bangunannya.
Namun, dari pinjaman yang disetujui, Hadi hanya menerima Rp11 juta. Sisanya, sekitar Rp 9 juta, dipotong untuk biaya pembuatan sertifikat.
Baca Juga:BRI Dorong Koperasi Desa Merah Putih melalui Layanan AgenBRILink
Uang yang diterimanya itu sebagian digunakan sebagai modal usaha, sebagian lagi untuk merantau ke Kalimantan.
Perjanjian pinjaman itu mewajibkan Hadi membayar angsuran Rp1.112.000 per bulan selama 18 bulan, dengan bunga mencapai Rp 400 ribu setiap bulan. Sayangnya, sejak awal, Hadi tidak pernah sekalipun melakukan pembayaran cicilan.
Surat Peringatan hingga Lelang
Karena tak ada pembayaran, koperasi pun mulai mengambil langkah hukum. Pada 12 September 2017, kuasa hukum koperasi mengirimkan surat peringatan kepada Hadi. Namun, surat itu tidak digubris.
Dua tahun berselang, tepatnya 21 Juni 2019, koperasi mendaftarkan lelang hak tanggungan ke KPKNL Kota Semarang.
Proses itu berjalan tanpa sepengetahuan Hadi. Ia baru sadar ketika tiga orang dari pihak koperasi datang ke rumahnya. Mereka menawarkan uang Rp 35 juta agar Hadi mau menandatangani sebuah dokumen.
“Saya tolak, untuk tanda tangan dan tidak menerima uangnya,” tegas Hadi saat ditemui Suara.com, Senin (25/08/2025).
Penolakan itu membuat koperasi menagih total utang berikut dendanya yang disebut sudah mencapai Rp 40 juta. Hadi sempat meminta waktu dua bulan untuk melunasi, namun koperasi tidak mau menunggu.
Tak lama berselang, tepatnya pada 1 Juli 2019, tanah dan rumah Hadi dilelang. Nilai jualnya mencapai Rp102,7 juta.
Bagi Hadi, kabar itu baru diketahui setelah orang-orang datang meninjau rumahnya bukan untuk membeli kepadanya, melainkan karena rumah itu sudah dijual oleh pemenang lelang.
![Hadi Sasmita (44), warga Desa Trengguli, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Demak, kehilangan rumahnya usai terjerat utang Rp20 juta, Senin (25/8/2025). [Suara.com/Sigit AF]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/26/11787-warga-demak-rumahnya-dilelang.jpg)
“Utang 20 Juta, Rumah Saya Hilang,” katanya.
Hadi mengakui kesalahannya karena tidak pernah membayar cicilan. Namun, ia merasa hukuman yang diterimanya terlalu berat.
“Saya salah, karena tidak membayar sama sekali, tapi utang Rp 20 juta kok sampai dilelang tanah dan rumah saya. Semoga pihak koperasi pakai hati nurani,” ujarnya lirih.
Ironisnya, penderitaan Hadi tak berhenti di situ. Baru-baru ini, pemenang lelang datang dan memintanya menebus rumah dengan nilai fantastis, Rp 235 juta.
“Intinya saya mau menyelesaikan dengan cara kekeluargaan. Saya siap menebus, tapi mohon jangan memberatkan. Masak disuruh menebus Rp 235 juta, padahal utang saya cuma Rp 20 juta,” kata Hadi dengan nada getir.
Ia mengaku cemas memikirkan masa depan anak-anaknya. “Kalau masalah ini tidak selesai, dan saya meninggal, saya kasihan anak-anak saya,” tambahnya.
Pandangan Kuasa Hukum
Kasus Hadi kini ditangani oleh kuasa hukum, Nidzar Alqodari. Menurutnya, apa yang dialami kliennya merupakan bentuk ketidakadilan.
“Klien kami sebenarnya punya iktikad baik untuk melunasi. Tapi pihak koperasi malah buru-buru melelang jaminan. Padahal asas koperasi adalah kekeluargaan dan gotong royong demi kemakmuran anggota. Kenyataannya, justru warga kecil seperti klien kami yang dirugikan,” ujarnya kepada Suara.com.
Ia menilai, jangka waktu dari jatuh tempo hingga lelang sekitar dua tahun masih memungkinkan untuk penyelesaian secara kekeluargaan. Namun, koperasi memilih jalur hukum.
Yang lebih disesalkan, menurut Nidzar, adalah sikap KPKNL. “Harusnya KPKNL mengkaji lebih dalam. Utang Rp 20 juta, tapi rumah dilelang, itu kan sangat tidak proporsional,” katanya.
Nidzar juga mengungkapkan bahwa belakangan ini ada pihak yang mendatangi rumah Hadi untuk mengusirnya. Kondisi ini membuat Hadi semakin tertekan.
“Kami akan mendalami apakah ada unsur pidana atau perdata dalam kasus ini. Yang jelas, masyarakat kecil sering kali kalah di hadapan sistem seperti ini,” tegasnya.
"Kami akan minta pertanggung jawaban pihak koperasi. Kami juga sedang mendalami kasus ini apakah ada unsur pidana atau perdata," imbuhnya.
Nidzar menyampaikan bahwa kantor koperasi yang terletak di Jalan Raya Demak-Kudus KM 7 itu, diketahui sudah tutup, dan telah pindah.
"Kantor koperasinya sudah tutup, infonya pindah ke wilayah Karangawen," katanya.
Bayang-Bayang Ketidakadilan
Kasus Hadi Sasmita membuka mata banyak pihak tentang persoalan klasik yang sering dihadapi masyarakat kecil saat berurusan dengan koperasi atau lembaga keuangan.
Pinjaman yang tampak sederhana seringkali berujung pada masalah besar, apalagi ketika bunga, denda, dan biaya tambahan menumpuk.
Di sisi lain, koperasi yang seharusnya berlandaskan asas kekeluargaan, kadang bertindak layaknya bank atau perusahaan pembiayaan.
Sementara KPKNL, yang berwenang melelang aset, dinilai kurang peka dalam menimbang nilai pinjaman dengan aset yang dilelang.
Dalam kasus Hadi, utang Rp 20 juta ternyata “berharga” kehilangan rumah senilai Rp 102,7 juta. Dan kini, jika ingin menebus kembali, ia harus membayar Rp 235 juta—angka yang jelas mustahil baginya.
Harapan yang Tersisa
Meski berada di ujung jalan, Hadi masih berharap ada jalan keluar. Ia ingin masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan tanpa harus menambah beban yang jauh lebih besar.
“Yang saya minta hanya keadilan. Jangan sampai masyarakat kecil semakin terjepit. Saya siap bertanggung jawab, tapi jangan sampai rumah dan masa depan anak-anak saya ikut hilang,” tutupnya.
Kasus ini kini masih terus bergulir. Apakah koperasi dan pemenang lelang akan membuka pintu musyawarah? Atau, Hadi harus menerima kenyataan pahit kehilangan rumah yang selama ini menjadi tempat berteduh keluarganya?
Satu hal yang pasti, cerita Hadi menjadi potret nyata bagaimana sebuah utang kecil bisa menjelma menjadi bencana besar, ketika rasa keadilan tidak lagi menjadi dasar dalam setiap keputusan.
Kontributor : Sigit Aulia Firdaus