Ironis! 7 Fakta Mengejutkan di Balik Tenggelamnya 51 Desa Demi Waduk Gajah Mungkur

Waduk Gajah Mungkur, kebanggaan nasional, menyimpan pilu 51 desa yang tenggelam. Ribuan warga kehilangan rumah & sejarah, hanya menerima kompensasi minim

Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 11 Oktober 2025 | 11:24 WIB
Ironis! 7 Fakta Mengejutkan di Balik Tenggelamnya 51 Desa Demi Waduk Gajah Mungkur
Ilustrasi warga waduk gajah mungkur. [ChatGPT]
Baca 10 detik
  • Pembangunan Waduk Gajah Mungkur menenggelamkan 51 desa dan memaksa lebih dari 67 ribu warga pindah.
  • Warga menerima kompensasi minim, hanya Rp100–Rp1.000 per bidang tanah, memicu kisah pilu kehilangan.
  • Kini waduk jadi sumber listrik dan irigasi, tapi tetap menyimpan kenangan pahit dan harga sebuah kemajuan.

SuaraJawaTengah.id - Siapa sangka, di balik permukaan tenang Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, tersimpan kisah pilu yang jarang dibicarakan. Ketika air surut, sejarah seolah muncul kembali.

Nisan makam yang terendam, puing rumah yang muncul dari dasar air, dan sisa reruntuhan bangunan menjadi saksi bisu dari 51 desa yang harus tenggelam demi proyek besar pembangunan waduk ini.

Waduk Gajah Mungkur memang menjadi kebanggaan nasional karena manfaatnya bagi pertanian dan listrik. Namun di balik itu, ada ribuan kisah manusia yang kehilangan rumah, tanah, dan masa lalu mereka.

Sebagaimana dikutip dari Koropak Channel, berikut tujuh fakta mengejutkan yang mengungkap sisi lain dari pembangunan Waduk Gajah Mungkur yang jarang diketahui publik.

Baca Juga:Biadab! Pria di Wonogiri Setubuhi Anak Tiri Selama 2 Tahun Belakangan, Ini Kronologinya

Berdasarkan hasil pantauan Perum Jasa Tirta I, tercatat pada 14-16 Februari 2023 terjadi hujan lebat di hulu Waduk Wonogiri dan area Solo Raya. [Istimewa]
Berdasarkan hasil pantauan Perum Jasa Tirta I, tercatat pada 14-16 Februari 2023 terjadi hujan lebat di hulu Waduk Wonogiri dan area Solo Raya. [Istimewa]

1. 51 Desa Dikorbankan untuk Satu Proyek Raksasa

Pembangunan Waduk Gajah Mungkur dimulai pada tahun 1976 di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Untuk membendung Sungai Bengawan Solo dan menampung air dalam skala besar, sebanyak 51 desa harus ditenggelamkan.

Rumah, ladang, tempat ibadah, bahkan pemakaman lenyap di bawah air. Bagi masyarakat yang tinggal di sana, air bukan hanya membanjiri sawah mereka, tapi juga menghapus sejarah keluarga yang telah turun-temurun hidup di tanah itu.

2. 67 Ribu Lebih Warga Terpaksa Tinggalkan Tanah Leluhur

Proyek ini memaksa sekitar 67.515 jiwa meninggalkan kampung halamannya. Sebagian besar di antara mereka mengikuti program transmigrasi besar-besaran ke Sumatera yang digagas Presiden Soeharto.

Baca Juga:Tertangkap Saat Curi Mesin Perahu di Waduk Gajah Mungkur, Warga Pacitan Ini Berakhir Apes

Tujuannya adalah memberi lahan baru bagi warga terdampak, namun banyak yang merasa tanah Sumatera terlalu jauh dan asing. Sebagian keluarga memilih bertahan di Jawa tanpa bantuan, hidup di tepian waduk dan berusaha memulai dari nol.

3. Kompensasi yang Tragis: Hanya Rp100 sampai Rp1.000 per Bidang

Kisah paling menyedihkan datang dari besarnya kompensasi yang diberikan. Pemerintah saat itu hanya memberikan ganti rugi antara Rp100 hingga Rp1.000 untuk setiap bidang tanah yang tergenang.

