- Pembangunan Waduk Gajah Mungkur menenggelamkan 51 desa dan memaksa lebih dari 67 ribu warga pindah.
- Warga menerima kompensasi minim, hanya Rp100–Rp1.000 per bidang tanah, memicu kisah pilu kehilangan.
- Kini waduk jadi sumber listrik dan irigasi, tapi tetap menyimpan kenangan pahit dan harga sebuah kemajuan.
Bagi pemerintah, ini adalah proyek monumental yang menandai kemajuan bangsa. Namun bagi mereka yang tergusur, setiap liter air yang mengisi waduk adalah simbol kehilangan rumah, kenangan, dan masa lalu yang tak bisa kembali.
5. Air yang Menyimpan Kuburan dan Reruntuhan Rumah
Ketika musim kemarau panjang datang dan permukaan air waduk mulai surut, masa lalu seakan hidup kembali. Nisan makam mulai terlihat, sisa pondasi rumah muncul di permukaan, bahkan bekas jalan desa yang dulu ramai tampak samar-samar di dasar waduk.
Warga sekitar sering menyebut momen itu sebagai “hari kebangkitan kenangan”, karena bayangan masa lalu seakan muncul dari kedalaman air yang sunyi.
Baca Juga:Biadab! Pria di Wonogiri Setubuhi Anak Tiri Selama 2 Tahun Belakangan, Ini Kronologinya
6. Waduk yang Menjadi Tulang Punggung Jawa Tengah
Terlepas dari kisah pilu di balik pembangunannya, waduk ini memang memberikan manfaat besar bagi jutaan orang. Waduk Gajah Mungkur mengairi 23.600 hektare lahan pertanian di wilayah Sukoharjo, Klaten, Karanganyar, dan Sragen.
Selain itu, waduk ini juga menjadi sumber listrik penting melalui PLTA Gajah Mungkur yang dikelola oleh Indonesia Power.
Manfaat ekonomi dan energi inilah yang membuat proyek ini dianggap berhasil, meski harus dibayar mahal dengan hilangnya 51 desa dan sejarahnya.
7. Luka Lama yang Tak Pernah Hilang
Baca Juga:Tertangkap Saat Curi Mesin Perahu di Waduk Gajah Mungkur, Warga Pacitan Ini Berakhir Apes
Seiring waktu, Waduk Gajah Mungkur mulai menghadapi tantangan baru: sedimentasi. Tanah di dasar waduk yang dulunya subur kini menjadi sumber endapan yang mengancam daya tampung air. Para ahli memperkirakan usia waduk hanya bisa bertahan sekitar 50 tahun, jauh lebih singkat dari harapan awal yang mencapai satu abad.
Ironisnya, sedimentasi ini muncul karena lahan di sekitar waduk digunakan kembali untuk bertani oleh warga yang dulu tergusur. Mereka menanam sayur di tanah bekas desa yang dulu tenggelam, seakan ingin menyambung kembali kehidupan yang hilang.
Kini, hampir setengah abad sejak air pertama kali menggenang, Waduk Gajah Mungkur tidak hanya menjadi simbol kemajuan, tetapi juga monumen pengorbanan ribuan keluarga.
Beberapa warga yang dulu ikut transmigrasi kini hidup lebih sejahtera di Sumatera. Namun bagi yang tetap bertahan di Jawa, mereka hidup berdampingan dengan kenangan masa lalu, menatap permukaan air yang tenang sambil mengingat desa yang kini hanya ada dalam cerita.
Bagi para generasi muda Wonogiri, kisah ini menjadi pelajaran berharga tentang harga kemajuan. Bahwa pembangunan besar selalu datang dengan dua sisi: satu yang membangun masa depan, dan satu lagi yang mengubur masa lalu.
Waduk Gajah Mungkur hari ini menjadi destinasi wisata air, sumber irigasi, dan penyedia listrik. Tapi di balik ketenangannya, air di sana menyimpan air mata dari 51 desa yang tenggelam.