Nilai itu bahkan tidak cukup untuk membangun kembali satu rumah sederhana. Banyak warga menerima dengan berat hati karena tidak punya pilihan lain. Tak sedikit pula yang menolak pindah, meski tahu tanah mereka akan tenggelam.

4. Pembangunan Berjalan Cepat, Tangisan Tak Pernah Padam

Waduk Gajah Mungkur mulai terisi air pada Juli 1981 dan diresmikan langsung oleh Presiden Soeharto pada 17 November 1981. Proyek ini menelan biaya sekitar Rp69 miliar, angka yang sangat besar untuk ukuran masa itu. 

Bagi pemerintah, ini adalah proyek monumental yang menandai kemajuan bangsa. Namun bagi mereka yang tergusur, setiap liter air yang mengisi waduk adalah simbol kehilangan rumah, kenangan, dan masa lalu yang tak bisa kembali.

5. Air yang Menyimpan Kuburan dan Reruntuhan Rumah

Ketika musim kemarau panjang datang dan permukaan air waduk mulai surut, masa lalu seakan hidup kembali. Nisan makam mulai terlihat, sisa pondasi rumah muncul di permukaan, bahkan bekas jalan desa yang dulu ramai tampak samar-samar di dasar waduk.

Warga sekitar sering menyebut momen itu sebagai “hari kebangkitan kenangan”, karena bayangan masa lalu seakan muncul dari kedalaman air yang sunyi.

6. Waduk yang Menjadi Tulang Punggung Jawa Tengah

Terlepas dari kisah pilu di balik pembangunannya, waduk ini memang memberikan manfaat besar bagi jutaan orang. Waduk Gajah Mungkur mengairi 23.600 hektare lahan pertanian di wilayah Sukoharjo, Klaten, Karanganyar, dan Sragen.

Selain itu, waduk ini juga menjadi sumber listrik penting melalui PLTA Gajah Mungkur yang dikelola oleh Indonesia Power.

Manfaat ekonomi dan energi inilah yang membuat proyek ini dianggap berhasil, meski harus dibayar mahal dengan hilangnya 51 desa dan sejarahnya.

7. Luka Lama yang Tak Pernah Hilang

Seiring waktu, Waduk Gajah Mungkur mulai menghadapi tantangan baru: sedimentasi. Tanah di dasar waduk yang dulunya subur kini menjadi sumber endapan yang mengancam daya tampung air. Para ahli memperkirakan usia waduk hanya bisa bertahan sekitar 50 tahun, jauh lebih singkat dari harapan awal yang mencapai satu abad.

Ironisnya, sedimentasi ini muncul karena lahan di sekitar waduk digunakan kembali untuk bertani oleh warga yang dulu tergusur. Mereka menanam sayur di tanah bekas desa yang dulu tenggelam, seakan ingin menyambung kembali kehidupan yang hilang.

Kini, hampir setengah abad sejak air pertama kali menggenang, Waduk Gajah Mungkur tidak hanya menjadi simbol kemajuan, tetapi juga monumen pengorbanan ribuan keluarga.

Beberapa warga yang dulu ikut transmigrasi kini hidup lebih sejahtera di Sumatera. Namun bagi yang tetap bertahan di Jawa, mereka hidup berdampingan dengan kenangan masa lalu, menatap permukaan air yang tenang sambil mengingat desa yang kini hanya ada dalam cerita.

Bagi para generasi muda Wonogiri, kisah ini menjadi pelajaran berharga tentang harga kemajuan. Bahwa pembangunan besar selalu datang dengan dua sisi: satu yang membangun masa depan, dan satu lagi yang mengubur masa lalu.

Waduk Gajah Mungkur hari ini menjadi destinasi wisata air, sumber irigasi, dan penyedia listrik. Tapi di balik ketenangannya, air di sana menyimpan air mata dari 51 desa yang tenggelam.

Ketika Anda berdiri di tepi waduk dan melihat matahari tenggelam di balik perbukitan, ingatlah bahwa di dasar air itu pernah ada sekolah, masjid, ladang, dan rumah-rumah tempat keluarga berkumpul.

Kisah ini bukan hanya tentang pembangunan, tetapi juga tentang kehilangan, keberanian, dan keteguhan hati manusia menghadapi perubahan. Waduk Gajah Mungkur bukan sekadar infrastruktur ia adalah cermin tentang harga sebuah kemajuan.

Kontributor : Dinar Oktarini

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak